Jumat, 12 Juni 2015

Short Story [One-Shot]: Dark Matter Rising

Pukul 5.30.
Mungkin itu sedikit awal untuk beberapa orang untuk bangun. Namun, matahari sudah mulai menyingsing. Sinarnya sudah sampai di hutan di sebelah utara, menyinari beberapa pohon serta sebagai alarm untuk membangunkan beberapa hewan yang masih lelap dalam tidurnya.
Burung-burung yang sudah bangun, mulai keluar dari sarangnya. Bernyanyi mensyukuri apa yang sudah diberikan alam kepada mereka untuk pagi yang indah ini. Suara-suara kicauan mereka terdengar diberbagai sisi hutan.
Tapi itu tidak lama. Tidak lama sampai seseorang jatuh dari langit dan menghantam tanah di hutan itu, mengejutkan beberapa hewan dan membuat mereka berlari ketakutan.
“T-tch..” orang itu terbangun dari tanah. Ia berusaha semampunya untuk berdiri dengan tegap. Apalagi karena tadi dilempar jauh dari langit.
Disisi lain, ada makhluk buas yang meraung-raung bak meminta makan. Makhluk itu berjalan menghampiri sang pemuda yang mempunyai surai silver.
“Dark matter sudah bisa memproduksi makhluk hidup… apa dia sekarang sekuat ini?” gerutu pemuda itu. Beberapa pendamping yang terbuat dari logam mulai ikut bangun dan melayang bersama dengan pemuda tersebut. Pemuda itu bersiul
Sesuatu keluar dari balik jubahnya. Sesuatu seperti panah logam berukuran 315mm. Membalas siulan pemilik dan melayang terbang menuju makhluk buas itu, mengincar jantung dan menembusnya.
Satu jatuh. Itu yang ia pikirkan.
Serangan tak berhenti disana, muncul lagi 3-5 makhluk yang sama dengan yang sebelumnya. Mereka meraung dan berusaha menerkam pemuda tersebut. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghunuskan pedang tipis. Yang dikenal sebagai rapier.
“Sialan!” seru pemuda itu. Ia menebas udara kosong, membuat udara kosong itu marah dan bergemuruh menghantam salah satu monster itu.
Monster lain mengambil kesempatan, menyerang punggung pria itu yang kosong. Ia menyadarinya, menoleh namun semua sudah terlambat. Membuatuhkan waktu lebih untuk menebas angin lagi. Tapi, nasibnya tidak berakhir disitu. Pendamping pemuda, logam melayang tadi, langsung menembakkan gelombang elektromagnetik, melempar monster tersebut untuk menjauh beberapa meter darinya.
Saat semua dirasa aman, ia bersiul lagi. Panah logam miliknya merespon, bergerak meliuk-liuk seakan menari dengan siulan sebagai lagu pengiringnya. Mata anak panah itu menembus jauh kedalam tubuh monster.
Dua jatuh.
“Hah..hah..” nafasnya tersenggal-senggal. Bulir-bulir keringat mengaliri pelipis hingga pipinya. Air keringat itu jatuh ketika usai membasahi pipi dan dagu pemuda tersebut. Ia kelelahan. Separuh tenaganya sudah ia habiskan untuk melawan mereka, namun lawannya belum juga habis.
Mereka menyerang lagi. Pria itu, yang hanya sendirian, berusaha sekuat tenaga untuk melawan mereka. Ia mengeluarkan kertas jimat dan menaruh dalam genggamannya. Lengan manusianya berubah menjadi lebih keras, sekeras batu.
Langsung saja wajah jelek monster yang hendak menggigit dagingnya dihantam. Monster satu terlempar dan mungkin pingsan.
Tak beberapa lama, situasi mulai berubah. Orang lain muncul. Menekan atmosfer yang damai tadi. Sesosok putih pucat mulai dari rambut, pakaian hingga ujung kaki. Matanya berwarna hitam, menyisakan pupil berwarna ke-oranye-an.
“Kau..”
Sosok itu tersenyum melihat pemuda tersebut atau bisa dibilang dia sedang menyeringai padanya. Makhluk buas yang sedari tadi mencoba menyerang pemuda bersurai silver itu terdiam saat kehadiran sosok tersebut menekan atmosfer. Makhluk itu seakan tunduk padanya.
“Sudah lama ya?” ia mulai berbicara. Masih tetap mempertahankan seringaian anehnya. “..Hayate.”
“K-kukira kau sudah mati!” seru pemuda itu. Tak percaya rasanya melihat orang yang berdiri santai di hadapannya. “Kak Teitoku!”
“Ya memang aku sudah mati. Tapi kebosananku belum hilang, jadi aku kembali lagi.”
“. . .”
Hening. Seusai pembicaraan itu, pemuda tidak membalas dan memilih untuk diam. Tidak lama sampai akhirnya ia bersiul. Siulannya membuat anak panah itu menari lagi dan menghancurkan monster yang tersisa.
Sosok yang disebut kak Teitoku tertawa menatapnya.
“Kau sudah besar sekarang ya, Hayate,” ujar sosok itu. “Dan cukup kuat untuk melawan kakakmu sendiri.”
“Yeah. Aku tergabung dalam satu organisasi dimana orang-orang aneh berkumpul,” balas pemuda yang dipanggil Hayate itu. Ia tersenyum.
Kemudian hening.
Benda-benda yang melayang di belakang Hayate hanya berputar-putar, menunggu perintah dari sang majikan.
Sedetik kemudian, Hayate bergerak. Berlari hendak menusuk menggunakan pedang tipis bermata dua yang ia pegang sedari tadi. Berusaha menusuk sosok yang ia panggil sebagai kakak, sosok yang telah lama mati.
Teitoku hanya menaruh tangannya di dalam saku celana. Tidak bergerak hingga Hayate tinggal beberapa meter.
“Ini terlalu cepat.”
Boom. Hayate dihempaskan begitu saja. Di dorong entah oleh siapa. Tak ada angin namun ia bergerak menjauh dari kakaknya seakan dilemparkan. Menabrak pohon hingga pohon jati yang besar itu jatuh. Untung saja benda asing yang menjadi pendampingnya sudah bersiap melindungi punggungnya.
“Ini terlalu cepat untuk melawanku, Hayate,” ujar pria itu. Ia melangkah maju dengan santai. Menatap sekitar. “Banyak yang berubah ya?”
“Yeah, terlalu banyak karena kau sudah mati lama.”
“That is true,” sahut pria putih pucat.
Hayate berusaha berdiri, dibantu dengan rapiernya untuk menjaga keseimbangan. Nafasnya terpotong-potong. Lelah. Itulah yang ia rasakan. Bertarung mati-matian diwaktu matahari belum bangun sejak ia merasakan kehadiran kakaknya dari kuil pada waktu tengah malam.
“Dark matter bisa sampai membangkitkanmu begini ya, kak?” dengan segenap tenaga yang ia miliki, ia berusaha tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai menanggapi kakaknya.
“Bukankah itu alasannya kenapa aku dipanggil ‘orang yang berhasil menyentuh teritori Tuhan’?”
Hayate bergerak maju dengan cepat. Pipi kirinya menyala mengeluarkan simbol romawi angka ‘12’ yang selalu ia sembunyikan sebelumnya.
Berhasil!
Akhirnya rapier itu menembus dada sang kakak. Saat berhasil, tidak ada senyum kemenangan yang tampak di wajahnya. Hanya rasa muram yang terlihat.
“Sekarang, sudah waktunya kau kembali ke surga, kan?” ejek Hayate.
Teitoku berusaha menjaga keseimbangan. Berpegangan pada pundak Hayate meski dengan pedang yang menembus dadanya.
“Kau terlalu cepat merasa menang, Hayate,” lagi-lagi seringaian terukir di wajahnya. Ia mendorong sang adik. Dengan tenaga yang cukup besar, membuat Hayate mencabut pedangnya dan terhempas ke tanah.
Ada lubang tepat di dada Teitoku. Ia tertawa. Tertawa aneh.
“Kalau mengalahkanku sebegitu mudahnya, aku takkan bisa menjadi bos,” ujar pria itu. Perlahan zat-zat putih aneh mengisi lubang di tempat jantungnya berada. Menutupi dadanya.
“. . .” Hayate terdiam melihat kakaknya yang beregerenasi lagi.
Teitoku melesat, meninju wajah sang adik. Benar-benar kuat hingga sang adik sendiri memuntahkan darah dari mulutnya. Darah segar yang sampai membasahi pohon.
“Kau takkan bisa mengalahkanku, dasar bodoh!” serunya. “Kau itu lemah!”
Jauh di dalam pikiran Hayate, ia merasa berbeda. Aneh rasanya melihat kakak yang ramah di masa lalu kini berubah menjadi sosok monster.
Hantaman demi hantaman yang mengenai wajah Hayate membuat gema di sekitar hutan. Burung-burung terbang lari karena takut. Tidak ada lagi nyanyian bersyukur, yang ada hanyalah kepakan sayap ketakutan.
Hayate babak belur dihabisi oleh sang kakak. Ia tergeletak tak berdaya di dekat pohon.

“Saa tte, akan kumulai penghancuran kedua,” tangannya dilumuri oleh cairan merah. Darah dari adiknya sendiri. Ia mengambil satu benda yang menempel di jari manis Hayate. Sebuah cincin dengan simbol templar yang menempel sebagai hiasan.