Pukul 5.30.
Mungkin itu sedikit awal untuk
beberapa orang untuk bangun. Namun, matahari sudah mulai menyingsing. Sinarnya
sudah sampai di hutan di sebelah utara, menyinari beberapa pohon serta sebagai
alarm untuk membangunkan beberapa hewan yang masih lelap dalam tidurnya.
Burung-burung yang sudah bangun,
mulai keluar dari sarangnya. Bernyanyi mensyukuri apa yang sudah diberikan alam
kepada mereka untuk pagi yang indah ini. Suara-suara kicauan mereka terdengar
diberbagai sisi hutan.
Tapi itu tidak lama. Tidak lama
sampai seseorang jatuh dari langit dan menghantam tanah di hutan itu,
mengejutkan beberapa hewan dan membuat mereka berlari ketakutan.
“T-tch..” orang itu terbangun
dari tanah. Ia berusaha semampunya untuk berdiri dengan tegap. Apalagi karena tadi
dilempar jauh dari langit.
Disisi lain, ada makhluk buas
yang meraung-raung bak meminta makan. Makhluk itu berjalan menghampiri sang
pemuda yang mempunyai surai silver.
“Dark matter sudah bisa
memproduksi makhluk hidup… apa dia sekarang sekuat ini?” gerutu pemuda itu.
Beberapa pendamping yang terbuat dari logam mulai ikut bangun dan melayang
bersama dengan pemuda tersebut. Pemuda itu bersiul
Sesuatu keluar dari balik
jubahnya. Sesuatu seperti panah logam berukuran 315mm. Membalas siulan pemilik
dan melayang terbang menuju makhluk buas itu, mengincar jantung dan
menembusnya.
Satu jatuh. Itu yang ia pikirkan.
Serangan tak berhenti disana,
muncul lagi 3-5 makhluk yang sama dengan yang sebelumnya. Mereka meraung dan
berusaha menerkam pemuda tersebut. Tanpa pikir panjang, ia langsung
menghunuskan pedang tipis. Yang dikenal sebagai rapier.
“Sialan!” seru pemuda itu. Ia
menebas udara kosong, membuat udara kosong itu marah dan bergemuruh menghantam
salah satu monster itu.
Monster lain mengambil
kesempatan, menyerang punggung pria itu yang kosong. Ia menyadarinya, menoleh
namun semua sudah terlambat. Membuatuhkan waktu lebih untuk menebas angin lagi.
Tapi, nasibnya tidak berakhir disitu. Pendamping pemuda, logam melayang tadi,
langsung menembakkan gelombang elektromagnetik, melempar monster tersebut untuk
menjauh beberapa meter darinya.
Saat semua dirasa aman, ia
bersiul lagi. Panah logam miliknya merespon, bergerak meliuk-liuk seakan menari
dengan siulan sebagai lagu pengiringnya. Mata anak panah itu menembus jauh kedalam
tubuh monster.
Dua jatuh.
“Hah..hah..” nafasnya
tersenggal-senggal. Bulir-bulir keringat mengaliri pelipis hingga pipinya. Air
keringat itu jatuh ketika usai membasahi pipi dan dagu pemuda tersebut. Ia
kelelahan. Separuh tenaganya sudah ia habiskan untuk melawan mereka, namun
lawannya belum juga habis.
Mereka menyerang lagi. Pria itu,
yang hanya sendirian, berusaha sekuat tenaga untuk melawan mereka. Ia mengeluarkan
kertas jimat dan menaruh dalam genggamannya. Lengan manusianya berubah menjadi
lebih keras, sekeras batu.
Langsung saja wajah jelek monster
yang hendak menggigit dagingnya dihantam. Monster satu terlempar dan mungkin
pingsan.
Tak beberapa lama, situasi mulai
berubah. Orang lain muncul. Menekan atmosfer yang damai tadi. Sesosok putih
pucat mulai dari rambut, pakaian hingga ujung kaki. Matanya berwarna hitam,
menyisakan pupil berwarna ke-oranye-an.
“Kau..”
Sosok itu tersenyum melihat
pemuda tersebut atau bisa dibilang dia sedang menyeringai padanya. Makhluk buas
yang sedari tadi mencoba menyerang pemuda bersurai silver itu terdiam saat
kehadiran sosok tersebut menekan atmosfer. Makhluk itu seakan tunduk padanya.
“Sudah lama ya?” ia mulai
berbicara. Masih tetap mempertahankan seringaian anehnya. “..Hayate.”
“K-kukira kau sudah mati!” seru
pemuda itu. Tak percaya rasanya melihat orang yang berdiri santai di
hadapannya. “Kak Teitoku!”
“Ya memang aku sudah mati. Tapi
kebosananku belum hilang, jadi aku kembali lagi.”
“. . .”
Hening. Seusai pembicaraan itu,
pemuda tidak membalas dan memilih untuk diam. Tidak lama sampai akhirnya ia
bersiul. Siulannya membuat anak panah itu menari lagi dan menghancurkan monster
yang tersisa.
Sosok yang disebut kak Teitoku
tertawa menatapnya.
“Kau sudah besar sekarang ya,
Hayate,” ujar sosok itu. “Dan cukup kuat untuk melawan kakakmu sendiri.”
“Yeah. Aku tergabung dalam satu
organisasi dimana orang-orang aneh berkumpul,” balas pemuda yang dipanggil
Hayate itu. Ia tersenyum.
Kemudian hening.
Benda-benda yang melayang di
belakang Hayate hanya berputar-putar, menunggu perintah dari sang majikan.
Sedetik kemudian, Hayate
bergerak. Berlari hendak menusuk menggunakan pedang tipis bermata dua yang ia pegang
sedari tadi. Berusaha menusuk sosok yang ia panggil sebagai kakak, sosok yang
telah lama mati.
Teitoku hanya menaruh tangannya
di dalam saku celana. Tidak bergerak hingga Hayate tinggal beberapa meter.
“Ini terlalu cepat.”
Boom. Hayate dihempaskan begitu
saja. Di dorong entah oleh siapa. Tak ada angin namun ia bergerak menjauh dari
kakaknya seakan dilemparkan. Menabrak pohon hingga pohon jati yang besar itu
jatuh. Untung saja benda asing yang menjadi pendampingnya sudah bersiap
melindungi punggungnya.
“Ini terlalu cepat untuk
melawanku, Hayate,” ujar pria itu. Ia melangkah maju dengan santai. Menatap
sekitar. “Banyak yang berubah ya?”
“Yeah, terlalu banyak karena kau
sudah mati lama.”
“That is true,” sahut pria putih
pucat.
Hayate berusaha berdiri, dibantu
dengan rapiernya untuk menjaga keseimbangan. Nafasnya terpotong-potong. Lelah.
Itulah yang ia rasakan. Bertarung mati-matian diwaktu matahari belum bangun
sejak ia merasakan kehadiran kakaknya dari kuil pada waktu tengah malam.
“Dark matter bisa sampai
membangkitkanmu begini ya, kak?” dengan segenap tenaga yang ia miliki, ia
berusaha tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai menanggapi kakaknya.
“Bukankah itu alasannya kenapa
aku dipanggil ‘orang yang berhasil menyentuh teritori Tuhan’?”
Hayate bergerak maju dengan
cepat. Pipi kirinya menyala mengeluarkan simbol romawi angka ‘12’ yang selalu
ia sembunyikan sebelumnya.
Berhasil!
Akhirnya rapier itu menembus dada
sang kakak. Saat berhasil, tidak ada senyum kemenangan yang tampak di wajahnya.
Hanya rasa muram yang terlihat.
“Sekarang, sudah waktunya kau
kembali ke surga, kan?” ejek Hayate.
Teitoku berusaha menjaga
keseimbangan. Berpegangan pada pundak Hayate meski dengan pedang yang menembus
dadanya.
“Kau terlalu cepat merasa menang,
Hayate,” lagi-lagi seringaian terukir di wajahnya. Ia mendorong sang adik.
Dengan tenaga yang cukup besar, membuat Hayate mencabut pedangnya dan terhempas
ke tanah.
Ada lubang tepat di dada Teitoku.
Ia tertawa. Tertawa aneh.
“Kalau mengalahkanku sebegitu
mudahnya, aku takkan bisa menjadi bos,” ujar pria itu. Perlahan zat-zat putih
aneh mengisi lubang di tempat jantungnya berada. Menutupi dadanya.
“. . .” Hayate terdiam melihat
kakaknya yang beregerenasi lagi.
Teitoku melesat, meninju wajah
sang adik. Benar-benar kuat hingga sang adik sendiri memuntahkan darah dari
mulutnya. Darah segar yang sampai membasahi pohon.
“Kau takkan bisa mengalahkanku,
dasar bodoh!” serunya. “Kau itu lemah!”
Jauh di dalam pikiran Hayate, ia
merasa berbeda. Aneh rasanya melihat kakak yang ramah di masa lalu kini berubah
menjadi sosok monster.
Hantaman demi hantaman yang
mengenai wajah Hayate membuat gema di sekitar hutan. Burung-burung terbang lari
karena takut. Tidak ada lagi nyanyian bersyukur, yang ada hanyalah kepakan
sayap ketakutan.
Hayate babak belur dihabisi oleh
sang kakak. Ia tergeletak tak berdaya di dekat pohon.
“Saa tte, akan kumulai
penghancuran kedua,” tangannya dilumuri oleh cairan merah. Darah dari adiknya
sendiri. Ia mengambil satu benda yang menempel di jari manis Hayate. Sebuah
cincin dengan simbol templar yang menempel sebagai hiasan.