The Story Chapter 6 : The Shark (bagian 1)
"Tampak seperti yang anda lihat, beberapa mayat yang ditemukan di gang ini mati mengenaskan," kata seorang reporter di dalam televisi, dengan latar belakang garis polisi dan beberapa mayat yang ditemukan disana. "Menurut pihak aparat, korban-korban ini tewas karena tusukan di leher, hantaman di kepala juga tikaman di dada. Senjata yang dipakai kemungkinan adalah pisau militer,"
"Pagi-pagi sudah disuguhi mayat lautan darah, Nathan sebaiknya kau mengganti channelnya," ujar seorang gadis muda yang duduk disana dengan anggun bak putri sambil meminum susu coklat miliknya. "Kau dengar tidak?"
"Hmm." Pria muda yang berada di hadapan gadis itu sedang serius menonton berita sambil memakan roti coklatnya. Tampak tidak mendengarkan apa perkataan adiknya. Serangan mengerikan ya? pikirnya.
"Nathan!" Kali ini gadis itu berusaha meraih telinga Nathaniel, mencoba menjewernya. Tapi, sebelum dia sampai melakukan itu, Nathaniel tiba-tiba menoleh kearahnya. Menyebabkan gadis itu terkejut lalu cepat-cepat kembali ke tempatnya.
"Kau ini banyak tingkah, Anna," ledeknya seraya menghabiskan roti berisi coklat itu. Adiknya hanya mengembungkan pipinya sebagai respon dari ledekkan kakaknya.
Setelah semua makan pagi habis di meja makan, mereka pun bersiap-siap pergi sekolah.
Lagi-lagi sesuatu mengganjal di pikiran Nathaniel saat di jalan. Tentu saja tentang pembunuhan semalam yang menewaskan berandalan-berandalan yang tersisihkan.
"Nathan," panggil adiknya itu secara tiba-tiba. Membuyarkan lamunannya.
"Hng? Ada apa?"
"Akhir-akhir ini kau banyak melamun." Raut wajah Anna menjadi sedikit khawatir mengenai kakaknya. Memang benar, akhir-akhir ini banyak yang dipikirkannya. Mengenai seseorang bernama Jordi, juga tentang kriminalitas yang akhir-akhir ini naik turun tidak stabil. "Apa karena kau kurang makan?"
"Tentu saja tidak, kau melihatnya kan?" Balasnya dengan santai, "aku makan terlalu banyak, tapi tidak bisa gendut," lanjutnya lagi dengan nada bangga akan dirinya sendiri.
"Ah mungkin karena kurang tidur!" Seru adiknya itu, matanya berubah menjadi mata yang bahagia. Mungkin karena dia kira dia berhasil memecahkan misteri tentang kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat punya banyak pikiran. Tapi, memangnya kurang tidur mampu menyebabkan seseorang mempunyai beban pikiran?
"Mungkin juga," balasnya singkat dengan senyum penuh dengan teka-teki.
"Lagi-lagi.." Anna tiba-tiba saja menjadi ketus karena jawaban dari kakaknya.
Tidak jauh darisana, seseorang sedang mengamati dari atas genteng rumah yang mereka lewati. Seseorang yang rasanya terkait dengan pembunuhan semalam. Bocah berambut biru itu menatap dengan tatapan setajam pedang yang seakan siap untuk menusuk Nathaniel.
Entah kenapa, rasanya Nathaniel merasa seperti dihantui. Dia langsung menoleh ke belakang, tepat ke arah genteng itu. Tapi sosok bocah itu sudah menghilang darisana, tepat sebelum Nathaniel mencari tau apa yang mengganggunya.
"Eh? Ada apa Nathan?" Tanya adik kecilnya itu. Merasa khawatir dan ragu.
Nathaniel tiba-tiba menoleh ke arah adiknya, menoleh sebentar lalu memberi senyuman simpul, "bukan apa-apa, hanya firasatku." Jelasnya, mencoba untuk tidak membuat Anna khawatir.
Sesampainya di sekolah, mereka berpisah untuk sementara. Pergi ke kelasnya masing-masing. Siluet hitam dibalik pohon, tepat saat kedua bersaudara itu berpisah, dia menatapnya dengan tatapan datar.
Sementara Nathaniel berjalan menapaki tangga ke arah kelasnya, adiknya, Anna bertemu dengan orang baru, sosok yang tidak ia kenal dari sekolahnya maupun kampus dimana kakaknya belajar.
"Umm, nona bisa aku bertanya?" Kata pria itu, memulai pembicaraan. Dari logatnya mengatakan bahwa dia bukanlah orang dari wilayah ini maupun negara ini. Orang baru mungkin?
"Ah? Tentu," balas Anna. "Memangnya ada apa?"
"Apa benar ini kampus Verdamia? Tempat dimana orang-orang yang "spesial" berkumpul?" Lanjutnya dengan pertanyaan lain.
Anna membalas dengan anggukan lalu tersenyum. "Jika kau orang baru, lebih baik kau ke gedung itu," dia menunjuk ke arah gedung dimana kakaknya menapaki tangga.
"Ah begitu? Terima kasih!" Pria itu terlihat bersemangat, dia membungkuk sebentar sebagai tanda terima kasih. Lalu langsung berlari tak karuan menuju gedung itu, tepatnya ruang administrasi.
"Orang yang terlalu bersemangat." Gumam Anna sangat pelan. Kemudian Anna pun melanjutkan jalannya pergi ke gedung sebelah.
Tak lama setelah itu, bel sudah berbunyi. Menandakan dimulainya kelas.
Kelas Nathaniel terlihat ramai riuh, seakan murid-muridnya tidak mempunyai niatan untuk belajar. Ya bisa dibilang seperti biasanya.
Nathaniel berjalan ke bangku kosong yang berada di pojok belakang lalu meletakkan tasnya. Dan tentu saja, menatap jendela dengan wajah bosan.
Suara pintu yang digeser untuk terbuka itu terdengar sangat keras. Dan seorang pria dengan jas dan berkacamata masuk ke dalam sambil membawa beberapa buku. Nathaniel meliriknya, orang yang ia kira terasa familiar. Orang yang mengantarkannya ke pulau ini. Dia terkejut sebentar lalu berdiri dan memukul meja.
"Huh?" Pria itu terlihat bingung. "Ada apa Nathaniel? Duduklah dengan tenang," ucapnya tanpa basa-basi.
Nathaniel yang terkejut tadi menenangkan diri, karena seluruh kelas menatapnya sekarang. Dia duduk dan menoleh ke arah jendela lagi.
"Hmm," pria itu mengambil secarik kertas lalu membacanya sebentar. "Baiklah, jadi guru Kimia sedang tidak masuk sekarang karena sakit. Ditambah ada murid pindahan--" dia terdiam sejenak, mencoba membaca nama murid baru itu. "Re.. Reis? Ah iya dia orang Turki, pantas saja," lanjutnya dengan gumaman. "Ya biarkan dia masuk dan memperkenalkan dirinya sendiri. Masuklah!"
Tiba-tiba saja pintu kelas itu dibuka dengan cara yang kasar. Masuk dengan gaya yang sok keren. Dia adalah seseorang dengan rupa Arab yang jelas terlihat dari wajahnya, dengan gaya yang sedikit modern.
"Namaku Yusuf Reis!" Serunya dengan semangat. "Dan aku adalah keturunan dari pembuat peta dunia legendaris, Piri Reis!" Lanjutnya lagi.
Seluruh kelas tampak terkejut dengan ucapannya, sebagian bergumam karena ragu dan tidak percaya. Nathaniel sendiri? Ya dia menoleh juga karena terkejut, mana mungkin legenda Piri Reis mempunyai keturunan dengan kekuatan yang "unik".
"Baiklah tenang sejenak," Pria berkacamata itu berusaha untuk menenangkan kelasnya dengan gaya yang kurang atau mungkin tidak tegas sama sekali. Benar-benar terlihat tidak punya niat. "Nah Yusuf, bangku sebelah pria yang duduk di pojok jendela itu kosong, duduklah disana. Mungkin saja kau menemukan jodohmu," ujarnya.
Pria Turki ini hanya mengangguk lalu berjalan dengan aura bersemangat disekitarnya. Duduk di sebelah Nathaniel dengan santainya.
Setelah orang Itali sekarang orang Timur Tengah pikir Nathaniel dengan muka masam. Apa lagi yang akan terjadi sekarang?
"Baiklah kita mulai pelajarannya, kalau tidak salah minggu lalu kalian membahas potassium bukan?" Saat pria berkacamata itu menjelaskan segala sesuatu mengenai pelajaran kimia itu. Yusuf malah terlihat heboh sendiri dengan mainan kecilnya, sebuah gunpla.
Nathaniel melihat ke arah jendela, memperhatikan taman. Lagi-lagi pria bertopi katak itu muncul. Apa semua orang aneh berasal dari sekolah ini? Pikir Nathaniel.
Desusan terdengar dari sebelah pemuda yang menatap luar jendela itu, seperti berusaha untuk memanggilnya. "Psst, hey!" Panggil seseorang dari sebelah dengan pelan. Berusaha untuk tidak terdengar oleh guru. Dia seperti ingin membahas sesuatu. Nathaniel menoleh dengan tatapan datar. Dan sebuah percakapan pun dimulai.
Akhirnya pelajaran berakhir, dentungan bel menandakan istirahat yang sudah dimulai.
Kali ini lokasinya berada di taman, ya sama seperti kejadian kemarin. Perbincangan yang sedikit canggung dan tidak menyenangkan.
Seorang pria bertopi aneh itu duduk disana, di bangku taman. Memakan sandwichnya dengan perlahan tapi pasti. Nathaniel juga terlihat disana, disebelahnya. Ikut memakan sandwich yang tentunya miliknya sendiri.
"Aku dengar terjadi pembunuhan," pria bertopi katak itu memulai pembicaraan dengan nada datar.
"Begitulah, kau banyak tahu ya?" Balas Nathaniel.
"Lalu? Bagaimana dengan targetmu itu? Kurasa akan terjadi peperangan untuk merebutkan uang." Ujarnya datar. "Dimulai dari bank di distrik ini, aku sudah mendengar dari beberapa berandal yang menyatukan kekuatan untuk merampok 3 bank besar di distrik ini, " lanjutnya lagi.
"Bagaimana kau bisa tahu? Dan bagaimana aku bisa memercayaimu?"
"Kau takkan percaya sebelum itu terjadi, dan aku yakin pembunuh itu akan muncul sebelum berandalan-berandalan itu mencoba merampok bank terakhir." Jelasnya sebelum akhirnya sandwichnya habis.
"Hey, jika kau tahu sebanyak itu, lebih baik kau bicara pada polisi." Nathaniel mencoba menyarankannya agar dia tidak terlihat mencurigakan, apalagi mulai banyak terdengar munculnya vigilante di kota ini.
"Tenang, hanya kau yang kupercaya."
"Begitu? Baiklah, kau bisa beritahu aku segalanya, " ucap Nathaniel dengan mantap. "Jika kau mau tentunya, " tambahnya lagi.
"Aku akan memberi tahumu sebuah informasi setiap sebelum sandwichku habis." Sandwich yang sedaritadi dipegangnya dan dimakannya, kini telah menghilang karena habis. Pria itu berdiri dan dengan malasnya berkata, "Jika sudah habis, maka tidak akan ada lagi informasi untukmu." Lalu diapun berjalan ke arah yang sama seperti hari sebelumnya.
Nathaniel memfokuskan pandangannya pada orang itu, sampai akhirnya dia benar-benar menghilang dari balik lorong.
"Hey Nate!" Seseorang dengan wajah ke Arab-araban itu tiba-tiba muncul dan mengagetkan Nathaniel. Panggilan Nate? Itu terdengar seperti julukkan akrab di telinganya.
"Ugh.." dia batuk karena tersedak lalu berusaha untuk bicara, "kau... sudahlah, bagaimana kau tau namaku?" Nathaniel sedikit terkejut. Tapi sebelum orang itu menjawab, dia langsung meminum air putih untuk fokuskan pikirannya.
"Guru berkacamata itu yang memberitahuku. Dan aku dengar kau butuh seorang yang ahli merakit senjata, benar?" Dia terlihat memastikan. Seperti akan memercayakan suatu senjata padanya. Nathaniel membalas dengan anggukan lalu pria Arab bernama Yusuf ini mulai berbicara inti tanpa ada lagi basa-basi seperti sebelumnya.
"Aku bisa mengajarimu merakit sebuah bom, kau mau?"
"Tentu saja, aku butuh itu. Selain itu?"
"Apa kau tau cara membuat sebuah alat yang bisa mematikan listrik satu kota?" Dia terlihat menguji dan seperti ingin mendapatkan pengakuan dari temannya yang baru saja ia temui.
Tapi responnya diluar dugaan, Nathaniel hanya mengangguk dengan datar dan menatap langit, "jika itu bisa kugunakan untuk kabur, tentu saja." Ucapnya dengan santai.
Yusuf tak habis pikir, bagaimana lawan bicaranya ini tidak memiliki semangat? Atau dia malah menganggapnya remeh?
"Aku ini keturunan langsung dari sang jenius, Piri Reis. Jangan menganggapku remeh!" Dia membentak.
"Tidak mungkin aku melakukannya. Ya jika bisa kau harus mengajariku dengan cepat. Kelas kilat, " Nathaniel pun berdiri membelakangi Yusuf. "Bisa kan? Karena aku butuh itu untuk malam ini."
Yusuf pun tersenyum simpul dan berkata dengan santai, "baiklah baiklah, asal itu digunakan untuk kebaikan."
Kurasa aku harus mempercepat ceritanya.
Pengajaran dari Yusuf terjadi saat pulang dari sekolah. Ya hari ini Nathaniel dan Anna tidak bisa pulang bersama karena Nathaniel sendiri mempunyai rencana sendiri. Tapi mari kita ke lokasi yang lain, ke lokasi sebuah gedung besar dengan tulisan bank yang juga cukup besar menempel di gedung.
Dan sebuah mobil terlihat parkir di belakang gedung itu. Beberapa orang turun dari mobil itu, lengkap dengan topeng. Mereka mengambil senjata mereka dan menurutku rencana mereka adalah berusaha untuk menerobos ke dalam gedung dari belakang dengan mengendap-endap.
Mereka mulai bergerak, kebanyakan senjata mereka adalah AK-47 Custom, dengan sebuah peredam yang menempel diujungnya. Kurasa mereka hendak melakukannya dengan cara yang tidak mengeluarkan suara.
Tapi tampaknya rencana mereka tidak begitu mulus, seorang penjaga menyadari adanya kejanggalan lalu mencoba menghentikan mereka sebelum mereka masuk.
"Tunggu dulu, siapa kalian?" Penjaga itu menghentikan mereka dan mencoba untuk berbicara dengan mereka. Tapi mereka diam dan langsung memukulnya dengan senjata. Berandalan yang licik. Membuat penjaga itu pingsan akibat serangan salah satu dari kawanan perampok itu.
Saat di dalam, beberapa dari mereka melumpuhkan CCTV lalu berpencar menjadi dua grup. Grup pertama ke arah ruang kontrol dan grup lain kearah brankas yang berisi penuh dengan uang.
Di ruang kendali, penjaganya tertidur. Benar-benar beruntung.
Dobrakanpun terjadi, membangunkan penjaga yang tertidur pulas. Salah seorang dari mereka sudah menodongkan AK-47 untuk membuatnya bungkam. Seorang lagi membawa tas berisi laptop dan menyambungkan kabel-kabel ke lubang yang ada di ruang kontrol. Itu seperti adegan di film action, dimana penjahatnya mencoba membajak sistem keamanan.
Orang yang terlihat seperti pemimpin dari grup pertama itu mengeluarkan walkie talkie dan mengatakan bahwa ruang kendali sudah diamankan. Rencana yang mulus sekali. Ditambah keberuntungan menyertai mereka. Benar-benar seperti yang dikatakan oleh pria bertopi aneh tadi.
Di ruangan lain, tepatnya di depan brankas baja. Sekelompok perampok sudah bersiap disana, mencoba untuk membuka pintu baja itu. 8 kunci yang harus mereka buka. Mereka tempuh dengan membajak sistemnya.
Sementara di dalam gedung bank itu, sangat ramai sekali akan nasabah. Bahkan pihak bank sampai kewalahan. Seakan ini memang sudah direncanakan.
"5 kunci lagi, ayo cepatlah!" Seru seorang pria dibalik topeng itu, pemimpin dari kawanan perampok. Mereka memiliki pembajak yang elit dan profesional. Tidak sampai 2 jam, mereka sudah bisa membawa kabur uang-uang itu dan pergi ke bank berikutnya.
Di sisi lain, Yusuf mengajarkan beberapa jenis bom mulai dari bom taktis, bom pengalih perhatian sampai bom mematikan sekalipun. Dia memberi tahu sesuatu tentang bom khusus yang bisa menimbulkan ilusi dan membuat otak terganggu. Dia sendiri sedikit ngeri saat mengajarkan hal itu.
"Aku takkan mengunakan bom ini jika tidak terlalu ekstrim, kuharap kau juga, " pintanya. Pandangannya seperti orang yang berharap akan sesuatu. Sesuatu yang baik.
Nathaniel mengangguk tanda setuju. Pelajaran pun berlanjut.
Sedangkan di tempat yang tidak jauh dari bank, seorang pria dengan rambut pirang duduk di pinggir gedung di depan bank itu. Menatap bank itu seperti sedang menunggu sesuatu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena sebagian tertutup oleh kegelapan. Dan disampingnya, seorang pemuda dengan rambut biru memperhatikan suasana kota.
"Jadi apa ini akan berjalan lancar?" Tanyanya sambil menyeringai. Tapi kakaknya tidak menjawab dan masih memperhatikan gedung itu.
Para perampok lain sudah berpindah lokasi dan saat dijalan, mereka meledakan brankas bank. Kemungkinan besar untuk memancing perhatian.
"Hahaha, dengan ini polisi akan mendatangi bank pertama!" Seru orang yang berada di kursi kemudi. Mobil itu berjalan dengan kecepatan yang normal dan berusaha menghindari keramaian sebisa mungkin.
Mereka gunakan rencana yang sama pada bank pertama untuk bank kedua. Dan mereka berhasil dengan mulus lagi. Tapi kali ini mereka tidak meledakkannya hingga mereka berhasil merampok di bank ketiga.
Tapi usaha mereka kali ini sia-sia, sosok mengerikan bagaikan seekor hiu sudah mengincar mereka. Bersiap membunuh.
Beberapa dari kawanan perampok itu sudah bersiaga karena merasakan sebuah intimidasi secara tak langsung. Sosok tadi melompat dan menendang kepala salah satu dari mereka.
Baku tembak yang tak terelakan terjadi. Tapi pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dia menyeringai, peristiwa ini seperti seekor hiu yang sedang memangsa ikan kecil. Perlawanan apapun tidak akan berguna. Dia menghindarinya seakan dia sudah tau arahnya.
"Orang yang mencoba jalan pintas eh?" Ucapnya, dia melaju dengan kecepatan penuh dengan sebuah bilah pisau di tangannya, menusuk leher penembak itu lalu mengambil satu buah pisau lempar dari tempatnya yang sudah menempel padanya. Dia melemparnya tepat pada kepala dari perampok lain. Kini tersisa 6 anggota. 6 anggota yang akan dikirim ke neraka olehnya. Dia menyeringai sejenak, mengambil pisau yang terhujam pada leher musuhnya tadi.
"Bagaikan seekor hiu yang akan memangsa ikan kecil, " ucapnya dengan nada yang sedikit sadis
"Diam kau!" Musuhnya mencoba menembaknya lagi. Penuh dengan rasa ketakutan. Dia bahkan bisa merasakannya.
Bocah itu memanfaatkan rasa takut musuhnya lalu membuat gerakan jitu untuk membunuhnya. Musuhnya kini tergeletak tak berdaya, dengan darah yang membanjiri tanah. Percayalah padaku, kau mungkin takkan mau melihatnya.
Tapi di tengah penyerangannya, Nathaniel muncul lagi, mengamati. Tentu saja bocah itu sudah merasakan hawanya, dia menoleh ke arah atas, ke sebuah atap yang tidak begitu tinggi juga tidak begitu rendah. Menyeringai.