Selasa, 02 Desember 2014

[Light Novel] Syndrom Diary Chapter 1

“Hoi kau yang disana!” Seru seseorang. Suara itu membuyarkan lamunanku dalam tidur yang nyenyak di padang rumput milik sekolah. Dan saat aku membuka mata, tiba-tiba saja sebuah bola kasti terlempar ke arahku ya lebih tepatnya mendarat tepat di wajah tampanku.
Ah tunggu-tunggu, bukan prolog seperti ini yang kuinginkan, tapi apa boleh buat, semuanya sudah terlambat..

“Ugh.. Dimana ini?” Saat aku membuka mata, aku melihat tempat yang berbeda dari sebelumnya, ya yang kuingat sebelumnya aku sedang tertidur di padang rumput yang nyaman, dan sekarang kutemukan diriku berada di atas kasur empuk. Kurasa ini milik sekolah.

“Ah sudah sadar rupanya,” saat aku menoleh ke asal suara, aku melihat seorang wanita dewasa dengan pakaian seperti seorang pegawai UKS. Ah ya aku lupa, ternyata dia memang suster yang berada di dalam UKS.

“Jadi bagaimana perasaanmu? Sudah baikkan?” Tanyanya. Perlahan-lahan aku berusaha mengingat. Ah ya tentu saja, aku pingsan karena terkena bola kasti tadi, dasar pemain kasti bodoh!

“Kau tertidur cukup lama sekali,” lanjut suster itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. “Bola kasti tadi pasti benar-benar menyakitkan ya?”
Aku tidak menjawab, malahan aku hanya diam dan berusaha mengingat kembali tentang khayalanku yang tadi. Ah rasanya otakku benar-benar berhenti bekerja.

Kepalaku benar-benar sakit, saat aku berusaha menyentuh dahiku, aku merasakan sebuah perban yang diikatkan di kepalaku. Untung saja tidak sampai benjol.
“Ini benar-benar sakit, sus,” kataku sambil memegangi kepala yang diperban ini. Aku berusaha untuk turun dari kasur itu. Ya kurasa keseimbangan tubuhku sudah mulai membaik. Saat itu aku berjalan menuju arah cermin dan.. tunggu, sepertinya terlihat keren dengan perban ini, ya seakan aku baru saja melakukan sebuah pertarungan dan terkena cidera yang berat pada kepala sampai menyebabkan lupa ingatan.

“Fufu, aku adalah peraturan!” Teriakku dalam hati sambil bergaya di depan cermin. Siluet bayangan yang tampak jahat itu berada di belakangku, aku baru menyadarinya saat aku melihat kembali kearah cermin. Agh aku lupa itu adalah suster!

“Hei hei, kau seharusnya kembali ke kelasmu kan?” Nadanya terdengar jahat dan yang paling parah, dia melihatku saat aku melakukan pose sok keren tadi!

“Agh apa yang harus kulakukan?!” Batinku, bingung mencari jalan keluar. Ah itu dia! Jalan keluar! Akupun segera melangkah keluar dari tempat ini. Dengan membungkuk sebagai hormatku dan salam terakhirku, aku langsung berlari kearah pintu dengan keadaan canggung.

Fiuh, untunglah ada yang namanya pintu keluar. Ya sekarang nafasku kembali teratur dan daripada berlari, lebih baik jalan saja bukan?
Sambil menyusuri koridor, aku menemukan sebuah tangga menuju atas. Jangan mengira tangga ini menuju ke surga. Tangga ini tentu saja menuju ke lantai atas di dalam bangunan ini, tapi mungkin akan lebih baik jika tangga ini mengarah ke surga langsung.

Dengan langkah tanpa suara, aku berjalan menyusuri tangga itu dan menemukkan diriku sudah di lantai dua, ah ya sekarang waktunya berjalan ke kelasku. Peristiwa memalukkan seperti tadi itu memang harus dilupakan dan menuju pada awal yang baru. Terdengar keren bukan? Sesampainya di depan pintu kelas milikku, aku melihat dari balik jendela, kelasku ternyata tampak ribut juga ya, kegaduhan dimana-mana. Untung saja gurunya sedang tidak ada—atau mungkin belum datang—ya dengan kerennya aku membuka pintu dan melangkah masuk.

Haha, mereka sepertinya terlalu fokus terhadap perban yang melilit kepalaku ini, aku tau ini pasti keren!
“Woh, kau sudah kembali? Pingsanmu itu lama juga ya,” kata salah satu dari mereka. Eh tunggu, pingsanku lama? Memangnya aku sudah melewatkan berapa mata pelajaran?

“Ya itu benar, dia bahkan terlalu beruntung karena melewati guru killer itu. Dan sekarang malah akan segera pulang. Benar-benar beruntung,” Sahut orang di sebelahnya dengan anggukkan setuju dibarengi keluh kesah. Ya sepertinya aku memang beruntung kali ini, pingsan ini membuatku lolos dari hari penghakiman. Tapi tunggu, aku bahkan tidak ingat pelajaran apa hari ini.

Saat aku berjalan dan duduk di bangku ku, aku merasa seperti ada seseorang yang menyentuhku dengan benda yang keras dari belakang. Mungkin sebuah pulpen, aku juga mendengar suara bisikkan.

“Psst!” Dan lagi, pulpen itu menyentuh punggungku dibarengi suara itu. Aku terpaksa menoleh kearah belakang, ya disitu adalah teman kelasku atau lebih tepatnya sahabat karibku sejak SD.

“Ha?” Ucapku. Dia kemudian tersenyum lalu menunjukkan beberapa kartu remi, kalian tau kan kartu remi? Yang biasanya dibuat bermain poker atau permainan kartu lainnya.
“Aku sudah mempelajari teknik itu,” Katanya dengan bangga. Ah sebelumnya aku ingin memberi tau, sebenarnya aku ini seorang magician tingkat pemula dan masih belajar bersama dengan tema—sahabatku ini.

“Benarkah?” Tanyaku dengan tampang tidak percaya. Yah, karena aku yang pertama kali menguasainya dan dia kedua, hanya saja dia lebih jago daripada aku.

“Tentu saja!” Serunya dengan pelan, dia kemudian menunjukkan beberapa triknya. Trik yang mudah tentunya.
“Psst!” Lagi-lagi ada yang mencoba memanggilku, itu adalah seseorang di bangku sebelah sahabatku ini. Dia adalah orang yang tampak seperti seorang nerd tapi dengan pikiran yang luar biasa dan juga mesum.

Aku dan sahabatku ini langsung menoleh kearahnya.

“Jadi bagaimana rasanya terkena bola kasti yang keras itu?” Tanya orang itu dengan senyuman yang terkesan meledek, menempel di wajahnya. Rasanya benar-benar ingin kutonjok lalu kubakar.

Aku hanya tersenyum dan membalas, “mantap bro, lain kali kau harus mencobanya,” canda ku. Ya di jam kosong ini memang kelasku selalu gaduh terutama sekitar bangku milikku. Bangku-bangku itu terisi dengan orang-orang bajingan yang selalu bercanda di pelajaran apapun, aku selalu menikmatinya bersama mereka.

Sesaat setelah aku berbicara dengan kedua orang tadi, aku fokus kembali menghadap depan dan melihat kearah jendela yang terdapat tepat di samping kiriku itu. Jendela yang mengarah kearah luar, yang disebut sebagai jendela kebebasan. Terkadang aku berpikir seperti itu karena aku terlalu malas untuk pergi ke sekolah, terutama saat jam kosong. Padahal menurutku lebih baik kita tidur saja di rumah, lebih terasa nyaman apalagi saat musim dingin.

“Psst! Daripada bengong, bagaimana jika bermain kartu remi?” Ajakan dari pria tadi yang sebelumnya menanyaiku tentang rasanya terkena bola kasti itu muncul. Menurutku sih bukan ide yang buruk, karena ini mulai terasa membosankan. Ajakkan tadi sebenarnya adalah bom pemicu, karena saat pria tadi mengajak untuk melakukan sesuatu, maka orang-orang disekitarku pasti akan menggila dan ikut bermain—termasuk aku tentunya.

Pertama orang di depanku, dia menoleh ke belakang atau lebih tepatnya melihat pria di meja belakang dan mengangguk, kemudian disusul oleh bangku sebelah, dia juga ingin ikut lalu depannya juga, begitu juga dengan sahabatku. Jadi jika dihitung, orang-orang yang termasuk bajingan sejati dan provokator utama di kelas ada… empat orang—maksudku lima ditambah aku.

Kami bermain sebuah permainan kartu yang dinamakan polisi dan maling. Dengan kartu berjumlah lima yang diantaranya terdapat sang ratu, raja, angka biasa dan kartu as. Biar kujelaskan terlebih dahulu, kartu ratu atau raja mempunyai peran sebagai polisi. Sedangkan as mempunyai peran sebagai malingnya. Sedangkan angka biasa merupakan warga biasa. Dan cara bermainnya termasuk mudah, karena yang mempunyai peran sebagai polisi harus peka terhadap lingkungannya. Kenapa? Karena seorang maling memberikan kode kepada warga biasa yang artinya warga itu harus membuka kartunya.
Dan seorang polisi tidak boleh sampai salah menuduh atau dia kalah dan keluar dari permainan.

“Baiklah, bagaimana jika ditambahi hukuman?” Imbuhnya dengan tatapan menantang. Biasanya kami tidak melakukan ini, namun berhubung sedang jam kosong, mungkin akan terlihat lebih menantang dan lebih seru jika menambahkan hukuman.

“Yang kalah harus melakukan tarian pole dance di situ!” Dia menunjuk kearah tiang bendera yang tidak terlalu tinggi itu. Jika terlalu tinggi, tentu saja akan menabrak langit-langit kelasku.

“Bagaimana? Matthew, Jossy, Frank dan kau? Apa kalian berani?” Tantangnya.

Ah ya aku lupa memperkenalkan teman-temanku, Frank adalah orang yang duduk disebelahku, dia merupakan orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya, dia memiliki aura mesum dan tingkat kebajingan yang luar biasa.
Kemudian Jossy, dia duduk tepat di depan Frank. Menurut kabar yang aku dengar dari kelasku, dia adalah anak dari seorang guru yang ada di sekolah ini. Ya meskipun dia tidak pernah menceritakan lebih detailnya. Dia juga termasuk kawanku sejak SD, hanya saja kami tidak begitu dekat. Dan yang terakhir adalah Matthew, sahabatku semenjak kelas 5 SD, ya kami bersahabat begitu lama sampai sekarang. Otaknya benar-benar cerdas dan terkadang dia selalu berpura-pura seperti orang bodoh untuk merahasiakannya. Di kelas, dia dijuluki sebagai orang yang pintar membuat lelucon.

Lalu provokator utamanya adalah temanku bernama Vincent. Tidak banyak yang ku ketahui tentangnya, karena dia adalah murid pindahan. Namun semenjak pertengahan semester ini, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Tentu saja sebagai bajingan nomer satu di kelas.

Kami pun melanjutkan permainan, teman-temanku tampak benar-benar baik soal memasang pokerface nya. Sampai akhirnya seseorang menyikutku dengan siku nya. Benar-benar bodoh, dia memberikan sinyal kepada seorang polisi. Pfft, ah ini hampir membuatku tertawa.
Aku membayangkan bahwa orang itu sudah berada dalam genggamanku. Dan seketika itu aku langsung membuka kartuku, lalu menunjuknya sebagai seorang maling.

“Kau memberikan sinyal yang salah, huahaha. Seorang pahlawan tidak akan bisa dikalahkan!” Seruku penuh dengan semangat. Yang memberikan sinyal yang salah itu adalah Vincent. Wajahnya sekilas menggambarkan seorang yang menyesal karena memberi sinyal yang salah, tapi setelah itu berubah dengan cepat.

“Tak masalah, aku akan melakukannya!” Serunya layaknya seseorang yang mengalah. Astaga, padahal dia ini kalah tapi malah membuat seakan dia ini pahlawan yang sengaja mengalah demi kebaikan bersama.
Dia melangkahkan kakinya menuju ke depan, lalu dia menuju kearah tiang bendera yang letaknya tepat berada di sebelah papan tulis.

Ah aku dan teman-temanku ini tidak bisa menahan tawa. Terutama saat dia mulai menggoyangkan pinggulnya.
Matthew pun berteriak, “Hoi! Lihat di depan, ada seseorang yang sedang menarikan sesuatu!” Teriakkan yang menimbulkan seluruh kelas berhenti melakukan aktivitas mereka lalu langsung melihat ke depan. Ya untungnya laki-laki nerd itu membelakangi mereka sehingga dia tidak sadar—atau mungkin masa bodoh—dia masih terlihat melakukan tarian itu, malah seperti menikmatinya. Ah entahlah, seorang bajingan seperti dia mungkin sengaja memancing lelucon di kelas.

Beberapa diantara anak-anak di kelas tertawa, terutama laki-laki, yang perempuan tampak bingung akan apa yang dilakukan oleh nerd itu. Ya setelah itu dia berhenti lalu kembali ke bangku nya. Seluruh mata sedang memperhatikkannya tapi dia tampak tidak peduli.

“Baiklah ayo kita lanjutkan lagi,” ujarnya seraya duduk di kursi miliknya. Sang Bandarpun membagikan kartunya. Murid-murid yang tadi menghentikan aktivitasnya kini tampak kembali melanjutkan.

Aku sedikit tersenyum karena tadi, ah betapa bodohnya tingkah orang-orang ini. Lalu saat aku mengambil kartu itu.. Ah ternyata Queen! Pergantian peran ya?
Mataku mulai bergerak untuk memperhatikkan suasana yang hening diantara kami berlima.
Aku yakin Jossy bukanlah seorang polisi, aku mengedipkan mataku layaknya seorang wanita dan dia membalas dengan senyuman seperti menahan tawa lalu membuka kartunya.
“Buahaha!” Tawanya meledak saat membuka kartu, hmm mungkin dia melihat aku ini konyol karena kedipan mata genit tadi, ah sudahlah siapa yang peduli dengan itu?


Saat aku kembali meninjau keadaan, aku mendengar suara langkah kaki mengarah kearah bangku kami, dan ternyata benar, dia menepuk bahuku dan bahu milik Vincent kemudian berseru, “Hoi! Ikutan dong.” Suara yang lembut yang dimilikinya layaknya seorang gadis, ah tunggu dia memang seorang gadis. Karena sedikit terkejut, kami menatapnya. Kemudian tatapan  itu berubah menjadi senyuman konyol dan mungkin terlihat seperti senyuman mesum. Kami melihat ke satu sama lain, mungkin saja memiliki ide yang sama.

Kamis, 27 November 2014

The Story Chapter 7

THE STORY CHAPTER 7 : Lost And Found (Bagian 1)
Di suatu tempat antah berantah, ledakan terjadi dari dalam sebuah goa. Asap yang mengepul-ngepul, menutupi terangnya cahaya bulan.
"Pak, kami menemukan sesuatu!" Teriak seseorang dengan tegasnya. Diikuti dengan sebuah kilauan emas yang menyala dari dalam goa. Prajurit yang lain tiba-tiba menghampiri sumber cahaya itu.
"Kerja bagus kapten. Dengan cepat kau menemukannya ya," puji seseorang yang terlihat sedang mengawasi prajurit-prajurit yang sedang bekerja, mencari sesuatu.
"Haha, dengan bantuan teknologi dan pendanaan darimu. Tentu saja ini bekerja dengan cepat," balasnya. Mereka berdua pun berjalan memasuki goa yang bersinar itu. Dan saat di dalam, mereka mendapati sebuah artefak keemasan berbentuk seperti lingkaran dengan simbol-simbol yang tidak mereka mengerti. "Jadi.. inikah artefak yang menyelamatkan pulau ini dari kehancuran?" Pria itu mengambil benda tersebut dan mengangkatnya setinggi kepalanya. Memandanginya dengan rasa bangga.
"Kita memang menemukannya, tapi masih ada empat lagi yang harus ditemukan," kata pria paruh baya itu.
"Kau benar kapten. Kalau begitu, orang itu pasti akan memberitahu kita," balasnya. "Lalu, kita bisa menggunakannya untuk menguasai pulau ini beserta teknologinya," lanjutnya dengan gumaman. Pandangannya sedikit berubah saat itu, terlihat seperti orang yang sangat ambisius.

Di tempat lain, Nathaniel dan Dino beserta Lind sedang menuju ke suatu tempat, melewati keramaian kota. "Tunggu, kita mau kemana?" Tanya Nathaniel seraya memandangi kota lewat jendela mobil.
Dino pun membalas dengan santai sambil menyetir. "Markas kita, tapi pertama kita pergi ke tempat Lind dan aku tinggal."
"Dengan kata lain, rumahku," Sahut Lind dengan malas. Perjalanannya kira-kira memakan waktu selama setengah jam.
Sesampainya mereka disana, Nathaniel tampak terkejut dengan rumah yang sangat-sangat megah berada tepat di depannya. Antara percaya tidak percaya, tapi inilah rumah dari salah satu keluarga penguasa pulau ini.
"J-jadi.. ini rumah kalian?!" Tanya Nathaniel.
"Tentu saja ini rumahku," sahut Lind dengan santainya. "Kau pikir kami akan tinggal dimana? Bawah jembatan?"
"Haha, memang sedikit mengejutkan ya? Tapi ini merupakan peninggalan," ujar Dino.
Tepat di dekat pintu masuk, ada seseorang yang tampak seperti menunggu disitu. Menatapi mereka dengan tatapan tenang.
"Ayo masuk," ajak pemuda berambut pirang itu.
"Selamat datang tuan Lind dan tuan Dino," sapa wanita yang menunggu itu.
Aku merasa seperti sedang menonton anime saja... Maid? Yang benar saja?! pikir Nathaniel. Ya bisa dibilang Nathaniel ini seseorang yang terlalu sering menghabiskan waktunya untuk menonton anime. Tentu saja sebelum dia menjadi seorang vigilante. 
"Ah ya, terima kasih," balas Lind, acuh tak acuh seperti biasa. Namun wanita itu hanya membalas dengan senyuman biasa. Mempersilahkan ketiga orang itu masuk ke dalam rumah yang megah itu.
"Selamat datang, di rumahku," Kata Dino menyambut. 
Dilanjutkan oleh Lind. "Dan anggap saja rumah ini, rumahku. Jangan anggap ini rumahmu, terlalu mewah untukmu," ujarnya dengan nada menyindir.
"A-ah.. Oke," Tak ada yang bisa Nathaniel lakukan selain bingung harus berkata apa. Senyuman canggung menghiasi wajahnya saat Lind berkata demikian.
Sesaat setelah mereka berada di dalam. Seorang bocah dengan rambut berwarna merah kecoklatan yang acak-acakan yang menutupi matanya itu turun dari tangga. Sedikit antusias saat melihat kakak-kakaknya pulang. Umurnya kira-kira masih 13-14 tahun. Entahlah, yang jelas dia masih muda bagiku. "Lind, Dino!" Serunya, dia membawa sebuah mainan--gunpla-- dan menunjukkannya kepada kedua kakaknya. "Model gunpla yang kemarin sudah kurakit dengan baik, lihat?" Lanjutnya, sedikit bangga.
Namun rasa bangga itu menghilang, tak lama setelah dia melihat seorang tamu dengan jubah hitam di belakang. "Itu.. siapa?" Tanyanya, antara gugup dan takut.
"Hanya teman," balas Dino, memberikan senyum simpul. Nathaniel hanya tersenyum hangat saat bocah itu melihatnya. Dia tidak berkata apa-apa, malah bersembunyi di balik Dino.
"Jadi, dia adalah Sho. Salah seorang Kazuki juga," ujar Dino. "Kurasa kita takkan berlama-lama disini." Dino kembali menghadap adiknya itu, menyuruhnya untuk tidur. Sang maid yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka langsung berjalan ke arah bocah bernama Sho lalu mengajaknya untuk tidur. Sedangkan Dino dan Lind menyelesaikan urusan mereka.
"Tunggu disini, oke?" Kata Dino kepada Nathaniel. Nathaniel hanya memberi anggukkan singkat. Setelahnya, Dino dan Lind berjalan ke atas. Tepatnya ke kamar mereka.

Lima belas menit lamanya setelah kejadian itu berlangsung. Membuat bosan.
"Baiklah, maaf membuat menunggu. Aku mencari ini," Dino menunjukan sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan suatu simbol terukir disana. "Tanpa ini, kita takkan bisa masuk ke dalam markas kita," lanjutnya.
Setelah itu, petualangan pun berlanjut. Mereka bertiga berangkat ke suatu tempat, tepatnya di sebuah pulau kecil yang terdapat di kota itu. Untuk kesana, kau perlu menyeberangi jembatan yang dibuat khusus untuk kereta api. Hanya saja sedikit sulit. Dikarenakan jembatan itu hanya menghubungkan kedua pulau saat ada kereta api yang mendekat.
"Kita takkan bisa menyeberanginya kan?" Nathaniel sedikit bingung. Mustahil dapat menyeberang selama kereta api tidak ada.
Lind menoleh ke belakang dan berkata. "Kau bodoh, kita tentu saja gunakan ini," dia menunjukkan ponselnya. Smartphone yang mempunyai suatu option khusus yang tidak terdapat pada smartphone lain. Dia menekan option itu dan muncul pilihan lain dengan simbol yang berbeda-beda. Ada empat simbol yang berarti empat pilihan. Simbol pertama adalah simbol petir, gunanya kurasa untuk mematikan daya listrik di sekitar distrik itu. Kedua adalah lampu lalu lintas. Dilihat dari simbolnya, kurasa sudah jelas fungsinya. Lalu ketiga adalah sebuah panah atas. Meskipun aku yang bercerita, tapi aku kurang tahu apa guna simbol ini. Jadi aku tak bisa menjelaskannya. Dan yang terakhir adalah simbol sebuah menara sinyal kurasa. Seperti jammer, pengacau gelombang sinyal. Apapun jenis gelombangnya.
"Lihat dan pelajari," Lind tampak sombong terutama dengan senyuman sombong itu. Dia menekan simbol panah yang menunjuk keatas itu. *grek* Jembatan yang berada di depan mereka, yang tadinya mengarah ke kiri dan kanan, tiba-tiba saja bergerak dan mengubah arahnya. Menghubungkan pulau satu dan pulau kecil itu.
"Yang kau lakukan hanya membajak servernya lalu memberikan perintah untuk mengubah arahnya," Nathaniel tampak datar saat menebak apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Ya kau benar, tapi keajaiban tetap saja keajaiban."

Mobil yang mereka kendarai pun berjalan maju, menyeberangi jembatan itu untuk sampai ke pulau kecil tersebut. Disitu, terdapat beberapa kargo yang tampak ditinggalkan begitu saja. Hanya saja, terdapat pengecualian.
Mobil itu berhenti tepat di depan kargo dan sebuah gedung. "Baiklah, kita sampai," ujar Dino saat turun dari mobil.
Lind tampak berjalan duluan, diikuti Nathaniel dan Dino. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya lagi lalu melakukan sesuatu pada ponselnya. Terdengar bunyi "klik" sesaat setelah Lind menekan sesuatu pada ponsel layar sentuhnya itu. Pintu kargo itu bergerak kearah kiri.
Umumnya, kalian akan mengira pintu kargo yang kumaksud adalah pintunya, tapi yang kumaksud disini adalah badan dari kargo itu sendiri. Mereka berada di samping kiri kargo itu. Jadi secara teknis, pintu kargo yang berada di sisi dekat tempat mereka berpijak itupun terbuka dengan cara geser. Baiklah kembali ke cerita. Setelah terbuka, mereka bertiga masuk dan secara otomatis pintu itu menggeser lagi untuk menutup.
"Jadi... ini?" Tanya pria dengan jubah hitam itu.
"Tentu saja bukan, bodoh," ledek Lind.
Saat pembicaraan berlangsung, tiba-tiba saja kargo itu bergerak. Tepatnya keatas lalu ke kiri. Masuk ke dalam gedung itu. Karena gedung itu sendiri memiliki bagian yang hancur yang muat jika dimasuki oleh kargo.
Setelah itu, merekapun keluar dari kargo tersebut dan berjalan menyusuri bangunan kosong itu. Jika dilihat secara posisi, Lind dan Dino berada di depan, sedangkan Nathaniel? Dia berada di belakang. Tentu saja untuk orang yang belum pernah ke tempat itu akan selalu ada di belakang untuk dipandu menyusuri tempat itu.
Mereka tiba di depan sebuah pintu. Dino membukanya dan mereka bertiga pun masuk. Disana terdapat layar-layar yang terpisahkan namun masih satu sistem. Bisa dibilang seperti monitor yang banyak tapi semuanya tertancap pada satu CPU saja.
"Dengan ini, kita bisa mencari sesuatu dengan mudah," Ujar Dino. Nathaniel terpukau saat melihat betapa canggihnya tempat ini meskipun ada di bangunan yang hancur.
Setiap layar menampilkan gambar-gambar yang berbeda. Lebih tepatnya rekaman CCTV secara langsung. Jadi bisa dibilang, mereka selalu mengawasi dari sini. Semuanya.
Tak ada yang tersembunyi bagi mereka. "Tak ada yang bisa mereka sembunyikan dari kami, kami tau segalanya," ujar Lind.
"Jika begitu, kalian bisa mencari seseorang bernama Jordi kan?" Nathaniel tampak sedikit antusias tapi tetap berusaha menjaga ketenangannya.
"Jordi?"
"Dia adalah orang yang perlu kita cari. Delsin memberitahuku tentangnya. Dia bilang, mungkin kita bisa menemukan sesuatu darinya," ujar pria muda itu.
Dino sedikit tersenyum mendengarkan itu, diapun duduk lalu mengerjakan sesuatu dengan keyboard komputer itu. "Baiklah, Jordi ya? Kita tinggal cari saja disini."
Pencarian mereka berlangsung sedikit lama, dikarenakan tidak bisa menemukan ciri lain. Bisa dibilang, tidak hanya satu orang saja yang memiliki nama Jordi di kota ini.

Beberapa layar menunjukkan beberapa orang dengan nama Jordi tadi. Dari berbagai latar belakang dan dari berbagai aktivitas yang sedang mereka lakukan. Tidak ada yang benar-benar tersembunyi dari mereka. Kecuali satu orang. Dia adalah seorang pria dengan umur sekitar 40-45 tahun dengan beberapa orang mengikutinya. Berbadan besar dan tampak garang.
"Yang satu ini membuatku penasaran. Mau mencoba memata-matainya?" Lind sedikit menyipitkan matanya saat melihat orang itu. Sesaat setelah itu, muncul lagi seseorang dengan mantel berwarna putih dan seorang pria paruh baya dengan badan tegap mendampinginya. Mereka berdua terlihat seperti negoisasi.
"Kurasa itu dia," ujar Nathaniel. Antara yakin dan tidak yakin.
"Kau serius? Jika salah, maka bisa fatal."
"Ya, kurasa itu dia!" Nathaniel mulai tidak ragu lagi saat melihatnya dari dekat.
"Baiklah, lokasinya tidak jauh dari sini. Palm street itu dekat, lebih baik--" Belum selesai Dino menyelesaikan perkataannya, Nathaniel sudah langsung memotong. "Aku akan berangkat!" Kemudian diapun berjalan keluar. Namun sebelum dia berhasil menggapai daun pintu, Lind memberikan sebuah ponsel. "Lebih baik kau bawa ini, ini lebih hebat dari ponsel milikmu yang sekarang."
Nathaniel membalas dengan anggukan lalu pergi begitu saja.

Ditengah perjalanan, ponsel pria itu berdering. Sebuah telepon masuk. Saat ia mengangkatnya, suara seorang gadis terdengar, ya lebih tepatnya teriakan. "Nathan!" teriakannya cukup membuat telingamu pekak. "Dimana kau sekarang?! Kau tidak mengirimiku pesan dan kau pergi begitu saja, kau pikir bagaimana aku sekarang??!" Dia masih berteriak. Nathan sedikit menjauhkan telinganya. Dia juga cukup kesakitan dengan teriakan gadis itu. Siapa yang tidak kesakitan saat tiba-tiba diteriaki orang?
"Aku sedang kerja, kau ini selalu membuatku kerepotan. Sudahlah, kau kan sudah cukup dewasa sekarang. Kau bisa mengurus dirimu sendiri!" Balasnya dengan teriakkan. Dia tidak tau, teriakkan itu bisa menyulut sebuah perang yang cukup memekakkan telinga. Terutama saat sedang di jalan dan sedang mengendarai motor.
"Aku ini menghawatirkanmu, bodoh! Ini sudah malam dan kau belum pulang!" balas seseorang yang menelponnya itu. Kita semua tau siapa orang yang berteriak dipercakapan ini. Ya, dia adalah Anna, sang adik.
"Cerewet!" Tombol untuk mengakhiri percakapan itu ia tekan dengan sedikit geram lalu berkonsentrasi untuk mengendarai motornya.

Dia sudah sampai di tempat yang gelap itu. Hanya saja sedikit terlambat, negoisasi itu sudah berakhir.
Dengan perlahan dia berjalan ke balik tembok. Langkah kakinya yang tidak terdengar sama sekali membuatnya tampak seperti seorang pembunuh yang sudah melalui bertahun-tahun latihan. Saat sudah berada di balik tembok, dia meninjau keadaannya dan mengambil senjata andalannya, yaitu baton stick. Musuh yang ia lihat tampak seperti musuh lemah yang mudah lengah. Dengan mengetahui itu dia pun mengambil sebuah koin lalu menggelindingkannya tepat ke arah seorang bodyguard dan walla, perhatian pria besar itu langsung teralihkan. Saat seperti itu dia langsung memukulnya dari belakang menggunakan baton stick tepat di kepala. Membuatnya langsung jatuh karena pingsan.
Satu musuh telah jatuh, 5 lagi. Pikirnya.
Tanpa harus berpikir lagi, dia langsung melakukan tindakan pengamanan yaitu menyembunyikan tubuh pria besar tadi di balik kegelapan. Kemudian dia meninjau keadaan untuk sekali lagi.
Saat dia melihat sekitar, dia menemukkan beberapa kamera dengan arah yang pas sekali untuk mengetahui posisi lawan, dia teringat dengan ponsel yang diberikan kepadanya tadi saat berada di markas.
Dia mengutak-atik ponselnya, mencoba teknik hacking untuk melihat apa yang dilihat oleh kamera itu. Tak sampai 1 menit aksinya sudah berhasil. Sekarang apapun yang dilihat oleh kamera itu juga dilihat olehnya. Sebagai informasi saja, seluruh kamera di kota Verdamia sudah dilengkapi dengan thermal vision, jadi bisa dibilang seluruh kamera di kota ini bisa melihat suhu manusia dan menembus penghalang seperti tembok biasa.

Dua orang kali ini sudah bersiap. Nathan berjalan pelan menghampiri mereka, dengan keadaan siaga dia memukul kepala salah seorang dari mereka, lalu memukul kaki orang satunya dan membanting mereka kedua agar terjatuh. Lalu saat terjatuh, dia menghantamkan tongkat besi itu ke kepala musuhnya, membuat mereka pingsan dan mungkin membuat mereka sedikit lupa.
Dia kembali meninjau keadaan sekitar, memang musuhnya kini sudah menjadi tiga orang, namun sebelum dia selesai mengatur strategi, sinar terang menghampirinya dengan kecepatan penuh. Untung saja meleset, tapi sinar itu tampak dapat melelehkan besi disebelah Nathaniel.
"Lihat apa yang kita temukan disini, seekor tikus," dengan tangan dikepalkan, seorang pria berbadan besar itu melihat dengan senyuman jahat nan licik.
Pria yang terlihat tangguh tadi mengeluarkan sinar beam miliknya untuk sekali lagi dan dengan cepat, Nathan mengangkat tangan kanannya--tangan dengan tanda seorang raja--lalu menyentuh beam tadi. Beam yang seharusnya benar-benar panas itu malah terlihat seperti semprotan air biasa ditangannya.

Rasa geram terisi penuh di dalam hati musuhnya. Dia berpikir, bagaimana mungkin beam panas itu tidak berpengaruh apa-apa terhadapnya? Pertarungan ini tidak terlalu berat menurut Nathan, karena kekuatan beam seperti itu hanyalah batu kecil biasa dihadapannya.
"Kau mungkin berpikir aku ini lemah, tapi kau itu hanya seperti batu kecil saja," ledeknya. Dalam benaknya, itu adalah strategi untuk mengalahkan musuhnya. Bisa dibilang dia hanya menggunakan pancingan emosi.
Makin geram dan makin panas akan amarah, pria besar itu langsung berlari dan mencoba untuk menghantamnya. Pria ini memang terlihat tangguh, tapi apa cukup tangguh? Nathaniel menghindari serangannya dan menendang kakinya langsung untuk melumpuhkan pria kekar itu. Dan saat dia terjatuh, baton stick pun ditodongkan padanya sebagai tanda untuk diam ditempat dan tidak mencoba melakukan hal yang bodoh.
"Jadi dimana Jordi?" Tanyanya dengan tegas.
"Dia ada di rumah ibumu," balas pria itu. Kemudian Nathan langsung menghantamkan baton sticknya lalu bertanya sekali lagi dengan tegas. Tapi pukulannya itu terlalu keras hingga menyebabkan pria itu pingsan seketika. Konyol bukan?

Bayangan yang tidak begitu tinggi itu terlintas, bayangan itu adalah bayangan milik pria paruh baya yang diincar oleh Nathan. Bayangan itu tampak disertai dengan bayangan besar yang lebih tinggi darinya, seperti bodyguard lain. Nathan berlari ke arah gang yang lebih gelap, dia berusaha untuk tidak membuat suara sama sekali lalu dia bersembunyi dan menunggu saat yang tepat. Mentalnya mungkin terlihat seperti tidak bisa dijatuhkan lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang kuat yang berasal dari bodyguard Jordi yang tersisa ini. Dalam benaknya dia merasa ragu untuk menyerangnya. Mungkin bukan keputusan yang bagus untuk beraksi.
Sejenak suara langkah kaki itu menghilang, suasana menjadi hening. Nathan mencoba mencari tau melalui kamera-kamera yang terpasang di sudut-sudut strategis di tembok sekitar. Namun tak ada jejak lain.

Dan beberapa saat kemudian, dia melihat sebuah cairan kental berwarna merah menggenangi tanah yang tercampur dengan air itu dan disampingnya terdapat dua orang tadi. Sepertinya orang yang dibanjiri darah itu adalah musuh dari Jordi, pesaing bisnisnya mungkin?
Nathaniel pun keluar dan langsung berlari ke arah mereka berdua. Namun gerakannya terdengar oleh pria bertubuh kekar dan dengan cepat, pria itu melemparnya tanpa menyentuhnya sama sekali. Nathaniel terjatuh dan untuk sementara dia bingung akan langkah selanjutnya. Apa mungkin dia bisa menang? Apa kekuatan musuhnya ini merupakan telekinesis juga?

The Story Chapter 6 (Part 2)

The Story Chapter 6 : The Shark (Bagian kedua)

Tampak dari atas atap, seseorang yang mengenakan jubah hitam yang diterpa oleh angin, menatap pertarungan sengit itu. Terutama apa yang dilakukan bocah berambut biru. Dia sudah tahu dan siap akan terjadinya sebuah pertarungan. Apalagi saat bocah itu menatapnya dengan seringaian. Dia melompat dari situ lalu melakukan sebuah serangan awal. Tangan yang dipenuhi dengan asap panas pun meledak saat tangan pria itu menyentuh tangan, menyebabkan semuanya terlempar. Kecuali bocah itu, dia mencoba melindungi wajahnya dengan tangan dan menatap pria itu lagi.
"Jadi kau vigilante itu ya? Kau terlambat, bodoh," ejeknya. Pria itu diam saja, tidak menghiraukannya. "Astaga, mencoba memprovokasiku dengan cara diam ya? Ya sudahlah," ujarnya santai. "Aku akan menyerangmu, aku tidak ingin kau berkata tidak siap karena aku tidak bilang." Lanjutnya lagi.
Kemudian bocah ini langsung melaju dengan kecepatan penuh dibantu oleh roller bladenya. Ya jika di anime yang kukenal, itu disebut dengan A-T. Pria itu mengambil baton dari balik jubahnya dan bersiap. Sedangkan bocah itu memegang sebilah pisau dan siap menerkam mangsanya.
Tapi, karena gerakan jitu, serangan itu tertahan dengan baton. Dan dengan cepat, pria itu memutar tubuhnya lalu menendang bocah itu untuk mundur. Sebuah peringatan.
Seringai yang sedaritadi tampak di wajahnya menghilang, dia menatap pria itu dengan serius kali ini. Dia meludah lalu maju lagi, mencoba menyerang dari arah lain. Tepatnya dari samping. Tapi lagi-lagi serangan itu dipatahkan, tangan bocah itu dipukul dengan keras olehnya menggunakan baton. Benar-benar tanpa ampun. Membuat pisaunya terlepas.
Bocah itu melompat mundur lalu menatapnya lagi. "Cukup sudah!" Aura biru tiba-tiba saja mengelilingi bocah itu, menyelimutinya. Tapi pria itu juga tidak mau kalah. Dengan siaga, asap panas yang tadi ada di tangannya kini mengalir ke batonnya, seperti membuat senjatanya menjadi lebih kuat. Lalu, bocah yang tenggelam dalam aura biru itu tiba-tiba saja sudah diatas, mencoba menendangnya. Pria itu menghindarinya, bocah itu cukup cepat karena setelah tendangannya dihindari, dia memukul pria itu bertubi-tubi. Lamban sedikit saja bisa membuat pria itu mati karena serangan mematikan. Bisa dibilang itu bukan tinju biasa.
"Mati mati mati!!" Teriaknya. Pria itu bisa menghindari cukup banyak serangan musuhnya, tapi sebuah pukulan melayang tepat ke arah wajah yang dilindungi oleh topeng, membuatnya terlempar.
"Hebat juga kau bocah," ujarnya.
"Tentu saja, keluarga Kazuki memang yang terhebat di kota ini!" Balasnya dengan sombong. Dia maju lagi, kali ini memutar tubuhnya untuk melakukan tendangan tepat di kepala. Hanya saja, kecepatan musuhnya kini mulai bisa menyeimbangi, dia menghindari dengan mudah lalu mengambil baton lagi dengan tangan kirinya dari balik jubahnya. Kini dua baton berada di kedua tangannya. Dia tampak lebih siap lagi.
"Dua senjata?" Bocah itu terdiam sebentar. Tapi keheningan itu terpecah karena pria berjubah hitam itu menyerang dengan cepat, pertama dia menyerang kaki bocah itu untuk melumpuhkannya, lalu bagian kepala. Dan serangan itu melayang dengan ketepatan yang pasti. Membuat bocah itu sendiri mundur lagi.
"Cara yang curang.." Gumam bocah itu. Dia mengambil pisau lempar yang ada di punggungnya, lalu melemparkan dengan ketepatan yang mematikan. Serangan itu tak terhindari, menghujam tepat di bahu pria berjubah hitam itu. Setelah mengenai bahunya, lagi-lagi bocah itu menyeringai karena senang dan bangga. Tapi pertarungan belum selesai sampai disitu, dia melaju lagi dan menendang musuhnya yang sedang terluka dengan A-Tnya.
Serangan yang tidak bisa ia hindari, kalaupun ia melindungi dada nya dari serangan, tetap saja memberikan efek yang luar biasa terhadap tangannya. Walau tidak sampai patah. Dia mencoba mencabut pisau lempar yang menghujam bahunya itu, meringis kesakitan saat benda tajam itu dicabut karena belum pernah ia merasakan tusukan di tubuhnya.

"Hei, siapa sebenarnya kau ini? Dan kenapa kau membunuh para perampok?" Tanya pria itu dari balik topengnya yang hitam kelam.
Bocah itu menyeringai dan menjawab dengan santai. "Karena mereka tidak pantas hidup, lagipula itu bukan tugasmu untuk menghakimi mereka," jelasnya dengan santai.
"Lalu siapa kau?"
"Aku adalah Lind, salah satu dari keluarga Kazuki, keluarga kaya raya yang juga turut memegang kuasa di pulau ini,"
Pria berjubah hitam--Nathaniel-- diam sebentar, nama keluarga itu belum pernah terdengar olehnya. "Begitu ya? Jadi kau ini seorang penguasa?"
"Bisa dibilang begitu, kakakku selalu bilang bahwa keluargaku ini adalah keluarga aristokrasi."
Bahkan pulau seperti ini masih mempunyai keluarga aristokrat?! Pikir Nathaniel. Tapi kenapa mereka mengatasi kebusukan dengan kebusukan??
Raut wajahnya menjadi cemas dibalik topeng itu. Dia bingung dan penasaran.
"Aku yakin kau bertanya-tanya kenapa keluarga terhormat melakukan ini kan?" Bocah bernama Lind itu tampak seperti tahu apa isi kepala Nathaniel, dia tersenyum saat mengatakan itu. "Itu karena mereka hanya sampah masyarakat, ditambah aku--" Lind terdiam sebentar. "Tidak, maksudku kami sudah menunggumu," tambahnya lagi. Kemudian Lind mengambil ponsel dari kantongnya, melakukan sesuatu pada ponselnya. Dan tiba-tiba saja cahaya remang-remang yang menerangi mereka padam begitu saja. Dalam kegelapan ini, Lind memanfaatkan waktunya untuk menyerang musuhnya habis-habisan. Tapi, goggles miliknya mempunyai teknologi khusus, sebuah nightvision. Hanya saja belum sempurna karena saat itu retak akibat ulah kakaknya. Dia mungkin berhasil menahan serangan awal dari Lind, tapi serangan keduanya tidak. Membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh.

"Sekarang waktunya membuatmu menghilang, tuan vigilante" ucapnya dengan wajah sadis. Sesaat Nathaniel menjadi ingat akan ucapan Yusuf saat dia mengajarinya membuat bom. Lalu dia mengambil dua buah bom asap dari kantong yang terdapat pada sabuknya itu. Dia langsung melempar ke atas hingga akhirnya kedua bom itu menyentuh tanah dan meledak. Layaknya bom asap milik ninja.
"Kau ingin kabur atau apa? Jangan jadi pengecut!" Seru Lind. Asap tebal itu sudah menyelimuti kedua orang ini. Beserta mayat-mayat yang tergeletak tanpa nyawa disana.
Dan seseorang dengan jaket berwarna hijau menatap mereka yang sedang bertarung. Dari atas tempat Nathaniel tadi berpijak. "Lagi-lagi anak itu bertarung, apa dia tidak tau lawannya itu orang yang penting?" Gumamnya, masih menonton.
"Tidak ada gunanya kau melakukan ini. Asap-asap yang kau keluarkan tidak akan bisa menolongmu," asap yang menyelimuti Lind tiba-tiba saja tertiup oleh angin. Angin itu berasal dari aura biru milik bocah itu. "Kau tahu tidak? Bahkan ikan-ikan kecil yang mencoba bersembunyi pun bisa diterkam oleh hiu," serunya.
"Tapi hiu akan dikalahkan oleh asap," balas Nathaniel dengan santai. "Sebenarnya, asap-asap ini adalah senjata!" Lanjutnya. Nathaniel mengarahkan tangan kanannya ke atas langit, dan seketika asap-asap yang menyelimuti mereka berkumpul di satu titik, tepat di atas tangannya.
Mengetahui hal itu, tentu saja Lind tidak diam saja. Dia menggerakkan kakinya, seperti menendang dari jarak yang jauh. Dan seketika sebuah sinar berwarna merah darah keluar begitu saja.
Asap yang berada di tangan Nathaniel, seketika masuk kedalam tangannya. Dan sebuah simbol aneh di punggung tangannya itu mengeluarkan cahaya remang-remang berwarna putih.
"Absorption adalah kekuatanku di pulau ini!" Tangan yang dihiasi simbol yang bersinar itu dia arahkan tepat ke cahaya merah darah. Dan lagi cahaya merah itu menghilang begitu saja, bagaikan menghadapi sebuah semprotan air. "Kekuatan apapun tidak akan bisa melawanku," ujarnya. Cahaya yang ada di tangannya menjadi semakin terang. Luka nya tiba-tiba saja meregerenasi sendiri, sembuh total hanya ada darah saja yang ada pada bajunya.
Lind terlihat menganga saat melihat kekuatannya dihisap.
"K-kau.." dia tiba-tiba saja terdiam akibat terkejut.
"Sekarang giliranku menyerang kan?" Dengan cepat Nathaniel merubah partikel tubuhnya menjadi asap dan melaju dengan cepat, melewati Lind. Saat sudah ada di belakangnya, dia menyerang bocah itu dari belakang dan menghajarnya habis-habisan. Tanpa ampun sama sekali.

"Baiklah, kurasa bertarungnya harus selesai," pria yang ada di atap itu berdiri, bersiap untuk menjatuhkan diri.
Sementara di bawah, pertarungan masih berlanjut dengan Nathaniel lebih unggul. Lind hanya bisa bertahan terhadap serangannya. Setelah Lind melompat, Nathaniel pun melakukan trik yang sama. Tapi.. matanya sudah mengetahui hal itu, gerakan-gerakannya. Efek dari sebuah penelitian di pulau itu. Lind menghindar dengan mudahnya dan membalas serangan.
"Baiklah baiklah, cukup!" Seru seseorang. Pertarungan mereka tiba-tiba saja berhenti karena ulahnya. "Bukankah tidak baik bertarung antar sesama saudara?" Lanjutnya lagi.
"Saudara?" Nathaniel bingung.
"Dia saudara kita? Kau pasti berbohong kan? Dia terlalu lemah untuk menjadi anggota Kazuki!" Seru Lind.
Pria dengan jaket hijau itu hanya tersenyum penuh dengan teka-teki.
"Tch" Lind melirik ke arah pria berjubah hitam itu untuk sesaat lalu mengalihkan pandangannya. "Baiklah baiklah, lagipula dia juga lumayan," lanjutnya lalu berjalan pergi.
"Mungkin kita tidak akan berbincang-bincang hari ini, bagaimana jika besok? Akan ku kirimkan peta nya," kata pria berjaket hijau itu dengan santai. Nathaniel hanya mengangguk sebagai respon dari jawaban.
"Orang itu bilang kau akan datang untuk mencari artefak dan menyelamatkan kota ini, " lanjutnya lagi dengan santai.
Artefak? Ah jangan-jangan yang ditempatkan di altar itu Batin Nathaniel.
"Juga seseorang bernama Jordi kan?"
"Kau banyak tahu untuk orang luar ya, " ejek Nathaniel. "Siapa lagi yang tahu tentang ini?"
"Hanya keluarga Kazuki, dan anggota keluarga Kazuki yang ada di pulau ini hanya aku dan Lind," jelasnya. Tiba-tiba ponsel Nathaniel berbunyi, dia mengecek smartphone nya itu, sebuah pesan.
"Apa ini darimu?" Tanya nya. "Bagaimana kau bisa tahu tentang ini?"
"Ya, yang membuat ponsel itu adalah keluargaku, jadi tentu saja aku tahu." Balasnya santai
"Tunggu, aku sedikit bingung. Sebenarnya apa masalah anak tadi itu denganku?" Pria itu melirik ke arah Lind.
Pria dengan jaket hijau itupun membalas dengan gaya santainya. "Sebenarnya dia tidak terlalu percaya pada orang lain selain anggota keluarga, dan dia tau kau ini sebenarnya anak angkat. Jadi.. ya, begitulah," mereka berdua terdiam sejenak. "Sebenarnya, dia itu anak yang baik. Diantara pribadi lainnya, dialah yang tertua. Dia bahkan menjaga kedua pribadi lainnya bagaikan adik sendiri," lanjutnya
Kemudian Lind pun datang lagi menemui mereka berdua. Berkata seperti meledek. "Kalian lama sekali, bukannya kita harus ke markas? Untuk mencari tahu kunci awalnya?"
"Ah kau benar! Baiklah ayo," balas pria berjaket hijau itu dengan santai.
"Tunggu! Aku bahkan belum mengenalmu!" Seru Nathaniel, memberhentikan gerakan mereka.
"Dino. Dino Kazuki," Dino menoleh dan tersenyum. Dino dan Lind sudah berjalan mendahului Nathaniel sendiri, tertinggal di belakang tapi tidak ditinggalkan.

Teman baru memang terlihat menyenangkan, tapi aku harus berjaga-jaga. Aku belum tahu sifat mereka. Pikir pria muda itu selagi melihat mereka berdua dari belakang. Rasa percaya memang belum ada padanya. Tapi dia sendiri harus mulai mempercayai mereka berdua untuk mendapatkan sesuatu yang menjadi tujuannya.
Sedangkan di tempat lain, di sebuah goa yang jauh dari keberadaan kota. Terdapat satu pleton pasukan dengan pakaian yang terlihat canggih. Dan diantara mereka tidak memakai armory tersebut.
"Kapten, suruh pasukanmu menjelajahi goa ini lalu temukan sebuah tanda-tanda yang terlihat futuristik!" Perintahnya.
"Siap pak!" Kapten dari pasukan itu kemudian memerintahkan pasukan itu. "Kalian dengar? Cepat jelajahi tempat ini, kita membutuhkan artefak itu! Jika kalian tidak menemukannya, siapkan diri untuk tidak menerima gaji!"
"Siap pak!" teriak mereka semua. Kemudian mereka langsung bergegas memasuki goa tersebut, mencari artefak tersembunyi itu.
"Pak, aku ingin bertanya!" Salah satu pasukan itu berseru kepada pemimpinnya. Bukan pada sang kapten, melainkan bos dari organisasi itu. Tapi pria itu tidak membalas, dia membalik badan dan berjalan pergi tanpa sepatah kata apapun.

Kamis, 23 Oktober 2014

The Story Chapter 6

The Story Chapter 6 : The Shark (bagian 1)

"Tampak seperti yang anda lihat, beberapa mayat yang ditemukan di gang ini mati mengenaskan," kata seorang reporter di dalam televisi, dengan latar belakang garis polisi dan beberapa mayat yang ditemukan disana. "Menurut pihak aparat, korban-korban ini tewas karena tusukan di leher, hantaman di kepala juga tikaman di dada. Senjata yang dipakai kemungkinan adalah pisau militer,"
"Pagi-pagi sudah disuguhi mayat lautan darah, Nathan sebaiknya kau mengganti channelnya," ujar seorang gadis muda yang duduk disana dengan anggun bak putri sambil meminum susu coklat miliknya. "Kau dengar tidak?"
"Hmm." Pria muda yang berada di hadapan gadis itu sedang serius menonton berita sambil memakan roti coklatnya. Tampak tidak mendengarkan apa perkataan adiknya. Serangan mengerikan ya? pikirnya.
"Nathan!" Kali ini gadis itu berusaha meraih telinga Nathaniel, mencoba menjewernya. Tapi, sebelum dia sampai melakukan itu, Nathaniel tiba-tiba menoleh kearahnya. Menyebabkan gadis itu terkejut lalu cepat-cepat kembali ke tempatnya.
"Kau ini banyak tingkah, Anna," ledeknya seraya menghabiskan roti berisi coklat itu. Adiknya hanya mengembungkan pipinya sebagai respon dari ledekkan kakaknya.
Setelah semua makan pagi habis di meja makan, mereka pun bersiap-siap pergi sekolah.
Lagi-lagi sesuatu mengganjal di pikiran Nathaniel saat di jalan. Tentu saja tentang pembunuhan semalam yang menewaskan berandalan-berandalan yang tersisihkan.
"Nathan," panggil adiknya itu secara tiba-tiba. Membuyarkan lamunannya.
"Hng? Ada apa?"
"Akhir-akhir ini kau banyak melamun." Raut wajah Anna menjadi sedikit khawatir mengenai kakaknya. Memang benar, akhir-akhir ini banyak yang dipikirkannya. Mengenai seseorang bernama Jordi, juga tentang kriminalitas yang akhir-akhir ini naik turun tidak stabil. "Apa karena kau kurang makan?"
"Tentu saja tidak, kau melihatnya kan?" Balasnya dengan santai, "aku makan terlalu banyak, tapi tidak bisa gendut," lanjutnya lagi dengan nada bangga akan dirinya sendiri.
"Ah mungkin karena kurang tidur!" Seru adiknya itu, matanya berubah menjadi mata yang bahagia. Mungkin karena dia kira dia berhasil memecahkan misteri tentang kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat punya banyak pikiran. Tapi, memangnya kurang tidur mampu menyebabkan seseorang mempunyai beban pikiran?
"Mungkin juga," balasnya singkat dengan senyum penuh dengan teka-teki.
"Lagi-lagi.." Anna tiba-tiba saja menjadi ketus karena jawaban dari kakaknya.
Tidak jauh darisana, seseorang sedang mengamati dari atas genteng rumah yang mereka lewati. Seseorang yang rasanya terkait dengan pembunuhan semalam. Bocah berambut biru itu menatap dengan tatapan setajam pedang yang seakan siap untuk menusuk Nathaniel.
Entah kenapa, rasanya Nathaniel merasa seperti dihantui. Dia langsung menoleh ke belakang, tepat ke arah genteng itu. Tapi sosok bocah itu sudah menghilang darisana, tepat sebelum Nathaniel mencari tau apa yang mengganggunya.
"Eh? Ada apa Nathan?" Tanya adik kecilnya itu. Merasa khawatir dan ragu.
Nathaniel tiba-tiba menoleh ke arah adiknya, menoleh sebentar lalu memberi senyuman simpul, "bukan apa-apa, hanya firasatku." Jelasnya, mencoba untuk tidak membuat Anna khawatir.
Sesampainya di sekolah, mereka berpisah untuk sementara. Pergi ke kelasnya masing-masing. Siluet hitam dibalik pohon, tepat saat kedua bersaudara itu berpisah, dia menatapnya dengan tatapan datar.
Sementara Nathaniel berjalan menapaki tangga ke arah kelasnya, adiknya, Anna bertemu dengan orang baru, sosok yang tidak ia kenal dari sekolahnya maupun kampus dimana kakaknya belajar.
"Umm, nona bisa aku bertanya?" Kata pria itu, memulai pembicaraan. Dari logatnya mengatakan bahwa dia bukanlah orang dari wilayah ini maupun negara ini. Orang baru mungkin?
"Ah? Tentu," balas Anna. "Memangnya ada apa?"
"Apa benar ini kampus Verdamia? Tempat dimana orang-orang yang "spesial" berkumpul?" Lanjutnya dengan pertanyaan lain.
Anna membalas dengan anggukan lalu tersenyum. "Jika kau orang baru, lebih baik kau ke gedung itu," dia menunjuk ke arah gedung dimana kakaknya menapaki tangga.
"Ah begitu? Terima kasih!" Pria itu terlihat bersemangat, dia membungkuk sebentar sebagai tanda terima kasih. Lalu langsung berlari tak karuan menuju gedung itu, tepatnya ruang administrasi.
"Orang yang terlalu bersemangat." Gumam Anna sangat pelan. Kemudian Anna pun melanjutkan jalannya pergi ke gedung sebelah.

Tak lama setelah itu, bel sudah berbunyi. Menandakan dimulainya kelas.
Kelas Nathaniel terlihat ramai riuh, seakan murid-muridnya tidak mempunyai niatan untuk belajar. Ya bisa dibilang seperti biasanya.
Nathaniel berjalan ke bangku kosong yang berada di pojok belakang lalu meletakkan tasnya. Dan tentu saja, menatap jendela dengan wajah bosan.
Suara pintu yang digeser untuk terbuka itu terdengar sangat keras. Dan seorang pria dengan jas dan berkacamata masuk ke dalam sambil membawa beberapa buku. Nathaniel meliriknya, orang yang ia kira terasa familiar. Orang yang mengantarkannya ke pulau ini. Dia terkejut sebentar lalu berdiri dan memukul meja.
"Huh?" Pria itu terlihat bingung. "Ada apa Nathaniel? Duduklah dengan tenang," ucapnya tanpa basa-basi.
Nathaniel yang terkejut tadi menenangkan diri, karena seluruh kelas menatapnya sekarang. Dia duduk dan menoleh ke arah jendela lagi.
"Hmm," pria itu mengambil secarik kertas lalu membacanya sebentar. "Baiklah, jadi guru Kimia sedang tidak masuk sekarang karena sakit. Ditambah ada murid pindahan--" dia terdiam sejenak, mencoba membaca nama murid baru itu. "Re.. Reis? Ah iya dia orang Turki, pantas saja," lanjutnya dengan gumaman. "Ya biarkan dia masuk dan memperkenalkan dirinya sendiri. Masuklah!"
Tiba-tiba saja pintu kelas itu dibuka dengan cara yang kasar. Masuk dengan gaya yang sok keren. Dia adalah seseorang dengan rupa Arab yang jelas terlihat dari wajahnya, dengan gaya yang sedikit modern.
"Namaku Yusuf Reis!" Serunya dengan semangat. "Dan aku adalah keturunan dari pembuat peta dunia legendaris, Piri Reis!" Lanjutnya lagi.
Seluruh kelas tampak terkejut dengan ucapannya, sebagian bergumam karena ragu dan tidak percaya. Nathaniel sendiri? Ya dia menoleh juga karena terkejut, mana mungkin legenda Piri Reis mempunyai keturunan dengan kekuatan yang "unik".
"Baiklah tenang sejenak," Pria berkacamata itu berusaha untuk menenangkan kelasnya dengan gaya yang kurang atau mungkin tidak tegas sama sekali. Benar-benar terlihat tidak punya niat. "Nah Yusuf, bangku sebelah pria yang duduk di pojok jendela itu kosong, duduklah disana. Mungkin saja kau menemukan jodohmu," ujarnya.
Pria Turki ini hanya mengangguk lalu berjalan dengan aura bersemangat disekitarnya. Duduk di sebelah Nathaniel dengan santainya.
Setelah orang Itali sekarang orang Timur Tengah pikir Nathaniel dengan muka masam. Apa lagi yang akan terjadi sekarang?
"Baiklah kita mulai pelajarannya, kalau tidak salah minggu lalu kalian membahas potassium bukan?" Saat pria berkacamata itu menjelaskan segala sesuatu mengenai pelajaran kimia itu. Yusuf malah terlihat heboh sendiri dengan mainan kecilnya, sebuah gunpla.
Nathaniel melihat ke arah jendela, memperhatikan taman. Lagi-lagi pria bertopi katak itu muncul. Apa semua orang aneh berasal dari sekolah ini? Pikir Nathaniel.
Desusan terdengar dari sebelah pemuda yang menatap luar jendela itu, seperti berusaha untuk memanggilnya. "Psst, hey!" Panggil seseorang dari sebelah dengan pelan. Berusaha untuk tidak terdengar oleh guru. Dia seperti ingin membahas sesuatu. Nathaniel menoleh dengan tatapan datar. Dan sebuah percakapan pun dimulai.

Akhirnya pelajaran berakhir, dentungan bel menandakan istirahat yang sudah dimulai.
Kali ini lokasinya berada di taman, ya sama seperti kejadian kemarin. Perbincangan yang sedikit canggung dan tidak menyenangkan.
Seorang pria bertopi aneh itu duduk disana, di bangku taman. Memakan sandwichnya dengan perlahan tapi pasti. Nathaniel juga terlihat disana, disebelahnya. Ikut memakan sandwich yang tentunya miliknya sendiri.
"Aku dengar terjadi pembunuhan," pria bertopi katak itu memulai pembicaraan dengan nada datar.
"Begitulah, kau banyak tahu ya?" Balas Nathaniel.
"Lalu? Bagaimana dengan targetmu itu? Kurasa akan terjadi peperangan untuk merebutkan uang." Ujarnya datar. "Dimulai dari bank di distrik ini, aku sudah mendengar dari beberapa berandal yang menyatukan kekuatan untuk merampok 3 bank besar di distrik ini, " lanjutnya lagi.
"Bagaimana kau bisa tahu? Dan bagaimana aku bisa memercayaimu?"
"Kau takkan percaya sebelum itu terjadi, dan aku yakin pembunuh itu akan muncul sebelum berandalan-berandalan itu mencoba merampok bank terakhir." Jelasnya sebelum akhirnya sandwichnya habis.
"Hey, jika kau tahu sebanyak itu, lebih baik kau bicara pada polisi." Nathaniel mencoba menyarankannya agar dia tidak terlihat mencurigakan, apalagi mulai banyak terdengar munculnya vigilante di kota ini.
"Tenang, hanya kau yang kupercaya."
"Begitu? Baiklah, kau bisa beritahu aku segalanya, " ucap Nathaniel dengan mantap. "Jika kau mau tentunya, " tambahnya lagi.
"Aku akan memberi tahumu sebuah informasi setiap sebelum sandwichku habis." Sandwich yang sedaritadi dipegangnya dan dimakannya, kini telah menghilang karena habis. Pria itu berdiri dan dengan malasnya berkata, "Jika sudah habis, maka tidak akan ada lagi informasi untukmu." Lalu diapun berjalan ke arah yang sama seperti hari sebelumnya.
Nathaniel memfokuskan pandangannya pada orang itu, sampai akhirnya dia benar-benar menghilang dari balik lorong.
"Hey Nate!" Seseorang dengan wajah ke Arab-araban itu tiba-tiba muncul dan mengagetkan Nathaniel. Panggilan Nate? Itu terdengar seperti julukkan akrab di telinganya.
"Ugh.." dia batuk karena tersedak lalu berusaha untuk bicara, "kau... sudahlah, bagaimana kau tau namaku?" Nathaniel sedikit terkejut. Tapi sebelum orang itu menjawab, dia langsung meminum air putih untuk fokuskan pikirannya.
"Guru berkacamata itu yang memberitahuku. Dan aku dengar kau butuh seorang yang ahli merakit senjata, benar?" Dia terlihat memastikan. Seperti akan memercayakan suatu senjata padanya. Nathaniel membalas dengan anggukan lalu pria Arab bernama Yusuf ini mulai berbicara inti tanpa ada lagi basa-basi seperti sebelumnya.
"Aku bisa mengajarimu merakit sebuah bom, kau mau?"
"Tentu saja, aku butuh itu. Selain itu?"
"Apa kau tau cara membuat sebuah alat yang bisa mematikan listrik satu kota?" Dia terlihat menguji dan seperti ingin mendapatkan pengakuan dari temannya yang baru saja ia temui.
Tapi responnya diluar dugaan, Nathaniel hanya mengangguk dengan datar dan menatap langit, "jika itu bisa kugunakan untuk kabur, tentu saja." Ucapnya dengan santai.
Yusuf tak habis pikir, bagaimana lawan bicaranya ini tidak memiliki semangat? Atau dia malah menganggapnya remeh?
"Aku ini keturunan langsung dari sang jenius, Piri Reis. Jangan menganggapku remeh!" Dia membentak.
"Tidak mungkin aku melakukannya. Ya jika bisa kau harus mengajariku dengan cepat. Kelas kilat, " Nathaniel pun berdiri membelakangi Yusuf. "Bisa kan? Karena aku butuh itu untuk malam ini."
Yusuf pun tersenyum simpul dan berkata dengan santai, "baiklah baiklah, asal itu digunakan untuk kebaikan."

Kurasa aku harus mempercepat ceritanya.
Pengajaran dari Yusuf terjadi saat pulang dari sekolah. Ya hari ini Nathaniel dan Anna tidak bisa pulang bersama karena Nathaniel sendiri mempunyai rencana sendiri. Tapi mari kita ke lokasi yang lain, ke lokasi sebuah gedung besar dengan tulisan bank yang juga cukup besar menempel di gedung.
Dan sebuah mobil terlihat parkir di belakang gedung itu. Beberapa orang turun dari mobil itu, lengkap dengan topeng. Mereka mengambil senjata mereka dan menurutku rencana mereka adalah berusaha untuk menerobos ke dalam gedung dari belakang dengan mengendap-endap.
Mereka mulai bergerak, kebanyakan senjata mereka adalah AK-47 Custom, dengan sebuah peredam yang menempel diujungnya. Kurasa mereka hendak melakukannya dengan cara yang tidak mengeluarkan suara.
Tapi tampaknya rencana mereka tidak begitu mulus, seorang penjaga menyadari adanya kejanggalan lalu mencoba menghentikan mereka sebelum mereka masuk.
"Tunggu dulu, siapa kalian?" Penjaga itu menghentikan mereka dan mencoba untuk berbicara dengan mereka. Tapi mereka diam dan langsung memukulnya dengan senjata. Berandalan yang licik. Membuat penjaga itu pingsan akibat serangan salah satu dari kawanan perampok itu.
Saat di dalam, beberapa dari mereka melumpuhkan CCTV lalu berpencar menjadi dua grup. Grup pertama ke arah ruang kontrol dan grup lain kearah brankas yang berisi penuh dengan uang.
Di ruang kendali, penjaganya tertidur. Benar-benar beruntung.
Dobrakanpun terjadi, membangunkan penjaga yang tertidur pulas. Salah seorang dari mereka sudah menodongkan AK-47 untuk membuatnya bungkam. Seorang lagi membawa tas berisi laptop dan menyambungkan kabel-kabel ke lubang yang ada di ruang kontrol. Itu seperti adegan di film action, dimana penjahatnya mencoba membajak sistem keamanan.
Orang yang terlihat seperti pemimpin dari grup pertama itu mengeluarkan walkie talkie dan mengatakan bahwa ruang kendali sudah diamankan. Rencana yang mulus sekali. Ditambah keberuntungan menyertai mereka. Benar-benar seperti yang dikatakan oleh pria bertopi aneh tadi.
Di ruangan lain, tepatnya di depan brankas baja. Sekelompok perampok sudah bersiap disana, mencoba untuk membuka pintu baja itu. 8 kunci yang harus mereka buka. Mereka tempuh dengan membajak sistemnya.
Sementara di dalam gedung bank itu, sangat ramai sekali akan nasabah. Bahkan pihak bank sampai kewalahan. Seakan ini memang sudah direncanakan.
"5 kunci lagi, ayo cepatlah!" Seru seorang pria dibalik topeng itu, pemimpin dari kawanan perampok. Mereka memiliki pembajak yang elit dan profesional. Tidak sampai 2 jam, mereka sudah bisa membawa kabur uang-uang itu dan pergi ke bank berikutnya.

Di sisi lain, Yusuf mengajarkan beberapa jenis bom mulai dari bom taktis, bom pengalih perhatian sampai bom mematikan sekalipun. Dia memberi tahu sesuatu tentang bom khusus yang bisa menimbulkan ilusi dan membuat otak terganggu. Dia sendiri sedikit ngeri saat mengajarkan hal itu.
"Aku takkan mengunakan bom ini jika tidak terlalu ekstrim, kuharap kau juga, " pintanya. Pandangannya seperti orang yang berharap akan sesuatu. Sesuatu yang baik.
Nathaniel mengangguk tanda setuju. Pelajaran pun berlanjut.
Sedangkan di tempat yang tidak jauh dari bank, seorang pria dengan rambut pirang duduk di pinggir gedung di depan bank itu. Menatap bank itu seperti sedang menunggu sesuatu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena sebagian tertutup oleh kegelapan. Dan disampingnya, seorang pemuda dengan rambut biru memperhatikan suasana kota.
"Jadi apa ini akan berjalan lancar?" Tanyanya sambil menyeringai. Tapi kakaknya tidak menjawab dan masih memperhatikan gedung itu.
Para perampok lain sudah berpindah lokasi dan saat dijalan, mereka meledakan brankas bank. Kemungkinan besar untuk memancing perhatian.
"Hahaha, dengan ini polisi akan mendatangi bank pertama!" Seru orang yang berada di kursi kemudi. Mobil itu berjalan dengan kecepatan yang normal dan berusaha menghindari keramaian sebisa mungkin.
Mereka gunakan rencana yang sama pada bank pertama untuk bank kedua. Dan mereka berhasil dengan mulus lagi. Tapi kali ini mereka tidak meledakkannya hingga mereka berhasil merampok di bank ketiga.
Tapi usaha mereka kali ini sia-sia, sosok mengerikan bagaikan seekor hiu sudah mengincar mereka. Bersiap membunuh.
Beberapa dari kawanan perampok itu sudah bersiaga karena merasakan sebuah intimidasi secara tak langsung. Sosok tadi melompat dan menendang kepala salah satu dari mereka.
Baku tembak yang tak terelakan terjadi. Tapi pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dia menyeringai, peristiwa ini seperti seekor hiu yang sedang memangsa ikan kecil. Perlawanan apapun tidak akan berguna. Dia menghindarinya seakan dia sudah tau arahnya.

"Orang yang mencoba jalan pintas eh?" Ucapnya, dia melaju dengan kecepatan penuh dengan sebuah bilah pisau di tangannya, menusuk leher penembak itu lalu mengambil satu buah pisau lempar dari tempatnya yang sudah menempel padanya. Dia melemparnya tepat pada kepala dari perampok lain. Kini tersisa 6 anggota. 6 anggota yang akan dikirim ke neraka olehnya. Dia menyeringai sejenak, mengambil pisau yang terhujam pada leher musuhnya tadi.
"Bagaikan seekor hiu yang akan memangsa ikan kecil, " ucapnya dengan nada yang sedikit sadis
"Diam kau!" Musuhnya mencoba menembaknya lagi. Penuh dengan rasa ketakutan. Dia bahkan bisa merasakannya.
Bocah itu memanfaatkan rasa takut musuhnya lalu membuat gerakan jitu untuk membunuhnya. Musuhnya kini tergeletak tak berdaya, dengan darah yang membanjiri tanah. Percayalah padaku, kau mungkin takkan mau melihatnya.
Tapi di tengah penyerangannya, Nathaniel muncul lagi, mengamati. Tentu saja bocah itu sudah merasakan hawanya, dia menoleh ke arah atas, ke sebuah atap yang tidak begitu tinggi juga tidak begitu rendah. Menyeringai.