Kamis, 23 Oktober 2014

The Story Chapter 6

The Story Chapter 6 : The Shark (bagian 1)

"Tampak seperti yang anda lihat, beberapa mayat yang ditemukan di gang ini mati mengenaskan," kata seorang reporter di dalam televisi, dengan latar belakang garis polisi dan beberapa mayat yang ditemukan disana. "Menurut pihak aparat, korban-korban ini tewas karena tusukan di leher, hantaman di kepala juga tikaman di dada. Senjata yang dipakai kemungkinan adalah pisau militer,"
"Pagi-pagi sudah disuguhi mayat lautan darah, Nathan sebaiknya kau mengganti channelnya," ujar seorang gadis muda yang duduk disana dengan anggun bak putri sambil meminum susu coklat miliknya. "Kau dengar tidak?"
"Hmm." Pria muda yang berada di hadapan gadis itu sedang serius menonton berita sambil memakan roti coklatnya. Tampak tidak mendengarkan apa perkataan adiknya. Serangan mengerikan ya? pikirnya.
"Nathan!" Kali ini gadis itu berusaha meraih telinga Nathaniel, mencoba menjewernya. Tapi, sebelum dia sampai melakukan itu, Nathaniel tiba-tiba menoleh kearahnya. Menyebabkan gadis itu terkejut lalu cepat-cepat kembali ke tempatnya.
"Kau ini banyak tingkah, Anna," ledeknya seraya menghabiskan roti berisi coklat itu. Adiknya hanya mengembungkan pipinya sebagai respon dari ledekkan kakaknya.
Setelah semua makan pagi habis di meja makan, mereka pun bersiap-siap pergi sekolah.
Lagi-lagi sesuatu mengganjal di pikiran Nathaniel saat di jalan. Tentu saja tentang pembunuhan semalam yang menewaskan berandalan-berandalan yang tersisihkan.
"Nathan," panggil adiknya itu secara tiba-tiba. Membuyarkan lamunannya.
"Hng? Ada apa?"
"Akhir-akhir ini kau banyak melamun." Raut wajah Anna menjadi sedikit khawatir mengenai kakaknya. Memang benar, akhir-akhir ini banyak yang dipikirkannya. Mengenai seseorang bernama Jordi, juga tentang kriminalitas yang akhir-akhir ini naik turun tidak stabil. "Apa karena kau kurang makan?"
"Tentu saja tidak, kau melihatnya kan?" Balasnya dengan santai, "aku makan terlalu banyak, tapi tidak bisa gendut," lanjutnya lagi dengan nada bangga akan dirinya sendiri.
"Ah mungkin karena kurang tidur!" Seru adiknya itu, matanya berubah menjadi mata yang bahagia. Mungkin karena dia kira dia berhasil memecahkan misteri tentang kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat punya banyak pikiran. Tapi, memangnya kurang tidur mampu menyebabkan seseorang mempunyai beban pikiran?
"Mungkin juga," balasnya singkat dengan senyum penuh dengan teka-teki.
"Lagi-lagi.." Anna tiba-tiba saja menjadi ketus karena jawaban dari kakaknya.
Tidak jauh darisana, seseorang sedang mengamati dari atas genteng rumah yang mereka lewati. Seseorang yang rasanya terkait dengan pembunuhan semalam. Bocah berambut biru itu menatap dengan tatapan setajam pedang yang seakan siap untuk menusuk Nathaniel.
Entah kenapa, rasanya Nathaniel merasa seperti dihantui. Dia langsung menoleh ke belakang, tepat ke arah genteng itu. Tapi sosok bocah itu sudah menghilang darisana, tepat sebelum Nathaniel mencari tau apa yang mengganggunya.
"Eh? Ada apa Nathan?" Tanya adik kecilnya itu. Merasa khawatir dan ragu.
Nathaniel tiba-tiba menoleh ke arah adiknya, menoleh sebentar lalu memberi senyuman simpul, "bukan apa-apa, hanya firasatku." Jelasnya, mencoba untuk tidak membuat Anna khawatir.
Sesampainya di sekolah, mereka berpisah untuk sementara. Pergi ke kelasnya masing-masing. Siluet hitam dibalik pohon, tepat saat kedua bersaudara itu berpisah, dia menatapnya dengan tatapan datar.
Sementara Nathaniel berjalan menapaki tangga ke arah kelasnya, adiknya, Anna bertemu dengan orang baru, sosok yang tidak ia kenal dari sekolahnya maupun kampus dimana kakaknya belajar.
"Umm, nona bisa aku bertanya?" Kata pria itu, memulai pembicaraan. Dari logatnya mengatakan bahwa dia bukanlah orang dari wilayah ini maupun negara ini. Orang baru mungkin?
"Ah? Tentu," balas Anna. "Memangnya ada apa?"
"Apa benar ini kampus Verdamia? Tempat dimana orang-orang yang "spesial" berkumpul?" Lanjutnya dengan pertanyaan lain.
Anna membalas dengan anggukan lalu tersenyum. "Jika kau orang baru, lebih baik kau ke gedung itu," dia menunjuk ke arah gedung dimana kakaknya menapaki tangga.
"Ah begitu? Terima kasih!" Pria itu terlihat bersemangat, dia membungkuk sebentar sebagai tanda terima kasih. Lalu langsung berlari tak karuan menuju gedung itu, tepatnya ruang administrasi.
"Orang yang terlalu bersemangat." Gumam Anna sangat pelan. Kemudian Anna pun melanjutkan jalannya pergi ke gedung sebelah.

Tak lama setelah itu, bel sudah berbunyi. Menandakan dimulainya kelas.
Kelas Nathaniel terlihat ramai riuh, seakan murid-muridnya tidak mempunyai niatan untuk belajar. Ya bisa dibilang seperti biasanya.
Nathaniel berjalan ke bangku kosong yang berada di pojok belakang lalu meletakkan tasnya. Dan tentu saja, menatap jendela dengan wajah bosan.
Suara pintu yang digeser untuk terbuka itu terdengar sangat keras. Dan seorang pria dengan jas dan berkacamata masuk ke dalam sambil membawa beberapa buku. Nathaniel meliriknya, orang yang ia kira terasa familiar. Orang yang mengantarkannya ke pulau ini. Dia terkejut sebentar lalu berdiri dan memukul meja.
"Huh?" Pria itu terlihat bingung. "Ada apa Nathaniel? Duduklah dengan tenang," ucapnya tanpa basa-basi.
Nathaniel yang terkejut tadi menenangkan diri, karena seluruh kelas menatapnya sekarang. Dia duduk dan menoleh ke arah jendela lagi.
"Hmm," pria itu mengambil secarik kertas lalu membacanya sebentar. "Baiklah, jadi guru Kimia sedang tidak masuk sekarang karena sakit. Ditambah ada murid pindahan--" dia terdiam sejenak, mencoba membaca nama murid baru itu. "Re.. Reis? Ah iya dia orang Turki, pantas saja," lanjutnya dengan gumaman. "Ya biarkan dia masuk dan memperkenalkan dirinya sendiri. Masuklah!"
Tiba-tiba saja pintu kelas itu dibuka dengan cara yang kasar. Masuk dengan gaya yang sok keren. Dia adalah seseorang dengan rupa Arab yang jelas terlihat dari wajahnya, dengan gaya yang sedikit modern.
"Namaku Yusuf Reis!" Serunya dengan semangat. "Dan aku adalah keturunan dari pembuat peta dunia legendaris, Piri Reis!" Lanjutnya lagi.
Seluruh kelas tampak terkejut dengan ucapannya, sebagian bergumam karena ragu dan tidak percaya. Nathaniel sendiri? Ya dia menoleh juga karena terkejut, mana mungkin legenda Piri Reis mempunyai keturunan dengan kekuatan yang "unik".
"Baiklah tenang sejenak," Pria berkacamata itu berusaha untuk menenangkan kelasnya dengan gaya yang kurang atau mungkin tidak tegas sama sekali. Benar-benar terlihat tidak punya niat. "Nah Yusuf, bangku sebelah pria yang duduk di pojok jendela itu kosong, duduklah disana. Mungkin saja kau menemukan jodohmu," ujarnya.
Pria Turki ini hanya mengangguk lalu berjalan dengan aura bersemangat disekitarnya. Duduk di sebelah Nathaniel dengan santainya.
Setelah orang Itali sekarang orang Timur Tengah pikir Nathaniel dengan muka masam. Apa lagi yang akan terjadi sekarang?
"Baiklah kita mulai pelajarannya, kalau tidak salah minggu lalu kalian membahas potassium bukan?" Saat pria berkacamata itu menjelaskan segala sesuatu mengenai pelajaran kimia itu. Yusuf malah terlihat heboh sendiri dengan mainan kecilnya, sebuah gunpla.
Nathaniel melihat ke arah jendela, memperhatikan taman. Lagi-lagi pria bertopi katak itu muncul. Apa semua orang aneh berasal dari sekolah ini? Pikir Nathaniel.
Desusan terdengar dari sebelah pemuda yang menatap luar jendela itu, seperti berusaha untuk memanggilnya. "Psst, hey!" Panggil seseorang dari sebelah dengan pelan. Berusaha untuk tidak terdengar oleh guru. Dia seperti ingin membahas sesuatu. Nathaniel menoleh dengan tatapan datar. Dan sebuah percakapan pun dimulai.

Akhirnya pelajaran berakhir, dentungan bel menandakan istirahat yang sudah dimulai.
Kali ini lokasinya berada di taman, ya sama seperti kejadian kemarin. Perbincangan yang sedikit canggung dan tidak menyenangkan.
Seorang pria bertopi aneh itu duduk disana, di bangku taman. Memakan sandwichnya dengan perlahan tapi pasti. Nathaniel juga terlihat disana, disebelahnya. Ikut memakan sandwich yang tentunya miliknya sendiri.
"Aku dengar terjadi pembunuhan," pria bertopi katak itu memulai pembicaraan dengan nada datar.
"Begitulah, kau banyak tahu ya?" Balas Nathaniel.
"Lalu? Bagaimana dengan targetmu itu? Kurasa akan terjadi peperangan untuk merebutkan uang." Ujarnya datar. "Dimulai dari bank di distrik ini, aku sudah mendengar dari beberapa berandal yang menyatukan kekuatan untuk merampok 3 bank besar di distrik ini, " lanjutnya lagi.
"Bagaimana kau bisa tahu? Dan bagaimana aku bisa memercayaimu?"
"Kau takkan percaya sebelum itu terjadi, dan aku yakin pembunuh itu akan muncul sebelum berandalan-berandalan itu mencoba merampok bank terakhir." Jelasnya sebelum akhirnya sandwichnya habis.
"Hey, jika kau tahu sebanyak itu, lebih baik kau bicara pada polisi." Nathaniel mencoba menyarankannya agar dia tidak terlihat mencurigakan, apalagi mulai banyak terdengar munculnya vigilante di kota ini.
"Tenang, hanya kau yang kupercaya."
"Begitu? Baiklah, kau bisa beritahu aku segalanya, " ucap Nathaniel dengan mantap. "Jika kau mau tentunya, " tambahnya lagi.
"Aku akan memberi tahumu sebuah informasi setiap sebelum sandwichku habis." Sandwich yang sedaritadi dipegangnya dan dimakannya, kini telah menghilang karena habis. Pria itu berdiri dan dengan malasnya berkata, "Jika sudah habis, maka tidak akan ada lagi informasi untukmu." Lalu diapun berjalan ke arah yang sama seperti hari sebelumnya.
Nathaniel memfokuskan pandangannya pada orang itu, sampai akhirnya dia benar-benar menghilang dari balik lorong.
"Hey Nate!" Seseorang dengan wajah ke Arab-araban itu tiba-tiba muncul dan mengagetkan Nathaniel. Panggilan Nate? Itu terdengar seperti julukkan akrab di telinganya.
"Ugh.." dia batuk karena tersedak lalu berusaha untuk bicara, "kau... sudahlah, bagaimana kau tau namaku?" Nathaniel sedikit terkejut. Tapi sebelum orang itu menjawab, dia langsung meminum air putih untuk fokuskan pikirannya.
"Guru berkacamata itu yang memberitahuku. Dan aku dengar kau butuh seorang yang ahli merakit senjata, benar?" Dia terlihat memastikan. Seperti akan memercayakan suatu senjata padanya. Nathaniel membalas dengan anggukan lalu pria Arab bernama Yusuf ini mulai berbicara inti tanpa ada lagi basa-basi seperti sebelumnya.
"Aku bisa mengajarimu merakit sebuah bom, kau mau?"
"Tentu saja, aku butuh itu. Selain itu?"
"Apa kau tau cara membuat sebuah alat yang bisa mematikan listrik satu kota?" Dia terlihat menguji dan seperti ingin mendapatkan pengakuan dari temannya yang baru saja ia temui.
Tapi responnya diluar dugaan, Nathaniel hanya mengangguk dengan datar dan menatap langit, "jika itu bisa kugunakan untuk kabur, tentu saja." Ucapnya dengan santai.
Yusuf tak habis pikir, bagaimana lawan bicaranya ini tidak memiliki semangat? Atau dia malah menganggapnya remeh?
"Aku ini keturunan langsung dari sang jenius, Piri Reis. Jangan menganggapku remeh!" Dia membentak.
"Tidak mungkin aku melakukannya. Ya jika bisa kau harus mengajariku dengan cepat. Kelas kilat, " Nathaniel pun berdiri membelakangi Yusuf. "Bisa kan? Karena aku butuh itu untuk malam ini."
Yusuf pun tersenyum simpul dan berkata dengan santai, "baiklah baiklah, asal itu digunakan untuk kebaikan."

Kurasa aku harus mempercepat ceritanya.
Pengajaran dari Yusuf terjadi saat pulang dari sekolah. Ya hari ini Nathaniel dan Anna tidak bisa pulang bersama karena Nathaniel sendiri mempunyai rencana sendiri. Tapi mari kita ke lokasi yang lain, ke lokasi sebuah gedung besar dengan tulisan bank yang juga cukup besar menempel di gedung.
Dan sebuah mobil terlihat parkir di belakang gedung itu. Beberapa orang turun dari mobil itu, lengkap dengan topeng. Mereka mengambil senjata mereka dan menurutku rencana mereka adalah berusaha untuk menerobos ke dalam gedung dari belakang dengan mengendap-endap.
Mereka mulai bergerak, kebanyakan senjata mereka adalah AK-47 Custom, dengan sebuah peredam yang menempel diujungnya. Kurasa mereka hendak melakukannya dengan cara yang tidak mengeluarkan suara.
Tapi tampaknya rencana mereka tidak begitu mulus, seorang penjaga menyadari adanya kejanggalan lalu mencoba menghentikan mereka sebelum mereka masuk.
"Tunggu dulu, siapa kalian?" Penjaga itu menghentikan mereka dan mencoba untuk berbicara dengan mereka. Tapi mereka diam dan langsung memukulnya dengan senjata. Berandalan yang licik. Membuat penjaga itu pingsan akibat serangan salah satu dari kawanan perampok itu.
Saat di dalam, beberapa dari mereka melumpuhkan CCTV lalu berpencar menjadi dua grup. Grup pertama ke arah ruang kontrol dan grup lain kearah brankas yang berisi penuh dengan uang.
Di ruang kendali, penjaganya tertidur. Benar-benar beruntung.
Dobrakanpun terjadi, membangunkan penjaga yang tertidur pulas. Salah seorang dari mereka sudah menodongkan AK-47 untuk membuatnya bungkam. Seorang lagi membawa tas berisi laptop dan menyambungkan kabel-kabel ke lubang yang ada di ruang kontrol. Itu seperti adegan di film action, dimana penjahatnya mencoba membajak sistem keamanan.
Orang yang terlihat seperti pemimpin dari grup pertama itu mengeluarkan walkie talkie dan mengatakan bahwa ruang kendali sudah diamankan. Rencana yang mulus sekali. Ditambah keberuntungan menyertai mereka. Benar-benar seperti yang dikatakan oleh pria bertopi aneh tadi.
Di ruangan lain, tepatnya di depan brankas baja. Sekelompok perampok sudah bersiap disana, mencoba untuk membuka pintu baja itu. 8 kunci yang harus mereka buka. Mereka tempuh dengan membajak sistemnya.
Sementara di dalam gedung bank itu, sangat ramai sekali akan nasabah. Bahkan pihak bank sampai kewalahan. Seakan ini memang sudah direncanakan.
"5 kunci lagi, ayo cepatlah!" Seru seorang pria dibalik topeng itu, pemimpin dari kawanan perampok. Mereka memiliki pembajak yang elit dan profesional. Tidak sampai 2 jam, mereka sudah bisa membawa kabur uang-uang itu dan pergi ke bank berikutnya.

Di sisi lain, Yusuf mengajarkan beberapa jenis bom mulai dari bom taktis, bom pengalih perhatian sampai bom mematikan sekalipun. Dia memberi tahu sesuatu tentang bom khusus yang bisa menimbulkan ilusi dan membuat otak terganggu. Dia sendiri sedikit ngeri saat mengajarkan hal itu.
"Aku takkan mengunakan bom ini jika tidak terlalu ekstrim, kuharap kau juga, " pintanya. Pandangannya seperti orang yang berharap akan sesuatu. Sesuatu yang baik.
Nathaniel mengangguk tanda setuju. Pelajaran pun berlanjut.
Sedangkan di tempat yang tidak jauh dari bank, seorang pria dengan rambut pirang duduk di pinggir gedung di depan bank itu. Menatap bank itu seperti sedang menunggu sesuatu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena sebagian tertutup oleh kegelapan. Dan disampingnya, seorang pemuda dengan rambut biru memperhatikan suasana kota.
"Jadi apa ini akan berjalan lancar?" Tanyanya sambil menyeringai. Tapi kakaknya tidak menjawab dan masih memperhatikan gedung itu.
Para perampok lain sudah berpindah lokasi dan saat dijalan, mereka meledakan brankas bank. Kemungkinan besar untuk memancing perhatian.
"Hahaha, dengan ini polisi akan mendatangi bank pertama!" Seru orang yang berada di kursi kemudi. Mobil itu berjalan dengan kecepatan yang normal dan berusaha menghindari keramaian sebisa mungkin.
Mereka gunakan rencana yang sama pada bank pertama untuk bank kedua. Dan mereka berhasil dengan mulus lagi. Tapi kali ini mereka tidak meledakkannya hingga mereka berhasil merampok di bank ketiga.
Tapi usaha mereka kali ini sia-sia, sosok mengerikan bagaikan seekor hiu sudah mengincar mereka. Bersiap membunuh.
Beberapa dari kawanan perampok itu sudah bersiaga karena merasakan sebuah intimidasi secara tak langsung. Sosok tadi melompat dan menendang kepala salah satu dari mereka.
Baku tembak yang tak terelakan terjadi. Tapi pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dia menyeringai, peristiwa ini seperti seekor hiu yang sedang memangsa ikan kecil. Perlawanan apapun tidak akan berguna. Dia menghindarinya seakan dia sudah tau arahnya.

"Orang yang mencoba jalan pintas eh?" Ucapnya, dia melaju dengan kecepatan penuh dengan sebuah bilah pisau di tangannya, menusuk leher penembak itu lalu mengambil satu buah pisau lempar dari tempatnya yang sudah menempel padanya. Dia melemparnya tepat pada kepala dari perampok lain. Kini tersisa 6 anggota. 6 anggota yang akan dikirim ke neraka olehnya. Dia menyeringai sejenak, mengambil pisau yang terhujam pada leher musuhnya tadi.
"Bagaikan seekor hiu yang akan memangsa ikan kecil, " ucapnya dengan nada yang sedikit sadis
"Diam kau!" Musuhnya mencoba menembaknya lagi. Penuh dengan rasa ketakutan. Dia bahkan bisa merasakannya.
Bocah itu memanfaatkan rasa takut musuhnya lalu membuat gerakan jitu untuk membunuhnya. Musuhnya kini tergeletak tak berdaya, dengan darah yang membanjiri tanah. Percayalah padaku, kau mungkin takkan mau melihatnya.
Tapi di tengah penyerangannya, Nathaniel muncul lagi, mengamati. Tentu saja bocah itu sudah merasakan hawanya, dia menoleh ke arah atas, ke sebuah atap yang tidak begitu tinggi juga tidak begitu rendah. Menyeringai.

Selasa, 21 Oktober 2014

The Story Chapter 5 : Ricardo Federico (Last Part)



Bulan yang cerah itu menandakan akan datangnya sebuah pertarungan bagi Nathaniel. Pria dengan topeng tengkorak yang berada di atas tembok tepat di depan Nathaniel itu menatapnya.
"Aku sudah menunggumu, sialan!" Teriaknya. Entah dengan rasa santai atau rasa geram, dia melompat turun. Tatapannya kini berubah lagi, mata sadisnya berubah menjadi tatapan yang santai.
"Aku mencarimu untuk membandingkan kekuatanku." Ujarnya lagi dengan santai. Hal yang begitu merepotkan bagi Nathaniel. "Ah kenapa ini harus terjadi padaku?" Dia berkata itu dalam hatinya.
"Cepatlah, ini sudah malam." Lanjut pria di depannya itu, dia menggaruk-garuk kepalanya. Terlihat bosan sekali. "Kalau kau tidak menyerangku, aku akan menyerangmu duluan." Ujarnya. Pertarungan akan segera terjadi.
Mendengar hal itu, Nathaniel memandangnya dengan sinis. Mengeluarkan senjatanya, sebuah baton. Dan entah kenapa dia tiba-tiba hilang, maksudku Nathaniel yang menghilang.
"Ah? Dia menghilang?" Ucap musuhnya itu, semilir angin berhembus melewati pria itu, membuatnya berpikir dua kali.
"Dia tidak menghilang, dia akan menyerangku!" Dengan cepat dia langsung bersiaga dan mempersiapkan kuda-kudanya. Tiba-tiba saja, Nathaniel berada di depannya, dengan keadaan baton miliknya segera mengenai kepalanya. Pria di depannya itu terlihat kesulitan saat melihatnya.
Tapi, serangannya mampu ditahan dengan baton milik pria itu. Dia segera membuat Nathaniel mundur, untuk mengatur ulang strateginya mungkin?
"Yang tadi itu hampir saja." Ucap pria bertopeng tengkorak itu. Ya, dia terlihat santai dalam menghadapi pertarungan ini. Kemudian dia melirik ke arah Nathaniel, "kau lumayan juga, nak." Pujinya.
Lalu bagaimana dengan Nathaniel sendiri? Musuh yang bisa mengimbanginya sekarang berada di depannya.

Pemuda itu tidak berkata apa-apa, dia sedikit kesulitan. "Terlalu kuat." Batinnya. Dia melihat sekelilingnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa membuatnya membalikkan meja.
"Ternyata kau juga pintar ya. Aku kira kau hanya orang yang mengandalkan kekuatan saja." Ujar pria itu. Nathaniel bersikap acuh tak acuh padanya, dia langsung memfokuskan kekuatan asapnya itu pada kakinya. Sebuah jurus pamungkas.
"K-kau mau melakukan itu disini?!" Tanya musuhnya itu. Tentu saja ia kaget, siapa yang tau jurus pamungkas milik Nathaniel itu mampu menghancurkan satu kota.
"Apa kau tak tau?! Kekuatanmu bisa menghancurkan seluruh kota!" Teriaknya. Asap yang tadi terfokus di kakinya, perlahan-lahan menghilang. Sepertinya musuhnya mampu membuat Nathaniel berpikir dua kali. Tapi, inilah kesalahan fatal yang dia sebabkan. Musuhnya itu langsung maju dengan cepat lalu memukulnya tepat di kepala, membuat topengnya terlepas begitu juga kacamatanya. Sebuah gerakan jitu darinya. Pria itu benar-benar terlihat terlatih.
"Kau kan?! Pria yang berada disampingku! Yang melarangku merayu seorang gadis.." Pria bertopeng tengkorak itu terlihat terkejut akan apa yang ia temukan. Ya, topeng Nathaniel kini terlepas, memperlihatkan wajahnya. Nathaniel melihat pria bertopeng tengkorak itu dengan setengah sadar. Tak lama, kesadarannya mulai kembali. 
"Ricardo?" Katanya dengan suara pelan.
"Yo," balasnya dengan santai, dia kemudian menarik tangan Nathaniel untuk membantunya berdiri. "Menyusahkan sekali, kenapa kau melakukan ini?" Lanjutnya lagi, bertanya.
"Kau benar-benar merepotkan, Ricardo." Balas Nathaniel, dia berjalan ke tempat topengnya terjatuh lalu mengambilnya.
"Kita berbicara seakan kita sudah kenal satu sama lain, tapi aku bahkan lupa namamu." Ujar Ricardo. Tiba-tiba saja Nathaniel menjawab, "Nathaniel." Membuat Ricardo sedikit terkejut, "ha? Apa?" 
Kemudian dia mengulang lagi perkataannya, "Nathaniel, namaku Nathaniel Delsin." Jelas Nathaniel.
"Tunggu.. Nathaniel?! Delsin??" Ricardo tampak terkejut. "Sudah lama tak berjumpa ya," lanjutnya.
"Ha? Tak berjumpa?" Dengan menganga, Nathaniel sedikit bingung akan apa yang dimaksud olehnya. Memangnya dia pernah bertemu dengan orang ini? "Kau jangan bercanda, aku tak pernah bertemu dengan orang sepertimu!" Serunya.
"Aku tidak bercanda."
"Kalau begitu?? Jelaskan dimana kita pernah bertemu?"
Ricardo menyeringai sesaat, mencoba meyakinkannya. "Kita bertemu saat kanak-kanak, ah kau melupakanku ya? Bukannya aku ini kakak tertua?"
Perkataan Ricardo membuat Nathaniel terkejut, dia mencoba mengingat kembali masa lalunya yang kelam itu. Sebelum bencana yang mengerikan itu terjadi.
"Ah, aku ingat!" Seru Nathaniel seketika. Semua kejadian masa kecilnya kembali muncul dalam memorinya.
"Wah bagus sekali, aku bahkan tidak ingat," ujar pria itu dengan santai. "Ya baiklah, paling tidak aku sudah tau kabar kalian berdua. Mungkin besok kau tidak akan lagi menemukanku," lanjutnya lagi. Dia menyeringai sesaat sebelum memakai topeng tengkoraknya itu. Ricardo terlihat memanjat tembok dari gedung, ya melakukan sedikit parkour untuk pergi. Mungkin supaya dia terlihat lebih keren. Kurasa.
"Jangan lupa akan misimu, Delsin!" Serunya.

Kejadian di malam yang indah itu sudah berlalu. Matahari sudah mulai terlihat sekarang, cahaya oranye yang terlihat dari celah-celah gedung-gedung tinggi itu memberi hari baru untuk orang-orang di kota itu. Di rumah itu, tempat dimana Nathaniel dan Anna tinggal, ya sepertinya mereka masih tidur sekarang. Walau hari ini mereka harus sekolah. Orang-orang pemalas.
Jadi mari kita percepat saja.
Hari-hari biasa berlalu, Nathaniel dan Anna berbincang-bincang tentang kemarin malam.
"Nathan, kemarin malam kau darimana?!" Tanya Anna, sepertinya dia baru ingat tentang kejadian kemarin malam. Lawan bicaranya, kakaknya sendiri malah terlihat berpikir keras tentang ucapan Ricardo kemarin malam.
"Nathan!" Seru Anna. Dia terlihat kesal karena tidak dipedulikan oleh kakaknya. Ya siapa yang tidak kesal jika tidak dipedulikan?
"Ah maaf-maaf," Nathaniel hanya tersenyum simpul.
Sesampainya di sekolah, dia memang tidak menemukan sosok Ricardo disana. Mungkin datang terlambat?
Tidak sampai setengah jam, bel yang menandakan dimulainya kelas pun berdering sangat keras. Membuat Nathaniel dan Anna berpisah untuk sementara.

Di kelas, tentu saja kelas dimana Nathaniel belajar. Bangku tempat Ricardo duduk terlihat kosong, pemiliknya tidak ada. Mungkin Ricardo bersungguh-sungguh akan ucapannya. "Dia benar-benar menghilang," gumamnya.
Tak terasa, guru-- lebih tepatnya dosen, sudah masuk ke dalam kelas dan memulai pelajarannya. Berlangsung membosankan. Seperti biasanya.
Nathaniel melihat ke arah jendela, dia melihat sesuatu yang menarik. Pria muda dengan jaket dan topi katak yang aneh dengan santainya berjalan-jalan. Seakan dialah yang mempunyai sekolah itu.
"Nathaniel Delsin!" Seruan orang tua terdengar dari dalam kelas. Tapi dia tidak membalasnya. 
Teriakan itu lagi-lagi terdengar. Nathaniel menoleh ke arah dosennya itu dengan malas. Dosennya hanya mengoceh, kurasa tentang sesuatu yang tidak penting.
"Benar-benar menyusahkan," Nathaniel menoleh lagi ke jendela. Kini, orang yang berjalan-jalan dengan santai itu menghilang. Mungkin lebih tepatnya pergi ke suatu tempat.

Kelas sudah berakhir tapi bukan berarti pulang, lebih tepatnya jam istirahat.
Di halaman taman kampus itu, terlihat seorang pria muda duduk sambil memakan sebuah sandwich yang ia buat tadi pagi.
"Hari yang membosankan," Kata pria bernama Nathaniel sambil mengunyah makanannya.
"Aku setuju." Seseorang menyahutnya. Lebih tepatnya orang yang tiba-tiba muncul dan duduk satu bangku dengannya di taman itu. Dia menyahut dengan nada datar membuat Nathaniel tersedak karena terkejut.
"K-kau ini siapa?!"
"Oh aku? Aku ini tentunya manusia," balasnya dengan nada datar. Dari penampilannya terlihat tidak begitu asing, sebuah tato semacam garis di dekat kedua kelopak matanya, lalu memakai jaket penghangat dengan topi katak aneh di atas kepalanya.
"Ah.. jadi kau manusia..?" Nathaniel tampak canggung dalam menghadapi orang ini. Muka masamnya terlihat.
"Ya begitulah, apa kau ini alien? Mukamu terasa asing bagiku," nadanya yang datar itu terdengar seperti meledek. Singkat tapi menusuk.
"Tentu saja bukan.. Aku ini juga manusia, sama sepertimu." Balasnya.
Dia--pria bertopi katak aneh itu--melanjutkan makannya, dia seperti berbicara sesuatu sambil mengunyah makanannya. Mungkin pria ini bodoh.
"Sebaiknya ditelan dulu." Saran Nathaniel.
Atmosfer canggung benar-benar terasa disini, pria yang aneh yang tiba-tiba muncul itu benar-benar menyebalkan.
"Ngomong-ngomong, apa kau bersekolah disini?" Tanya pria aneh itu. Nathaniel mengangguk, tanda jika itu benar. Pertanyaan yang singkat kemudian hening sampai pria aneh itu menghabiskan makanannya. "Sebaiknya kau berhati-hati, ada sebuah legenda yang mengatakan akan seseorang yang mencoba menghancurkan pulau ini," ujarnya datar, lalu dia berjalan ke arah kiri, tepatnya ke arah pintu keluar dari kampus.
Nathaniel memandanginya seakan dia itu bingung sekali, kenapa masih ada manusia seperti pria aneh tadi ada di bumi pertiwi ini.

Sepulang sekolah, dia berjalan menjemput adiknya yang berada di gedung sebelah. Tidak sebegitu jauh, tapi cukup untuk membuatmu merasa malas.
"Nathan!" Seru adiknya itu, tampak riang bagaikan anak kecil. Ah gadis muda memang benar-benar menarik.
"Yo." Balasnya dengan sapaan santai.
Mereka berdua berjalan bersama menuju rumah mereka, membicarakan seputar keadaan sekolah. Mereka berdua tampak melewati banyak orang, dan seorang anak muda dengan rambut berwarna biru yang spiky. Salah satu pemeran penting dari cerita ini. Anak muda itu tampak melihat ke belakang, memandang tepat ke kedua orang itu. Dia tersenyum singkat lalu melanjutkan perjalanannya.
"Anna, kau ingat sesuatu tentang kakak kita?" Nathaniel tiba-tiba saja ingin menanyakan masa lalunya itu.
"Kakak? Yang kutau hanya Nathan kakakku," balas gadis itu mencoba mengingat-ingat.
"Ah? Begitu ya? Baiklah."

Cahaya matahari sudah terlihat mulai tenggelam diantara gunung-gunung yang berada tidak jauh dari kota, kilauan merah itu menandakan bahwa malam akan segera tiba.
Di sebuah gang kecil, tempat dimana berandalan-berandalan kota yang tersisihkan itu berkumpul.
"Kau sudah dengar kabarnya? Tentang pria bertopeng itu?" Salah seorang dari mereka mulai berbicara.
"Dia yang menaklukkan banyak berandalan seperti kita ya?" Balas rekannya.
Mereka mulai merasa takut, takut karena polisi. Pantas saja, berandal seperti mereka berhasil merampok, membunuh dan melakukan kegiatan keji lainnya.
"Paman, bukannya tidak baik membicarakan orang dari belakang?" Seru seseorang. Suaranya terdengar masih muda. Anak muda dengan rambut spiky dengan warna biru itu menunjukan dirinya. Dia menyeringai seperti seorang pembunuh yang haus akan darah.
Matanya, melihat dengan tatapan dingin.
"Baiklah, akan kuselesaikan dengan cepat disini." Ujar pemuda itu kemudian menyerang mereka sebelum mereka sempat berkata-kata. Sebagian terkena akan serangan jitu pemuda itu, terbacok tepat di dada.
Bau darah tercium disertai ketakutan. Salah seorang dari mereka kini memegang sebilah pisau, mencoba melawannya dengan kepanikan menguasai diri pria itu.
"Paman, bukankah sebaiknya menyerah saja?" Pemuda yang kira-kira berumur 15 tahun itu menoleh ke arah pemilik pisau itu, dia menyeringai. Mengambil kuda-kuda yang matang.
"Diam kau brengsek!" Pria yang sedang panik itu langsung maju, mencoba menusuk bocah itu. Untuk menghindari serangan itu, bocah itu memutar tubuhnya, meluncurkan tendangan putar tepat di tangan yang menggenggam pisau itu. Pisau itu melompat dari tangan pemiliknya, belum sempat terjatuh, pemuda itu mengambilnya dengan cepat dan menghujamkan pisau itu ke arah leher sang pemilik. Darah keluar membasahi wajahnya, tanpa ampun bagaikan hiu yang haus darah. Dua orang telah tumbang.
Bukan berarti yang lain akan menyerah, mereka mengambil senjata seadanya lalu mencoba mendesak bocah itu. Beberapa dari mereka mencoba untuk memukulnya. Dan dengan dua gerakan jitu yang diluncurkan oleh bocah itu, dia menjatuhkan penyerangnya. Kemudian mengambil pemukul baseball yang terjatuh itu dan bergeser ke kiri dengan roller bladenya. Beruntung waktunya tepat, serangan pemukul kayu ia hindari karena keberuntungan. Tanpa ragu, pemuda itu memukul sendi kaki musuhnya. Hingga jatuh lalu memukul wajahnya.
Dia tau bahwa dia akan menang disini, dia sudah mencium rasa takut dari musuhnya.
Tidak ada kata mundur lagi, dia menghabisi mereka kurang dari setengah jam.
Malam itu, dihiasi oleh pertempuran yang mengerikan, bau darah yang bercucuran dimana-mana. Nathaniel tidak beraksi pada saat itu. Dia beristirahat karena lelah memikirkan apa yang terjadi.
Malam yang kelam dimana bulan menyinari gang berdarah itu, dengan seorang bocah berambut biru disana, memegangi tongkat baseball.

Minggu, 12 Oktober 2014

The Story Chapter 5 (Part 1)

The Story Chapter 5 : Ricardo Federico
 Di malam yang indah, dimana cahaya kota benar-benar terlihat indah dan damai. Dengan keramaiannya. Masih terdapat suatu misteri lain, dimana setiap malam terdapat geng-geng yang pingsan dan babak belur. Bahkan sebelum Nathaniel menyamar dan menghajar mereka. Tapi malam ini kita akan melihat siapa orang itu.
*Bruk* "To-tolong jangan sakiti aku, a-aku akan memberikan berapapun yang kau mau." Seseorang di gang kecil sudah terlihat putus asa akan keadaannya, di depan matanya terlihat seseorang dengan topeng kain bercorak tengkorak. Topengnya tidak sampai menutupi mata, hanya sebatas hidung saja.
"He? Uang? Aku tidak butuh itu." Ujarnya santai. "Ah tapi mungkin aku juga membutuhkannya." Lanjutnya bergumam sendiri.
Ya benar-benar seperti orang yang plin-plan, memalukan.
"La-lalu apa yang kau inginkan? Tolong ja-jangan sakiti aku!" Pintanya lagi. Tapi menghadapi orang plin-plan memang sedikit sulit. Pria itu hanya menatap dengan tatapan tajam, seakan tidak ada lagi bermain-main. Dia menghampiri pria itu dan tamat sudah riwayat musuhnya.

Keesokan harinya, berita di koran sudah mulai memuat tentang kejadian di gang kecil itu. Ah sepertinya bukan gang itu saja, bahkan dari berbagai tempat karena ulah orang itu.
Di pagi hari yang cerah itu, Nathaniel dan Anna sedang menikmati sarapan mereka, Nathaniel menyetel tv saluran berita. Dan ternyata tidak hanya di koran, namun di tv pun juga dimuat.
"Berita selanjutnya mengenai geng-geng kecil yang ditemukan tertangkap oleh kekuatan khusus. Asap-asap mengitari tubuh mereka. Belum ada keterangan dari polisi setempat." Ucap seorang pembawa acara dalam siaran itu.
"Nathan, kurasa kota ini mulai tidak memerlukan polisi." Ujar Anna yang tengah menyaksikan berita itu. Nathaniel sendiri hanya mengangguk. Dia merasa sedikit besar kepala karena ulahnya akhir-akhir ini.

"Selain itu, di lain tempat, ditemukan beberapa anggota geng dalam keadaan tidak sadarkan diri. Kini mereka berada di rumah sakit dan pihak kepolisian sedang menunggu kesadaran mereka untuk meminta keterangan dari mereka." Lanjut sang pembawa acara.
"Tunggu.. Kenapa bisa ada yang tidak sadarkan diri?" Gumam pria muda itu dengan pelan. Seingatnya, dia hanya menghajar mereka lalu menahan mereka tanpa membuat kesadaran mereka hilang. Sedikit aneh menurutnya.
"Woh? Sekarang malah sampai tidak sadarkan diri." Ucap adiknya itu dengan mulut penuh.
"Sebaiknya kau habiskan makanmu, baru bicara!" Balas Nathaniel. Sifatnya yang bagaikan seorang kakak kini muncul lagi.
Beberapa menit kemudian, setelah mereka berdua menghabiskan makan, mereka pun memulai aktivitas mereka dan berangkat ke kampus.

"Nathan, menurutmu orang yang melakukan semua itu baik kah?" Tanya Anna secara tiba-tiba saat perjalanan menuju sekolah mereka. Nathaniel sendiri terlihat bingung akan menjawab apa.
"Entahlah, kita belum bisa memastikan itu." Ujar Nathan.
Selama di perjalanan, mereka hanya membicarakan tentang orang yang sudah menghajar kelompok-kelompok penjahat itu. Sesampainya di gerbang kampus, mereka mendengar beberapa murid membicarakan tentang berita pagi ini.
"Benar-benar ramai sekali." Ucap Nathaniel pelan. Sedangkan Anna, dia berjalan duluan, "baiklah aku ke kelas dulu, sampai nanti." Katanya, kemudian pergi.
Nathaniel hanya membalas dengan memberikan senyuman, lalu dia untuk sekali lagi melihat sekelilingnya. Ada sesuatu yang janggal menurutnya. Seorang pria yang terlihat sedang bersantai-santai di dekat sebuah pohon. Dia merasa belum pernah melihat pria itu. Tapi dia tidak begitu memikirkannya dan memutuskan untuk pergi ke kelasnya.

Bel berbunyi tanda pelajaran akan segera dimulai. Tapi di dalam kelasnya masih terlihat riuh, hanya beberapa orang saja yang tenang. Seperti seseorang yang terlihat tangguh, pengguna elemen api yang berada tidak jauh dari tempat Nathan, lebih tepatnya di depannya.
*grek* Pintu kelas tiba-tiba saja terbuka, dua orang pria muncul dari balik pintu, berjalan masuk.
"Baiklah kelas sudah dimulai dan kalian masih saja ribut." Ucap seorang yang berada di dekat meja guru. Ya, dia adalah seorang guru.
"Duduklah!" Teriaknya. Walaupun dia berteriak, tapi nadanya bukan seperti orang marah, melainkan nada memberitahu.
"Kita kedatangan murid baru sekarang. Nah perkenalkan dirimu!" Lanjutnya, menoleh ke pria yang disampingnya itu.
"Baiklah baiklah." Ucapnya. "Namaku Ricardo, nama panggilanku Ricardo. Aku menyukai makanan Itali. Ah tentu saja asalku juga dari Itali. Hobiku merayu wanita." Jelasnya dengan santai. Hobinya terlihat cocok dengannya karena jika dilihat juga wajahnya lebih mirip seorang playboy. Musuh para wanita.
"Baiklah, kau bisa ambil duduk di deretan paling belakang dekat pria disebelah jendela itu." Ucap sang guru sambil menunjuk tempatnya. Pria bernama Ricardo ini terlihat santai berjalan ke tempatnya. "Baiklah kita lanjutkan pelajaran yang kemarin."

Dengan santainya pria itu duduk di bangku kosong di sebelah Nathaniel lalu melihat ke arahnya, "beritahu aku, apakah guru ini menyenangkan?" Tanyanya.
"Tidak juga, hanya membosankan." Balas Nathaniel sambil melihat ke arah jendela.
Kemudian jam istirahatpun berbunyi. Tentu saja 3 jam setelah kejadian tadi berlangsung. Para murid kebanyakan berada di kantin, lalu bagaimana dengan Nathaniel? Dia memainkan ponsel khususnya itu, melihat beberapa aktivitas dari kamera pengawas di kampus Verdamia. Teknologi yang canggih.
Sedangkan Anna? Dia berada di lapangan sekolahnya, bermain sendiri. Lebih tepatnya menggila.
"Lapangan lapangan lapangan!" Teriaknya sambil berlarian bagaikan anak kecil. Teman-teman yang melihatnya seakan ingin berkata, "dia bukan temanku."

Saat bel pulang sudah terdengar, Nathaniel sudah bersiap untuk pulang. Dia melihat kesampingnya, pria yang tadi duduk disampingnya itu sudah menghilang. Lebih tepatnya pulang duluan sebelum yang lain melihatnya.
"Ah? Dia menghilang?" Gumamnya. Kemudian dia pun berjalan keluar kelas dan menuju ke bawah, tepatnya ke gerbang kampus.
Dibawah, sesuatu yang tidak terduga muncul. Ricardo terlihat sedang merayu seorang wanita. Anna lah korbannya.
"Hoi!!" Teriak Nathaniel dengan keras dan penuh dengan geram. Dia berlari lalu menarik adiknya.
"Jangan seenaknya menggoda adik orang, dasar brengsek!" Makinya. Siapa yang tidak marah? Adik orang digoda oleh seorang playboy, musuh para wanita.
"Hei hei, santai saja. Aku takkan menculiknya lalu membawanya ke sebuah ruang kosong dan menalinya." Balas pria itu dengan santai. Ah... kurasa pembicaraan ini mulai menjurus ke arah "dewasa" dan pedofilia.
"Nathan, aku takut. Dia seperti seorang pedofil." Ucap Anna, ekspresinya benar-benar seperti gadis yang takut diapa-apakan. Ah baiklah ini mulai ngawur, mari kita percepat alurnya.

"Baiklah, kurasa aku harus pulang. Sampai jumpa nona, dan uh kakak sialannya." Kata Ricardo dengan santai. Dia berjalan pergi seraya melambaikan tangannya.
Dengan lega, Nathaniel dan Anna mengeluarkan nafasnya. Seorang playboy memang tidak bisa dipercaya. Mereka berdua pun pulang ke rumah, melakukan kegiatan mereka masing-masing hingga malam tiba.

Kali ini, Nathaniel melakukan aksinya lagi, memberantas geng-geng kecil. Dia melihat ada peringatan yang muncul dari ponselnya. Di distrik yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Membuat Nathaniel terpaksa mengecek hal itu.
Sesampainya dia disana, terdapat beberapa tubuh yang entah mati atau pingsan. Dan diatas atap, pria dengan topeng tengkorak yang sebatas hidung itu juga muncul. Menatap Nathaniel dengan mata merahnya.
"Aku sudah menunggumu, sialan!" Ucap pria yang sedang berdiri diatas atap itu.

Sabtu, 11 Oktober 2014

The Story Chapter 4

 THE STORY CHAPTER 4 : THE FIRST DAY
 Sudah tiga hari berlalu semenjak Nathaniel menemukan topeng dan ruangan rahasia. Kini dia dan adiknya sudah mulai bersekolah lagi di kota itu. Hari-hari biasa yang tidak begitu menarik untuk kedua orang itu.
"Aku ingin segera pulang." Batin pemuda itu. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Masih banyak yang harus ia lakukan bahkan sepulang sekolah nanti. Sedangkan Anna, dia bertemu dengan kawan-kawan baru yang ramah kepadanya. Tentu saja dia membalas keramahan mereka.
"Anna, aku dengar kamu ini pindahan dari negeri yang jauh kan?" Tanya seorang dari mereka. Anna hanya mengangguk dan membalas dengan senyuman simpul. Sedangkan Nathaniel yang berada di tempat yang berbeda, hanya bisa bermalas-malasan sambil mendengar gurunya menjelaskan sebuah materi yang ia tidak bisa pahami.

Sepulang dari sekolah, Pria muda itu berjalan sendiri melewati gang sepi untuk memotong jalan lebih cepat. Saat sedang melewati sebuah gang, dia melihat seseorang yang sedang dikeroyok habis-habisan oleh geng kecil.
"Hei kalian!" Teriaknya. Ketua dari kelompok itu langsung menoleh begitu juga anak buahnya, mereka memandang Nathaniel dengan penuh ketidak nyamanan karena mengganggu urusan mereka.
"Apa maumu?!" Ucap si ketua dengan nada geram. Dengan santainya pria muda itu malah meledek mereka. Membuat geng kecil tadi berpindah target.
"Kau akan kuhabisi dasar bocah!" Langsung tanpa segan, seorang dari mereka berlari kearahnya dan memukulnya dengan sebuah pipa. Ya untunglah pria bernama Nathaniel ini tau cara bertarung, ditambah pengalamannya saat melawan bos perampok di tempo hari itu sudah membuat mentalnya siap.
Dengan santainya ia menghindari, "Betapa lemahnya kamu ini." Lanjutnya meledek. Senyumannya memang terkesan meledek. Inilah dirinya yang sesungguhnya, yang suka meremehkan orang. "Brengsek!" Sang bos tidak tinggal diam, entah kenapa di tubuhnya muncul seperti garis-garis aneh dengan warna nyala api. Yang tidak bisa ku deskripsikan, seperti kekuatan khusus.

"Musuh yang pas eh?" Lanjutnya dengan nada meremehkan. Ya beginilah dia, suka meremehkan orang lain. Tapi meskipun meremehkan, dia tetap serius dalam bertarung. *Boom* Pria muda itu tiba-tiba melompat ke atas, menghindari ledakan api yang muncul entah darimana, kurasa yang tadi itu benar-benar nyaris mengenai tubuhnya. Meskipun dia bisa merubah tubuhnya menjadi asap, bukan berarti tidak ada serangan yang bisa mengenainya. Dia bukanlah seorang Tuhan.
Baiklah kembali lagi, dia mendarat tepat di belakang mereka dengan santai. Ketika mereka sadar, bola asap sudah mengenai mereka semua tanpa terkecuali. Tapi mereka tidak menyerah, sang ketua memaksa anak buahnya untuk maju dalam pertempuran ini. Yang sudah pasti pemenangnya adalah Nathaniel. Ya tentu saja bagaimana tidak? Seorang ESPer melawan 3 pria biasa tanpa suatu kekuatan apapun. 
*Bruk bruk*
Ketiga orang itu sudah pingsan di depannya. "Siapa selanjutnya?" Tanyanya santai, memandang sekitarnya. Menyisakan sang bos. "Ternyata hanya kau." Lanjutnya.
"B-brengsek!" Ucap pria bertubuh besar itu, dia terlihat geram namun takut. Sepertinya sudah berpikir untuk melarikan diri.

*BOOM*
Asap tiba-tiba muncul. Kekuatan milik pria muda itu, dia mencoba menghabisi musuhnya yang sedang tidak sadar tentang keberadaannya.
Sayang, asapnya itu, yang berada di sekitar pria berbadan besar itu menghilang, "Kau pikir asap ini bisa membuatku buta sementara? Ha!?" Teriaknya. Untuk sekali lagi, muncul lagi garis-garis berwarna nyala api itu. Tangannya berubah wujud menjadi sebuah api.
"Kemarilah kau dasar brengsek!" Lanjutnya memaki.
Ya sepertinya Nathaniel tidak terlihat berada di tanah, dia berada di atap sebuah rumah yang tak begitu tinggi. Untung saja ada ventilasi udara, membuatnya mampu pindah keatas tanpa perlu melakukan parkour.
"Dia kuat tapi tidak punya otak." Gumamnya pelan, melihat pria besar yang sedang marah itu dengan penuh rasa prihatin.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Bola api yang panas tiba-tiba muncul dari bawah, tepat ke arah pria muda itu.
"Wuah!!" Untungnya dia berhasil menghindarinya. "Benar-benar panas!" Lanjutnya lagi, langsung menatap tepat kepada satu-satunya anggota geng-- tidak, lebih tepatnya sang ketua.

Tak sebodoh yang dipikirkan. Ditengah pertarungan, ponsel milik pria muda itu berbunyi. "A-ah tunggu, ponselku berdering." Ujarnya dengan santai, meraih ponselnya yang berada di dalam kantongnya. Ah.. Kurasa pertarungan ini tidak terdengar serius lagi sekarang.
Dengan sedikit canggung, dia mengangkat teleponnya.
"Ha-halo, siapa ini?" Tanyanya. "Nathan! Kapan kau akan pulang?!" Suara teriakan itu langsung muncul begitu telepon diangkat.
"A-anna? Ah maaf, aku sedang bertarung." Belum selesai bicara, tembakan bola api datang lagi menyerang kepalanya. Dan lagi-lagi ia hindari dengan cara yang sedikit kocak. "He?! Bertarung?? Hmph, baiklah lakukan dengan cepat!" Tiba-tiba saja sudah ditutup.

"Perhatikan musuhmu! Dasar brengsek!" Ah, menurutku pertarungan ini mulai membosankan, mari kita buat pertarungan ini sedikit cepat sampai saat pria bertubuh besar itu jatuh.
"Siapa... k-kau ini??" Tanya pria itu. Nathaniel dengan santai menjawab, "kau tidak perlu tau, nah sekarang apa kau tau sesuatu mengenai seseorang bernama Jordi?" Tanyanya santai dengan sebuah senyuman mengejek.
"Dia... Aku tidak kenal.." Balasnya. Nathaniel langsung menendang wajah musuhnya itu. "Beritahu saja apa susahnya? Semakin cepat semakin baik kan?" Ucap pria muda itu. Tapi tidak ada balasan dari lawan bicaranya.
"Apa boleh buat." Entah apa yang dilakukan Nathaniel, tapi dia membuat musuhnya terperangkap oleh pusaran asapnya

Dengan demikian, dia meninggalkan mereka dan pulang kerumahnya.
Sesampainya di rumah, tiba-tiba saja ada yang marah.
"Nathan! Kenapa kau pulang lama?? Kau membuatku khawatir!" Tentu saja itu suara adiknya. Ya memang rumit tapi itu juga salahnya bukan?
"Hei hei, aku ini sedang membela kebenaran, diamlah sebentar." Balas pria muda itu seraya menepuk kepala adiknya dengan pelan lalu berjalan ke arah kamarnya.
Tentu saja adiknya makin marah, dia mengembungkan pipinya. Dengan cepat adiknya langsung memegang tangannya lalu menariknya keruang makan.
"O-oi, apa yang kau lakukan?! Anna!" Teriak sang kakak. Tapi Anna tidak peduli, dia menarik kakaknya lalu berkata layaknya seorang putri, "aku tidak peduli, aku ingin makan yang manis-manis!" Ucapnya.
Ah benar-benar adik yang merepotkan. Itulah isi dari batin pemuda itu. Karena kerepotan, dia terpaksa harus memenuhi permintaan sang adik. Dia mengambil sebuah coklat yang ia sembunyikan di suatu tempat di sekitar dapur.
"Coklat coklat~." Ucap sang adik terus menerus, membayangkan lezatnya sebuah coklat.
"Ini." Kata sang kakak, memberikan sebatang coklat yang masih baru dan dingin kepada adiknya. Inilah alasan dia harus menyembunyikan coklat miliknya, karena adiknya bisa saja mencuri semua stok yang Nathaniel punyai. Tapi kini masalah itu sudah berlalu.

Nathaniel berjalan ke arah kamarnya dengan sedikit kelelahan.
Mari kita berpindah ke tempat kamar Nathaniel. Dia sudah berada di dalam sekarang, mengambil ponsel khusus yang ia temukan di kamar yang sama di hari sebelumnya. Dia membuka tempat tersembunyi yang berada di bawah kamarnya itu.

"Baiklah Delsin, aku masih membutuhkan petunjuk" Ucapnya seraya masuk ke dalam ruangan itu. Untuk sekali lagi dia melihat sebuah topeng dengan kacamata yang berada tepat di depannya saat berada di bawah. Dia berpikir, mungkin masih ada petunjuk yang belum ia selidiki. Dia mencari sebuah petunjuk di sekitar topeng itu, tapi tidak ada yang ia temukan. Kemudian ia berpindah tempat ke lorong berikutnya, tempat dimana sebuah altar terdapat di tengahnya, bukan sebuah altar persembahan. Lebih seperti tempat untuk meletakkan sebuah bola, 5 bola tepatnya, dengan arah yang berbeda.
"Kenapa tidak ada apa-apa disini?!" Gumamnya pelan, dia mulai depresi. Hingga kemudian tanpa sengaja ia menekan sebuah tombol. Membuatnya melihat cahaya aneh. Seperti partikel.
"H..He...y.... Hey!" Sebuah suara keluar, entah darimana asalnya. Membuat fokus Nathaniel terpecah dan bingung.
"Aku yakin kau bingung." Lanjutnya, "Namaku Delsin." Ujarnya memperkenalkan diri.
"Dan aku yakin kau adalah diriku di masa ini." Lanjutnya lagi. Sontak mendengar hal itu, Nathaniel terkejut. Tentu saja, siapa yang tidak terkejut mendengar bahwa dia sedang bertemu dengan dirinya di masa lalu?

"Tapi sebelum itu, tunjukan tandanya." Lanjut pria bernama Delsin ini. Tentu saja Nathaniel sedikit kebingungan dengan hal ini. Dia bertanya kepada proyeksi diri itu.
"Tanda apa yang kau maksudkan??"
"Ah? Kau bingung? Aku yakin diriku yang sekarang mempunyai tanda di tangannya." Jelas Delsin sambil menunjukkan punggung tangan kanannya. Sekarang semuanya masuk akal, Nathaniel memandang tangan kanannya, tepatnya punggung tangannya. Dia melihat sebuah luka-- tidak, lebih tepatnya sebuah tanda. Yang ia dapatkan setelah badai itu terjadi.
Resonansi terjadi, tanda di tangan kanan masing-masing pemuda itu menyala sekarang.
"Nah, itu dia sinyalnya." Ucap Delsin sambil tersenyum ramah, "Itu berarti kau adalah aku dan aku adalah kau." Lanjutnya lagi.
Kini Nathaniel mulai mengerti. Tapi tanpa ba bi bu, dia langsung melontarkan pertanyaan.

Tentu saja hal itu membuat Delsin sendiri terkejut. "Woh, tunggu dulu sobat." Ucap Delsin.
"Bertanyalah satu per satu." Lanjutnya lagi. Nathaniel hanya mengangguk lalu memulai pertanyaannya yang pertama.
"Baiklah, menurut rekamanmu, kau berkata tentang seseorang bernama Jordi. Siapa dia dan apa hubungannya dengan bencana yang lalu?"
"Jordi ya? Mungkin kau bisa mencari nama itu saat kau sudah menjadi vigilante." Jawabnya dengan santai. Delsin kemudian berjalan ke arah lorong dimana topeng itu berada. "Ikutlah!" Ucapnya santai. Nathaniel hanya mengikuti dari belakang, bingung kenapa dia dibawa kembali ke tempat itu.

"Menurutmu kenapa aku membuat tempat ini?" Tanya Delsin. "Karena akan terjadi suatu bencana?" Jawab Nathaniel.
Delsin entah kenapa berhenti dan menoleh ke arahnya. Tentu saja dengan tidak memutar kepalanya, kau pikir dia apa? Burung hantu?
"Itu benar juga, tapi sebenarnya ini adalah sebuah bunker." Ya, tempat ini memang seperti bunker untukku, sang narator. Tapi sebuah bunker tidak mungkin memiliki altar kan? Pikiran yang sama juga ada di dalam otak Nathaniel. Dia juga berpikiran bagaimana mungkin ada altar.
"Tunggu, bagaimana bisa dibilang bunker?" Tanya Nathaniel.
"Ah aku mengerti, altar itu membuatmu bingung kan?" Dia bertanya sambil melanjutkan jalannya.

Sesampainya di depan topeng itu, Delsin menjelaskan seluruhnya.
"Sebenarnya, ada sebuah bencana yang akan melanda pulau ini untuk sekali lagi." Ucap Delsin. "Dan ada 5 kekuatan yang mampu menghentikannya, aku beserta ESPer lainnya sudah berhasil mencegahnya di masa lalu. Kini giliranmu, Nathaniel." Jelasnya. Dari nada bicaranya, terdengar seperti dia menaruh harapan pada Nathaniel.
"Baiklah, aku yakin orang bernama William tau sesuatu tentang ini." Ujarnya. Tiba-tiba saja tembok-tembok disekitar topeng itu terbuka.
"Temukan orang bernama Jordi dulu, maka kau akan menemukan kekuatan penyelamat itu." Lanjut Delsin. "Kekuatanku menipis, sudah waktunya aku pergi. Tapi tenang, setiap kau menemukannya, aku akan muncul." Jelasnya dengan santai.

Partikel itu perlahan-lahan menghilang, "Baiklah sampai jumpa." Partikel itupun hilang. Nathan tidak berdiam diri lagi, dia memakai topeng dengan kacamata itu lalu mengambil sebuah baton yang terpajang di tembok.\
"Sudah waktunya aku melakukan hal itu." Gumam pelan Nathaniel, kemudian ponselnya menyala dan menunjukan jalan keluar dari basemen persembunyian itu.
Saat sudah di luar, Nathaniel berada di sebuah gang kecil yang sepi, dia melihat kesekeliling. Menemukan sebuah ventilasi udara yang menghubungkan tempat itu ke atap sebuah gedung. Dia merubah dirinya menjadi asap dan masuk ke ventilasi itu.

Saat sudah di atap, dia mengamati seluruh kota, dan sebagian dibantu oleh aplikasi dari ponsel itu. Aplikasi untuk menyusup ke dalam kamera keamanan di kota.
Ah akhirnya dia menemukan seseorang yang mencoba melakukan tindak kriminal secara sembunyi-sembunyi. Baiklah mari kita percepat cerita sampai dia berada di dekat pelaku kriminal.

Dia mengawasi dari atas gedung yang tidak begitu tinggi. Mengamati sampai akhirnya sang pelaku mulai melakukan aksinya. Dengan cepat Nathaniel melompat turun lalu menghajar pelaku kriminal itu dengan sebuah baton. Ah baton adalah sebuah senjata dalam kepolisian. Kalian bisa mencarinya di google dengan keyword "baton asp" ya itu tidak terlalu penting sebenarnya. Untung saja sang korban sudah melarikan diri saat pelaku diserang oleh pria muda bertopeng itu.
Nathaniel langsung bertanya dari balik topengnya,
"Kau mengenal orang bernama Jordi??" Suaranya memberat dikarenakan alat pengubah suara yang berada di topengnya.
"Si-siapa Jordi itu? A-aku tidak mengenalnya." Lawan bicaranya menjawab dengan terbata-bata. Dia memukul kepala musuhnya itu dengan baton, lalu bertanya sekali lagi dengan nada tegas.
"Aku tanya sekali lagi! Siapa Jordi?! Dan dimana dia?" Teriaknya. Lalu memukulnya lagi.
"Ba-baiklah, k-kau bisa menemukannya di dekat pelabuhan. Di-dia biasa disana." Jelas lawan bicaranya, dengan penuh rasa takut. Dia sudah tidak berani melakukan apa-apa. Nathaniel langsung mengarahkan batonnya ke lawan bicaranya, memukulnya hingga pingsan lalu menahannya dengan pusaran asapnya. Dan kemudian dia menghilang.

Disisi lain, seseorang muncul dengan beberapa prajurit bersenjata berat, mereka tampak mencari sesuatu. "Hmm. Kalian coba cari di dalam goa ini!" Perintah seorang pria yang memimpin pasukan itu. Pasukan itu langsung menaati perintahnya dan masuk kedalam sebuah goa. Pria itu melihat ke arah langit, menatap bulan penuh yang bercahaya indah.
"Aku akan menguasai pulau ini." Gumamnya dalam hati.

Sementara di kota, tepatnya di tempat yang berbeda dari Nathaniel. Muncul seseorang dengan topeng, dia melihat kota itu dari atas sebuah menara.
"Betapa menyedihkannya kota ini." Ucapnya pelan, "dan mereka menyuruhku untuk mencarinya? Merepotkan." Lanjutnya lagi.

Langit benar-benar cerah, bulan bahkan berhasil menunjukan keindahannya. Tapi, keindahan bulan purnama hanya diwarnai oleh pertumpahan darah yang akan segera terjadi.

~CHAPTER 4 END~