Jumat, 12 Juni 2015

Short Story [One-Shot]: Dark Matter Rising

Pukul 5.30.
Mungkin itu sedikit awal untuk beberapa orang untuk bangun. Namun, matahari sudah mulai menyingsing. Sinarnya sudah sampai di hutan di sebelah utara, menyinari beberapa pohon serta sebagai alarm untuk membangunkan beberapa hewan yang masih lelap dalam tidurnya.
Burung-burung yang sudah bangun, mulai keluar dari sarangnya. Bernyanyi mensyukuri apa yang sudah diberikan alam kepada mereka untuk pagi yang indah ini. Suara-suara kicauan mereka terdengar diberbagai sisi hutan.
Tapi itu tidak lama. Tidak lama sampai seseorang jatuh dari langit dan menghantam tanah di hutan itu, mengejutkan beberapa hewan dan membuat mereka berlari ketakutan.
“T-tch..” orang itu terbangun dari tanah. Ia berusaha semampunya untuk berdiri dengan tegap. Apalagi karena tadi dilempar jauh dari langit.
Disisi lain, ada makhluk buas yang meraung-raung bak meminta makan. Makhluk itu berjalan menghampiri sang pemuda yang mempunyai surai silver.
“Dark matter sudah bisa memproduksi makhluk hidup… apa dia sekarang sekuat ini?” gerutu pemuda itu. Beberapa pendamping yang terbuat dari logam mulai ikut bangun dan melayang bersama dengan pemuda tersebut. Pemuda itu bersiul
Sesuatu keluar dari balik jubahnya. Sesuatu seperti panah logam berukuran 315mm. Membalas siulan pemilik dan melayang terbang menuju makhluk buas itu, mengincar jantung dan menembusnya.
Satu jatuh. Itu yang ia pikirkan.
Serangan tak berhenti disana, muncul lagi 3-5 makhluk yang sama dengan yang sebelumnya. Mereka meraung dan berusaha menerkam pemuda tersebut. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghunuskan pedang tipis. Yang dikenal sebagai rapier.
“Sialan!” seru pemuda itu. Ia menebas udara kosong, membuat udara kosong itu marah dan bergemuruh menghantam salah satu monster itu.
Monster lain mengambil kesempatan, menyerang punggung pria itu yang kosong. Ia menyadarinya, menoleh namun semua sudah terlambat. Membuatuhkan waktu lebih untuk menebas angin lagi. Tapi, nasibnya tidak berakhir disitu. Pendamping pemuda, logam melayang tadi, langsung menembakkan gelombang elektromagnetik, melempar monster tersebut untuk menjauh beberapa meter darinya.
Saat semua dirasa aman, ia bersiul lagi. Panah logam miliknya merespon, bergerak meliuk-liuk seakan menari dengan siulan sebagai lagu pengiringnya. Mata anak panah itu menembus jauh kedalam tubuh monster.
Dua jatuh.
“Hah..hah..” nafasnya tersenggal-senggal. Bulir-bulir keringat mengaliri pelipis hingga pipinya. Air keringat itu jatuh ketika usai membasahi pipi dan dagu pemuda tersebut. Ia kelelahan. Separuh tenaganya sudah ia habiskan untuk melawan mereka, namun lawannya belum juga habis.
Mereka menyerang lagi. Pria itu, yang hanya sendirian, berusaha sekuat tenaga untuk melawan mereka. Ia mengeluarkan kertas jimat dan menaruh dalam genggamannya. Lengan manusianya berubah menjadi lebih keras, sekeras batu.
Langsung saja wajah jelek monster yang hendak menggigit dagingnya dihantam. Monster satu terlempar dan mungkin pingsan.
Tak beberapa lama, situasi mulai berubah. Orang lain muncul. Menekan atmosfer yang damai tadi. Sesosok putih pucat mulai dari rambut, pakaian hingga ujung kaki. Matanya berwarna hitam, menyisakan pupil berwarna ke-oranye-an.
“Kau..”
Sosok itu tersenyum melihat pemuda tersebut atau bisa dibilang dia sedang menyeringai padanya. Makhluk buas yang sedari tadi mencoba menyerang pemuda bersurai silver itu terdiam saat kehadiran sosok tersebut menekan atmosfer. Makhluk itu seakan tunduk padanya.
“Sudah lama ya?” ia mulai berbicara. Masih tetap mempertahankan seringaian anehnya. “..Hayate.”
“K-kukira kau sudah mati!” seru pemuda itu. Tak percaya rasanya melihat orang yang berdiri santai di hadapannya. “Kak Teitoku!”
“Ya memang aku sudah mati. Tapi kebosananku belum hilang, jadi aku kembali lagi.”
“. . .”
Hening. Seusai pembicaraan itu, pemuda tidak membalas dan memilih untuk diam. Tidak lama sampai akhirnya ia bersiul. Siulannya membuat anak panah itu menari lagi dan menghancurkan monster yang tersisa.
Sosok yang disebut kak Teitoku tertawa menatapnya.
“Kau sudah besar sekarang ya, Hayate,” ujar sosok itu. “Dan cukup kuat untuk melawan kakakmu sendiri.”
“Yeah. Aku tergabung dalam satu organisasi dimana orang-orang aneh berkumpul,” balas pemuda yang dipanggil Hayate itu. Ia tersenyum.
Kemudian hening.
Benda-benda yang melayang di belakang Hayate hanya berputar-putar, menunggu perintah dari sang majikan.
Sedetik kemudian, Hayate bergerak. Berlari hendak menusuk menggunakan pedang tipis bermata dua yang ia pegang sedari tadi. Berusaha menusuk sosok yang ia panggil sebagai kakak, sosok yang telah lama mati.
Teitoku hanya menaruh tangannya di dalam saku celana. Tidak bergerak hingga Hayate tinggal beberapa meter.
“Ini terlalu cepat.”
Boom. Hayate dihempaskan begitu saja. Di dorong entah oleh siapa. Tak ada angin namun ia bergerak menjauh dari kakaknya seakan dilemparkan. Menabrak pohon hingga pohon jati yang besar itu jatuh. Untung saja benda asing yang menjadi pendampingnya sudah bersiap melindungi punggungnya.
“Ini terlalu cepat untuk melawanku, Hayate,” ujar pria itu. Ia melangkah maju dengan santai. Menatap sekitar. “Banyak yang berubah ya?”
“Yeah, terlalu banyak karena kau sudah mati lama.”
“That is true,” sahut pria putih pucat.
Hayate berusaha berdiri, dibantu dengan rapiernya untuk menjaga keseimbangan. Nafasnya terpotong-potong. Lelah. Itulah yang ia rasakan. Bertarung mati-matian diwaktu matahari belum bangun sejak ia merasakan kehadiran kakaknya dari kuil pada waktu tengah malam.
“Dark matter bisa sampai membangkitkanmu begini ya, kak?” dengan segenap tenaga yang ia miliki, ia berusaha tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai menanggapi kakaknya.
“Bukankah itu alasannya kenapa aku dipanggil ‘orang yang berhasil menyentuh teritori Tuhan’?”
Hayate bergerak maju dengan cepat. Pipi kirinya menyala mengeluarkan simbol romawi angka ‘12’ yang selalu ia sembunyikan sebelumnya.
Berhasil!
Akhirnya rapier itu menembus dada sang kakak. Saat berhasil, tidak ada senyum kemenangan yang tampak di wajahnya. Hanya rasa muram yang terlihat.
“Sekarang, sudah waktunya kau kembali ke surga, kan?” ejek Hayate.
Teitoku berusaha menjaga keseimbangan. Berpegangan pada pundak Hayate meski dengan pedang yang menembus dadanya.
“Kau terlalu cepat merasa menang, Hayate,” lagi-lagi seringaian terukir di wajahnya. Ia mendorong sang adik. Dengan tenaga yang cukup besar, membuat Hayate mencabut pedangnya dan terhempas ke tanah.
Ada lubang tepat di dada Teitoku. Ia tertawa. Tertawa aneh.
“Kalau mengalahkanku sebegitu mudahnya, aku takkan bisa menjadi bos,” ujar pria itu. Perlahan zat-zat putih aneh mengisi lubang di tempat jantungnya berada. Menutupi dadanya.
“. . .” Hayate terdiam melihat kakaknya yang beregerenasi lagi.
Teitoku melesat, meninju wajah sang adik. Benar-benar kuat hingga sang adik sendiri memuntahkan darah dari mulutnya. Darah segar yang sampai membasahi pohon.
“Kau takkan bisa mengalahkanku, dasar bodoh!” serunya. “Kau itu lemah!”
Jauh di dalam pikiran Hayate, ia merasa berbeda. Aneh rasanya melihat kakak yang ramah di masa lalu kini berubah menjadi sosok monster.
Hantaman demi hantaman yang mengenai wajah Hayate membuat gema di sekitar hutan. Burung-burung terbang lari karena takut. Tidak ada lagi nyanyian bersyukur, yang ada hanyalah kepakan sayap ketakutan.
Hayate babak belur dihabisi oleh sang kakak. Ia tergeletak tak berdaya di dekat pohon.

“Saa tte, akan kumulai penghancuran kedua,” tangannya dilumuri oleh cairan merah. Darah dari adiknya sendiri. Ia mengambil satu benda yang menempel di jari manis Hayate. Sebuah cincin dengan simbol templar yang menempel sebagai hiasan.

Selasa, 27 Januari 2015

[Light Novel] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 3

“Rainy!” Lagi-lagi seseorang berteriak kepadaku, ya untunglah dia tidak berteriak di dekat telingaku, ah ngomong-ngomong latar waktu kita adalah di pagi hari yang cerah sesudah kemarin saat aku makan malam bersama Lucia, dan ya aku ini manusia biasa yang menuntut ilmu di sekolah biasa. Hanya karena keluargaku itu keluarga penyihir, bukan berarti sekolahku adalah sekolah sihir yang megah, luar biasa dan tidak terkalahkan. Kau pikir kau hidup dimana? Dunia kartun?
“Hei Rainy!” Yap, aku sedikit melamun tadi dan orang yang memanggilku kini sudah ada di depanku. Orang yang kemarin memintaku untuk membantunya menyelesaikan catatan. Kebiasaan kedua seluruh pelajar di dunia ini yaitu PSPP, artinya Pekerjaan Sekolah Paling Pagi. Ya itu kudapat dari guruku dulu waktu SD, yang artinya kebanyakan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya di sekolah pada waktu pagi sekali sebelum banyak siswa menunjukkan batang hidungnya. “Aku mengerti, catatan kan?” Jawabku langsung. Antara malas dan tidak, aku mengambil buku yang tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis dan menaruhnya di atas meja.
“Nah begitu dong!” Ha? Bukannya terima kasih malah teriak kegirangan seperti diberi hadiah saja. Bocah yang merepotkan. “Lebih baik cepat selesaikan semua lalu berikan kepadaku lagi,” ujarku dengan malas. “Oke?”
Dia hanya mengangguk. Ah untuk namanya, aku tidak terlalu ingat tapi yang jelas dia itu menyusahkan, teman sekelas dan pasti kelompoknya bergaul itu suka memanggil orang lain dengan nama julukkan yang mereka buat. Contohnya memanggilku dengan panggilan ‘Rainy’ tadi. “Baiklah tenang saja Rainy, aku ini orang yang baik hati–,” tuturnya. Dan dia mulai berbasa-basi dengan orang yang bahkan tidak terlalu mengenalnya, semua manusia itu menyusahkan ya? “...suka menolong dan rajin menabung,” lanjutnya lagi. Eh tunggu.. apa?
“Pfft,” tentu saja aku sedikit menahan tawaku. Rajin menabung? Suka menolong? Orang ini pasti mengajak bercanda. “Ya ya baiklah terserah, selesaikan sebelum guru killer itu datang,” balasku santai. Sikap acuh tak acuhku terkadang tidak disukai oleh orang-orang, tapi ya memangnya aku peduli?
Ting-Tong-Teng-Tong.
Bunyi bel pun terdengar, kelas sudah dimulai seperti biasanya. Saat bel berbunyi, murid-muridpun terkadang masih sempat-sempatnya mengobrol. Hoho tapi tidak saat pelajaran guru itu, semuanya langsung huru-hara untuk duduk di bangku mereka masing-masing. *kriek* Pintu kayu itu terbuka dan itulah pria yang sering disebut guru–“Eh kenapa malah dia yang keluar?” Ah sepertinya dugaanku–tidak maksudku dugaan anak-anak satu kelas itu salah. Beberapa murid bergumam membicarakan pria itu tapi pria itu dengan santainya (atau lebih tepatnya malas) masuk ke dalam kelas sambil menggendong buku-buku itu.
Satu-satunya guru yang suka mengenakan jas lab dimanapun dia berada dan cukup terkenal karena ekspresinya seperti orang malas tapi ternyata dia jenius sejati. Christian Crown, itulah nama dari pria itu. Orang ini termasuk orang yang tidak terlalu suka mengurusi pekerjaan orang lain. “Yang penting selesai,” itulah yang dia katakan kepada kami saat pelajarannya.
“Ehem..,” pria itu berdehem sebentar saat sudah membereskan barang-barangnya. “Jadi, karena guru yang biasa kalian sebut guru killer itu tidak masuk...” Eh apa? Telingaku tidak salah dengar? Ini pertama kalinya aku mendengar seorang guru menghina guru lain di depan murid-muridnya. Tentu saja beberapa dari kami tertawa sedikit. “...Jadi aku menggantikannya untuk mengajar kalian hari ini,” tuturnya dengan ekspresi malas miliknya yang khas. Sepertinya diantara banyak guru di seluruh dunia, cuman beliau saja yang mengerti perasaan kami–sebagai murid.
“Pak!” Seorang murid perempuan mengangkat tangannya. “Memangnya apa yang terjadi dengan pak Randy?” Suaranya sedikit dibuat dengan lantang. Dia adalah seorang ketua kelas di kelasku, kalau tidak salah namanya itu..Uh.. Silvia? Ya, mungkin Silvia. Yang jelas wanita itu ketua kelas dan cukup terkenal di satu sekolahan ini.
“Pak Randy mendapat kecelakaan semalam,” ujar pria berjas lab itu. Kecelakaan saat malam? Sebenarnya kecelakaan di kota ini tidaklah terlalu banyak, terutama bagi guru killer yang satu ini. Dia cukup was-was juga disiplin, tidak mungkin kan terkena kecelakaan begitu saja? “Mereka bilang penyebabnya adalah tabrak lari,” pak Christian—Chris untuk singkatnya karena aku terlalu malas—membaca sebuah memo yang sepertinya cukup penting. “Berdasarkan rumor, pelaku sepertinya menabrak pak Randy dengan sengaja,” ujarnya lebih lanjut. Tunggu, kalau dengan sengaja maka tidak mungkin ini menjadi sebuah kecelakaan kan? Orang-orang dendam di kota yang damai seperti ini? Kau pasti bercanda bung!
“Ah ya, pak Randy bilang tentang senjata mitos Pasupasatra kan?” Mata malasnya itu menatap murid-murid dengan seksama. Tentu saja kebanyakan dari mereka menyembunyikan tentang pr yang ditinggalkan itu. Orang itu pun langsung menghela nafas. “Baiklah aku mengerti, kalian tidak mengerjakannya kan?” Benar-benar guru terbaik! “Ya kalian beruntung pak Randy tidak masuk, jadi mari kita lanjutkan tentang senjata mitos itu.”
Satu-satunya yang aneh di sekolahku hanyalah satu, meskipun semuanya biasa layaknya sekolah normal, tapi sekolah ini mempunyai pelajaran khusus tentang senjata mitos. Ya karena kebanyakan siswanya adalah seorang penyihir–termasuk aku, jadi mereka mengajarkan tentang senjata mitos untuk meningkatkan kekuatan kami.
“Pasupasatra–atau pasopati untuk singkatnya adalah senjata yang diberikan oleh dewa Syiwa...” Bla bla, aku sudah tau tentang hal itu. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui tentang pelajaran sebelum dijelaskan itu membosankan, terutama ketika ada seorang siswa yang merasa dia sudah tau segalanya lalu mau menyombongkan diri. “Senjata itu diberikan kepada Arjuna karena pertapaannya selama pengasingan kan pak?” Dan itulah yang aku maksud, seorang siswi tiba-tiba saja berdiri dan berseru seperti itu. Menyebalkan bukan? Nama perempuan itu adalah Rachel Frost. Dia itu uh mempunyai penyakit seperti merasa dirinya itu seorang putri dan menganggap orang-orang itu lebih rendah darinya.
Ya tapi kuakui dia itu lebih cantik dibandingkan Lucia sendiri, hanya saja tingkahnya sedikit membuatku muak. Ayolah, merasa seperti bos? Kerja saja belum, pfft. “Ya, beberapa yang diucapkan Rachel itu benar,” guru berjas lab itu malah memuji gadis itu, membuat seluruh kelas menepuk tangan mereka kecuali aku. Lihat wajahnya, ugh benar-benar wajah sombong yang bangga akan dirinya sendiri, menyedihkan.
“Tapi,” guru berjas lab itu membuka mulutnya lagi. “Meskipun kau benar, kau tidak boleh terlihat sombong dihadapan temanmu,” ujarnya lagi. Wah ini dia seperti yang diharapkan dari pria tua itu, dia selalu tidak terima dengan murid-murid seperti Rachel. Banyak murid-murid disekolahan yang membicarakan pria itu karena ketidaksukaannya. Wajah yang tadinya dihiasi dengan senyuman sombong itu beralih menjadi wajah muram dan sedikit bumbu amarah di dalamnya. “Ya tapi jawabanmu itu benar. Benar tetaplah benar,” lanjutnya. Tentu saja Rachel duduk dan masih mempertahankan wajah cemberutnya itu. Ya itu sih wajar karena mana mungkin manusia dengan harga diri yang terlalu tinggi itu menerima sebuah kritikan yang membuat dirinya dipermalukan. “Baiklah ayo kita lanjutkan pelajaran kita,” dan pelajaran pun berlanjut seperti biasa.

Beberapa jam kemudian setelah pelajaran guru killer itu selesai, bel pun berbunyi. Ah akhirnya istirahat, aku ingin makan. Pelajaran yang berat itu membutuhkan makanan yang cukup bergizi, artinya aku lapar. “Reiner, bisa ikut bapak sebentar?” Mendengar hal itu, tentu saja aku terkejut. Kau tau kan apa yang biasanya terjadi bila seorang murid pemalas dipanggil? Teman-teman sebelahku menatapku dengan tatapan menakut-nakuti. “Rainy, sepertinya kau akan dihukum, hahaha,” menyebalkan! Ah sudahlah, tidak baik mengurus mereka.
Sambil membawa bekal, aku berjalan ke arah pria itu lalu mengikutinya. Sepertinya dia hendak menuju ke atap, tempat favoritku untuk makan. “Tak perlu takut, aku tidak memanggilmu untuk menghukummu,” ujar pria itu saat kami menaiki tangga menuju ke atap.
Tidak membutuhkan waktu lama hingga kami menggapai pintu atap sekolahan. Dia membukanya lalu bisa kurasakan angin bertiup melewati rambutku. Ah segarnya.
“Mari kita langsung saja,” tiba-tiba saja pak Christian menatapku dengan matanya yang terlihat sangat malas dengan hal-hal yang menyusahkan. Tunggu, apakah itu artinya aku juga termasuk orang yang menyusahkan? “Kau tau kan kecelakaan dari guru killer itu bukanlah kecelakaan biasa,” ujarnya. Percakapan terdengar semakin serius sekarang, sebenarnya apa yang terjadi? Aku masih tidak paham. Aku pun membuka mulutku, “ya lalu?” Tanyaku dengan nada yang tidak kalah datar darinya.
“Demolish sudah berulah, dan Randy adalah salah satu dari korban mereka,” tuturnya. Wow, kejadian-kejadian seperti ini benar-benar tumben sekali. Terutama penyerangan dari kaum Demolish. Mereka sudah berani menunjukkan taring mereka rupanya. “Jadi bisa dibilang karena kau adalah salah seorang anggota keluarga yang memegang perlindungan di kota ini...” Ya-ya banyak orang yang terlalu menyerahkan beban kota ini padaku. “...kuharap kau mengatakan itu kepada orang tuamu dan segera memulai pelatihanmu,” lanjutnya. Pelatihan? Pria ini meremehkanku? Sejak kecil ayahku sudah mulai melatihku dengan hal-hal fisik seperti parkour. Aku tidak tau tujuannya apa tapi aku sudah termasuk golongan terlatih soal ini.
“Dan senjata pasupasatra itu ada dan masih ada hingga sekarang,” tunggu, jadi senjata itu nyata?! “Tunggu! Pasupasatra itu nyata?!” Seruku. Bagiku yang terobsesi dengan senjata-senjata mitos itu merupakan kabar yang cukup menggembirakan! Paling tidak aku bisa ikut berburu senjata sakti itu.
“Lalu apakah kaum Demolish sudah tau?” Tanyaku langsung. Entah kenapa instingku berkata kalau percakapan ini berkaitan dengan kaum Demolish yang mencoba mengambil alih senjata pusaka yang termasuk sangat kuat dan terkuat di dunia. “Bapak tidak terlalu tau mengenai itu, tapi yang jelas akan sedikit gawat kalau mereka mengetahuinya,” ujar pria tua itu. “Lebih baik kau bertanya kepada orang tuamu dan mungkin sebagai penyihir muda, kau akan mendapatkan tugas itu.”
Tugas untuk mencari senjata pusaka ya? Tidak terdengar begitu buruk, ya aku sedikit menyukainya. Terutama panah pusaka pemberian dewa penghancur yaitu Syiwa. Pasti sangat keren kan kalau melihat efek senjata itu ketika digunakan? Menurut mitos, ujung dari anak panah itu berbentuk bulan sabit. Yeah, aku yakin itu pasti keren. Petualangan mungkin akan dimulai sekarang.
“Baiklah aku mengerti,” ujarku. Senyuman kecil secara tidak sengaja aku tunjukkan sebagai rasa puas karena mendengar bahwa senjata itu memang ada dan memang nyata. Pak Christian tersenyum sebentar. “Kalau begitu sepulang sekolah nanti, usahakan langsung bicara mengenai ini kepada ayahmu, oke?” Aku hanya membalas dengan sebuah anggukkan.
Setelah kejadian itu, aku kembali ke kelasku. Baru saja setengah jalan untuk menuju kelas, gadis itu muncul lagi. Ya, gadis kemarin yang memasakkan makan malam untukku juga sedikit norak itu, Lucia ‘First’ ingat?
“Lucia?” Aku menatap Lucia yang kebetulan berada di lorong yang sama denganku. Manik kebiruannya itu menatapku dengan polos. Jujur saja, sebetulnya aku tidak terlalu tahan dengan gadis polos–senorak apapun dia, tapi kalau masih polos, cantik, dan mempunyai skill untuk menjadi istri idaman, pasti aku takkan tahan.
“Berhentilah menatapku seperti itu,” nadaku kubuat-buat sedikit dingin untuk menghindari tatapan yang bisa membuatku merasa aneh itu.
“Reiner, apa pak Christian berkata hal yang aneh kepadamu?” Aneh? Pff, bagian dari “senjata pusaka” mana yang menurutmu tidak aneh? Ah ya aku lupa kalau dia tidak ikut berbicara padanya. “Ya begitulah,” aku mengangguk singkat. “Kami membicarakan suatu hal yang tidak ada kaitannya denganmu,” ujarku lagi. Ya yang jelas dia belum boleh tau sekarang.
Dia membuka mulut kecilnya. “Membicarakan apa?” Duh, yang benar saja! Wanita yang selalu penasaran itu membuatku terganggu. Karena saat kau berpacaran dengan gadis seperti ini, ada kemungkinan dia akan mencurigaimu bahkan sebelum kau melakukan hal yang ia pikirkan.
“Aku akan memberi taumu nanti saat pulang sekolah,” ujarku. Tanpa menunggu respon darinya, aku melanjutkan tujuanku untuk berjalan ke kelas. Eh tunggu, bukannya aku mau makan ya?
“Reiner!” Dia menarik lenganku. Gah! Apa lagi sekarang? “Apa lagi? Ayolah aku mau makan!” Ya! Perut ini sudah meraung-raung meminta untuk diberi makan. “Ya aku tau kamu mau makan,” Lucia berkata dengan nada seakan dia sedikit sedih. “Karena itu, bagaimana kalau makan bersama lagi?” Saat aku menolehkan kepalaku, aku melihat pupil mata berwarna biru itu menatap mataku dalam-dalam.
“Kita baru saja melakukan hal itu kemarin malam, kau ingat?” Apapun yang terjadi, aku harus menghindari situasi seperti ini! Alasannya? Karena aku tidak mau terlibat dalam hal-hal percintaan.

***

Pada akhirnya situasi makan bersama tadi tidak bisa dihindari, ya sekarang aku berada di atas atap bersama gadis itu. Dia tampaknya bahagia sekali, bahkan sesekali aku mendengarnya bersenandung.
“Jadi apa sekarang?” Tatapan bosan dan datar itu aku lampiaskan pada gadis itu. Dia membalas menatapku dengan wajah ceria. “Tentu saja kita makan!” Serunya. Astaga.. apakah otaknya itu bodoh? Tentu saja aku tau setelah ini kita harus makan.
“Maksudku,” aku berkata dengan penekanan. “Kenapa dengan tumbennya mengajakku makan?” Tanyaku, melanjutkan ucapan. Lucia berpikir sebentar. Biasanya aku benci tapi ya apa boleh buat.
“Entahlah,” balasnya. Eh? Entahlah katamu?! Aku tidak punya waktu untuk ‘entahlah’ mu itu, dasar sial! “Yang jelas sudah lama kita tidak makan bersama,” lanjut gadis itu lagi. Lagi-lagi dia tersenyum padaku. Ah sudahlah terserah, memangnya aku peduli?

Saat sedang asik makan, aku berkata sesuatu kepada Lucia. Ya, tentang senjata pusaka itu, mau tidak mau harus kukatakan padanya. Keluarganya dan keluargaku itu sama-sama orang penting di perserikatan sihir. Bakalan repot nantinya kalau tidak diberitahu.
“Lucia,” panggilku. Dia menoleh. “Masih ingat dengan penjelasan pak Christian tadi?” Karena guru pemalas itu sudah membahas tentang senjata pusaka milik Arjun itu, aku yakin dia tau. Paling tidak, dia ingat.
“Tentang uh.. Pasu–pasu apalah itu, aku lupa,” Lucia menatapku lalu tersenyum bak anak polos. Aku—sejujurnya—mulai sedikit jijik dengan sikap yang disok moe-moe kan itu. “Berhentilah bersikap manis,” ledekku. Lucia sedikit cemberut, tapi ya sudahlah. Itu sudah kebiasannya.
“Yang jelas, senjata itu ada,” kataku. Dengan rasa tidak percaya–ya aku bisa melihat itu melalui matanya, dia tidak percaya dan berkata, “Reiner tidak bercanda kan? Bukannya seharusnya itu hilang?”
“Aku sendiri tidak percaya, tapi itulah yang terjadi,” sahutku. Yang terpenting sekarang adalah memberitahu ke keluarga masing-masing. Ya aku yakin itu yang terpenting. “Yang jelas bilang berita tentang itu pada orang tua mu, oke?”
Dia mengangguk sebagai tanda paham. Aku yakin dia paham karena anggukannya sedikit keras kali ini.

Setelah hal itu, kami sedikit berbincang-bincang dan menghabiskan makanan hingga bel membunyikan akhir dari istirahat kami.


***

[Light Novel] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 2

Fiuh akhirnya aku bisa duduk di sofa ku yang empuk ditemani dengan tv LED. “Lucia, aku ingin coklat dan kangkung untuk hari ini,” pintaku dengan datar. “Ketidaksopanan hanya berlaku pada sahabat.” Yap, itulah mottoku dalam hidup yang sesaat ini. Karena menurut pengalaman, kalau kau bertingkah tidak sopan terhadap orang yang bukan sahabat, kemungkinan mereka akan memarahimu dan yang terburuk adalah melemparimu dengan benda yang ada disamping mereka.
“Kangkung? Memangnya ada?” Lucy membalas pertanyaan dengan pertanyaan. “Tentu saja ada! Seharusnya cek dulu lemari esnya, baru bicara,” balasku dengan sarkas. Aku tidak tau gadis itu sedang melakukan apa, biasanya sih setelah aku mengejeknya, dia pasti mengembungkan pipinya lalu sok marah-marah walau pada akhirnya dia tetap saja memasakkan permintaanku. Ah beruntungnya aku.
“Kecelakaan terjadi di jalan–“ ah ini dia, berita yang teraktual. Kebanyakan berita di dunia ini mulai mengesampingkan fakta dan mencuci otak orang-orang yang menontonnya, tapi beberapa juga lebih memilih fakta dibandingkan opini. Opini itu membunuh, setidaknya itulah pendapatku tentang opini. “Woh? Akhir-akhir ini kecelakaan marak terjadi ya?” Gadis itu sepertinya ikut menonton televisi sambil memasakkan makan malam untukku dan untuknya.
“Begitulah,” balasku. Sesaat aku bergumam dalam hatiku yang masih bersih ini, “mungkin mereka beraksi lagi.” Ah aku yakin kalian bertanya-tanya siapa itu “mereka”. Karena aku tidak ingin kalian kecewa dengan label genre action dan fantasy yang tertera, aku akan menjelaskannya. Jadi “mereka” ini adalah orang-orang aneh dari dunia yang berbeda dari kita, manusia. Kebanyakan dari mereka ini tidak terlihat karena tidak ingin dilihat dan suka sekali menimbulkan kekacauan demi keuntungan semata.
Tapi mari tidak stereotype, orang tuaku bilang beberapa dari mereka itu baik dan mengontrol karena tidak ingin ada kehancuran bagi bumi pertiwi yang kita cintai ini. Tapi, karena aku belum pernah bertemu makhluk dengan sifat positif ini, aku takkan berpikir demikian. Nama ras dari “mereka” adalah “Demolish” yang artinya jika diartikan ke bahasa kita adalah memusnahkan, menghancurkan dan–kalian bisa mencari di giggle kalau kalian mau tau lebih banyak tentang terjemahan dari kata itu.
“Dan sudah jadi!” Lucia berteriak lagi, tidak terlalu kencang tapi tetap saja kencang. Saat aku membalikkan badan untuk melihat meja makan itu, bau dari sayur kangkung favoritku itu sudah tercium. Di meja makan itu sudah dipenuhi dengan sayuran kangkung, nasi, coklat juga hidangan penutup seperti buah-buahan. Sudah cantik, pintar dalam hal memasak pula. Benar-benar istri idaman, sayangnya norak.
“Akhirnya,” sahutku saat berlari kearah meja makan untuk mencicipi sayuran itu–tentu saja menggunakan tangan. “Hei!” Gadis itu berteriak sambil memukul tanganku. “Jangan asal ambil!” Katanya. “Kalau kau mengambil, berarti kau yang memimpin doa!” Ah ya, itu sudah tradisi antar keluarga kami, yang mengambil makanan terlebih dahulu, dialah yang harus memimpin doa. “Bukannya hampir setiap kau memasak, aku yang memimpin?” Aku membalas argumen milik Lucy guna mempertahankan diri. Oh ayolah, hampir setiap saat aku yang memimpin doa.
“Itu karena kau ini laki-laki,” tuturnya sambil menjulurkan lidahnya yang mungil. Ugh.. lagi-lagi sensasi moe. Baiklah cukup, sambil aku akan memimpin doa, aku—sebagai sang narator dan tokoh utama—akan menjelaskan beberapa hal tentang keluargaku dan keluarga Lucia.

Reiner, ya itulah keluarga dengan kekuatan sihir terbesar yang pernah ada di kota ini, bersama the ‘First’ sebagai partner dan penyeimbang, keluarga kami menjaga keseimbangan kota ini. Keluargaku–yaitu Reiner (dan itu adalah nama depanku) adalah keluarga dengan generasi turun temurun dimulai dari Yunani. Entah kapan permulaannya tapi yang jelas semuanya dimulai dari kota pemuja dewa Zeus, Poseidon dan Hades itu. Ayahku adalah seorang magus yang luarbiasa jenius, ibuku tidak terlalu jenius tapi instingnya luar biasa. Dan menurut kalian apa yang terjadi saat dua orang itu bertemu lalu mempunyai keturunan? Yang dihasilkan hanyalah bocah yang mudah bosan dan tidak terlalu tertarik dengan apa yang dunia ini lakukan–yaitu aku. Diantara semua generasi keluargaku, ada satu orang yang tidak mempunyai kekuatan sihir yang bagus. Yang aku tahu–berdasarkan buku di perpustakaan pribadi milik keluargaku–orang itu adalah satu-satunya orang yang bisanya menghisap sampel dari sihir orang lain lalu menyalinnya dan menjadikannya sebagai kekuatan utama. Orang-orang dari perserikatan sihir lebih suka menyebutnya sebagai “absorption”.
Kabarnya ada dua orang di dunia ini yang dipilih dan sanggup untuk menguasai dan menggunakan kekuatan itu hingga tahap akhirnya. Konon katanya orang-orang ini mampu menyerap nyawa, manna (nama tenaga dalam milik seorang magus) juga menyalin serangan musuh tanpa harus menyentuh musuh itu sendiri. Salah satu dari mereka adalah pahlawan Yunani yang cukup terkenal–anggota keluargaku dan yang lain itu tidak terlalu diketahui kabarnya, latar belakangnya, atau bagian dari keluarga mana. Sedangkan keluarga dari Lucy, yaitu the ‘First’ adalah keluarga pertama yang berhasil menguasai seni sihir netralisir. Bisa dibilang sihir ini mampu untuk menetralisir sihir lain dan kekuatan ilahi lainnya. Keluarga ini lahir di Jepang dan beberapa dari anggota keluarga ini mengenakan cincin bernama “Imagine Breaker Ring” untuk menetralisir kekuatan ilahi itu. Karena tidak semua dari anggota keluarga the ‘First’ mampu menegate (sebutan lain untuk menetralisir) tanpa bantuan dari kekuatan yang kekal, jadi mereka menggunakan cincin itu.
Dan itulah dia akhir dari penjelasanku tentang keluargaku dan wanita norak tadi itu. “Hmm..” Sesekali aku melirik kearah Lucia. “Rasanya enak, seperti biasanya,” ujarku padanya. Lucia sepertinya tidak mendengarku, ah sudahlah biarkan saja. Lalu mungkin kalian bertanya-tanya tentang keseimbangan apa yang kubicarakan itu, ya bisa dibilang beberapa dari kami membasmi kaum Demolish itu. Karena menurut mereka manusia itu lemah, bodoh dan tidak mempunyai kekuatan apa-apa. “Reiner Reiner!” Lucia tiba-tiba memanggilku. Ya aku sedikit terkejut karena saat aku berbicara dengan kalian, pasti aku akan terlihat seperti melamun. “Hmm?” Aku hanya melirik singkat padanya. Ada dua kemungkinan kenapa Lucia memanggilku saat sedang makan. Yang pertama karena dia sedang membingungkan sesuatu dan yang kedua karena dia sedang membahas orang lain–yang artinya bergosip.
“Apa kau tau tentang anak dari kelas sebelah itu?” Lucia tampaknya bahagia sekali membicarakan orang lain, entah apa yang salah dengan kepalanya itu. “Mereka bilang anak itu sangat keren dan berwajah ganteng lho,” lanjutnya lagi. Saat dikelas, aku memang tidak terlalu aktif dalam hal bergaul, ya kalian boleh menyebutku anti-sosial tapi aku bukan salah satu dari mereka yang mengaku-ngaku anti-sosial. “Hmm, begitu ya?” Tentu saja aku hanya menjawab dengan malas. Siapa yang peduli?
Lagi-lagi Lucia menatapku dengan tatapan tidak suka miliknya yang khas. Sebenarnya tidak terlalu khas karena dia menirukan heroine heroine di kartun Jepang itu. “Berhentilah bicara, aku sedang mencoba menikmati makananku,” tuturku. Jujur saja, aku lebih suka makan sambil membaca berita di internet daripada membahas tentang orang lain yang bahkan aku tidak tau siapa namanya. Ya itu tidak penting dan bahkan tidak berhubungan dengan cerita ini.

Jarum jam sudah menunjukkan angka 10 yang artinya sudah malam dan seharusnya aku sudah tidur. Lucia sudah pulang dan yang tersisa hanyalah beres-beres sedikit. “Merepotkan seperti biasanya,” ucapku seraya berjalan ke kamar. “Mereka takkan pulang lagi ya malam ini?” Orang tua ku terbiasa tidak pulang dikarenakan urusan mereka dengan serikat sihir. Ya untunglah sang dewa sudah mengirimiku maid serba guna yang bisa kupakai sepuasnya. Tentu saja bukan untuk hal mesum.
Alasan yang pasti kenapa orang tuaku selalu mendapat urusan dengan serikat sihir adalah karena mereka itu orang penting disana dan mereka sudah mendapat wilayah tersendiri untuk dijaga, yaitu kota ini. Kota dimana aku, Lucia tinggal. Tidak terlalu merepotkan tapi banyak hal yang mudah membuatmu membosankan, jujur saja.


***

Sementara itu di tempat lain, tampak dua orang misterius saling berbicara satu sama lain. Seperti sebuah negoisasi atau pertukaran barang ‘gelap’. “Kau sudah dapat barangnya?” Ujar pria pertama. Anggukkan kecil ditunjukkan oleh lawan bicaranya. “Kudengar mereka sedang tidak ada di kota dan kudengar senjata dewa juga sudah ditemukkan lokasinya,” lanjut pria pertama. Mereka membicarakan hal-hal sakti seperti senjata dewa yang artinya mereka bukanlah manusia biasa. Kaum penghancur yang suka menghancurkan apa saja demi hiburan semata, ya itulah mereka sang Demolish yang suka menjunjung tinggi kaumnya sendiri dan meremehkan kaum lain. Bahkan dewa pun sempat diremehkan oleh mereka.
“Pasupasatra sudah ditemukan dan itu berada di negeri payah bernama Indonesia,” jelas orang itu. Untuk informasi kalian, Indonesia adalah negara yang terkenal karena banyaknya pulau-pulau dan juga budayanya. Yang paling terkenal di sana adalah perwayangannya–setidaknya itulah yang aku sukai. Cerita perwayangan disana diadaptasi dari agama Hindu di India lalu dimodifikasi sendiri, untuk lebih lanjut kalian bisa menontonnya sendiri.
Indonesia ya? Bukannya keturunan dari anak Bima ada disana?” Pria pertama itu menjawab dengan santainya. Anak dari Bima yang dimaksudkan oleh pria besar tadi itu bisa dibilang Gatotkaca beserta kedua saudara laki-lakinya. “Maksudmu orang yang terkenal karena otot kawan dan tulang besi itu disana?” Raut wajah sedikit takutpun  dikeluarkan oleh temannya. “L-lalu bagaimana kita bisa mengambilnya?!” Tentu saja mereka takut. Demolish sudah ada di dunia ini sejak berabad-abad yang lalu, dari jaman awal bumi diciptakan hingga era modern ini. Aku—sang narator—tidak terlalu tau pasti tentang alasan kenapa mereka ada di dunia ini, yang jelas mereka ada dan sudah ada.
“Jangan remehkan kaum Demolish yang sekarang,” seru orang baru yang tampaknya memasuki tempat yang gelap itu. Langkah boot miliknya terdengar saat orang itu berjalan dan menunjukkan wajahnya dari balik kegelapan. “Kita sudah menjadi kuat kan? Aku  yakin anak Bima tidak akan bisa melukai kita,” ujar orang itu dengan sombong. “T-tapi tetap saja kita selalu kalah!” Pria bertubuh besar yang penakut tadi itu pun membalas dengan suara sedikit lantang walaupun ketakutan masih bisa dirasakan disetiap suaranya yang menggema itu.
Seringaian anehpun keluar. “Heh? Kita bisa mencurinya tanpa harus diketahui oleh orang itu,” sejak dulu, putra dari Bima ini sudah bisa merasakan seorang Demolish dari jarak yang tergolong jauh sekali. Mereka tidak bisa merasakannya tapi dia bisa merasakan mereka. Sangat bertolak belakang, karena itu kebanyakan dari kaum Demolish sendiri takut akan dia yang dianggap putra Bima. “Kita tau keturunan orang itu tak mungkin sehebat leluhurnya.”
“Kau benar, mungkin saja dia sudah melemah sekarang, Indonesia sendiri sudah terlalu banyak menceritakan kita,” ujar pria pertama itu, tampak mulai memberanikan dirinya. Seringaian yang menggambarkan akan adanya ide jahat itu pun timbul di wajah mereka bertiga, sepertinya kaum mereka sendiri sudah mempersiapkan banyak hal untuk mencuri panah legendaris itu.
“Kita tinggal menunggu bos memberi perintah regional,” imbuhnya. Demolish itu ada dan sudah ada, artinya jumlah mereka tergolong sangat banyak–meskipun tidak sebanyak manusia. Ada kemungkinan mereka tersebar di berbagai negara layaknya organisasi gelap yang mempunyai daya pengaruh konspirasi besar terhadap dunia. Bedanya disini, mereka tidak berkonspirasi. Mereka hanya suka menguasai dunia dengan membuat manusia dibawah kaki mereka.

***

Minggu, 25 Januari 2015

[Light Nove] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 1
“Hei!” Malam itu, seseorang menyerukan sesuatu padaku yang tengah tertidur. “Bangunlah! Kau tidak ingin ada nyamuk yang menggigitmu kan?” Ugh, suaranya terlalu lantang bahkan bisa mengganggu tidurku yang nyenyak ini. Dengan perlahan, aku membuka mataku dan aku menemukan gadis itu tepat diatas kepalaku–tentu saja jaraknya tidak terlalu dekat, hati-hati dengan pikiran kalian!

“Nah bagus seperti itu,” ucap perempuan itu. Tch, siapa sih orang ini? Eh tunggu.. “Reiner!” Teriakan yang cukup memekakan­­­­­­. Mataku langsung terbelalak saja menatap gadis itu. Gadis yang sedikit norak, ceroboh juga bodoh—ya tapi tetap saja dia itu teman masa kecilku. “Berhentilah berteriak!” Seru ku, dengan cepatnya aku bangun dan menemukan sudah tertidur di rerumputan dekat sungai—tempat favoritku. “A-ah.. Sudah berapa lama aku tertidur?” Tanyaku padanya. Ah tentu aku lupa memperkenalkan diriku.
Namaku Reiner, ya tapi teman-teman sekelasku lebih suka memanggilku dengan sebutan “Rainy”. Mungkin mereka menyamakanku dengan hujan dalam bahasa inggris.
“Sudah puas melamunnya?” Dengan pupil mata berwarna biru langit itu dia menatapku. “Re-i-ner,” gah, baiklah dia mengeja seakan aku ini pasangan hidupnya. Ngomong-ngomong, gadis itu bernama Lucia First. Kenapa namanya Lucia ‘Pertama’? Jangan tanyakan padaku, lebih baik kau menanyakan langsung kepada dua orang yang “membuat” wanita berisik ini.

“Ingatlah kita ini bukan sepasang kekasih dan ya, aku sudah puas melamun,” jawabku langsung. Kenapa sebelumnya aku berada disini? Semua berawal dari pulang sekolah tadi—kita akan memundurkan waktu. Sekitar pukul 3 sore setelah semua pelajaran selesai dan ya, murid-murid gembira karena bisa pulang (itu kebiasaan). Hari itu adalah hari senin­­­, hari yang cukup menakutkan bagi kami—kaum pelajar. Disaat pulang sekolah biasanya aku selalu pulang bersama wanita yang tadi berisik sampai membuat telingaku hampir pecah itu. Aku berjalan menuruni tangga ke lantai pertama bersama gadis itu, karena ya kelasku berada di lantai dua dan itu melelahkan.
“Rainy!” Seseorang memanggilku saat aku hendak keluar dari gedung yang cukup megah itu. “Ha?” Dipanggil Rainy setiap hari itu sedikit merepotkan, terutama saat musim hujan. Mengerti? Musim hujan? Baiklah ayo lanjut saja.
“Besok itu kan pelajaran guru killer..,” dengan sedikit malu-malu—wait what!? Y-ya dia memang tidak terlihat seperti malu karena suka atau lainnya, lebih tepatnya dia seperti hendak meminta bantuan–ya semacam itu. “Dan Pr ku belum selesai, jadi besok bisa kupinjam catatanmu?” Pinta pria itu. Ya inilah dia orang-orang di kelasku, selalu ada saat membutuhkan saja.

Aku hanya memberikan anggukkan malas saja lalu berjalan pulang tanpa menghiraukan reaksi atau jawabannya. Pfft, persetan. Sedangkan Lucia–biasa dipanggil Lucy atau ‘Pertama(x)’ sebagai ejekkan–tampak tersenyum kecil dengan pria itu lalu mengejarku. Ya mungkin dia suka dengan orang itu, ma bodo amat.
“Hei Reiner, bukannya kau seharusnya sedikit lebih ramah?” Lucy berkata seperti itu padaku, dia menekankan kata “ramah” dan “sedikit”, ngah aku yakin ini sebuah ejekkan.
“Apa ini? Aku tak percaya gadis norak sepertimu menghinaku yang tampan ini,” helaan nafas dan ucapan sarkastikku saling beriringan. Mungkin kalian takkan percaya tapi aku ini selalu bisa mendapatkan pacar hanya dengan sekali tembak. Mereka bilang aku ini pro, ya baiklah itu bukanlah masalah.

Akhirnya sampai, pemandangan yang indah ditambah pantulan cahaya matahari yang hendak tenggelam itu mewarnai beningnya sungai di bawah jembatan itu. “Nikmatnya hidup,” gumamku saat menikmati hembusan-hembusan angin. Disinilah aku merasa bisa rileks dari segala beban hidupku yang menyusahkan–termasuk gadis tadi. Lucia tampak menatapku dan tersenyum disaat bersamaan. ‘Ha? Berhentilah tersenyum seakan kau menyukaiku,” ledekku langsung dan ya.., senyuman tadi itu berubah menjadi hawa yang sedikit ‘menyeramkan’/ “H-ha?!” Balasnya dengan teriak.
“Jangan seenaknya berkata begitu hanya karena kita teman kecil!” Yap, wanita itu memang marah.
Setelah sedikit beradu mulut tadi, aku dan gadis itu duduk di tepi sungai. Dia memandangi sungai sedangkan aku bermain dengan ponsel pintarku itu. Haha, tak ada di dunia ini yang mampu memodifikasinya seperti aku. Ya bukannya aku sombong tapi–“Reiner?” Gadis itu memanggilku sebelum aku menyelesaikan kalimatku tadi, tch. “Kenapa tiba-tiba kau tersenyum sendiri?” Lanjutnya lagi. Aku membuang muka lalu berkata, “bukan urusanmu,” acuh tak acuh aku berkata seperti itu. Dia hanya memasang tampang bingung—atau biasa disebut tampang bego oleh orang-orang.
Beberapa menit setelah itu, gadis itu membuka mulutnya. “Reiner, pak Randy kemarin memberikan tugas kan?” Ujarnya. Dengan sikap sok sibukku, aku mengangguk dan berkata iya kepadanya. “Memangnya kenapa?” Lanjutku, masih sok sibuk dengan ponsel touch screen milikku.
“Tugas itu tentang panah terkuat di dunia kan?” Eh tunggu, benarkah? “Hmm?” Manik berwarna coklat milikku itu hanya menatap Lucia sesaat. Tatapan bingung pun terpancarkan dari wajahku. “Benarhkah?” Kataku.
“Eh? R-reiner tidak ingat!?” Ekspresi terkejut yang-sedikit-atau-bisa-disebut-berlebihan itu keluar. Hal kedua yang harus kalian ketahui tentang Lucia, dia terlalu banyak menonton kartun Jepang.
“Kalau tidak salah namanya Pasu..uh..,” dia bahkan tidak ingat, memalukkan. “Yang jelas itu panah Arjuna kan?” Sahutku langsung tanpa peduli dia mau menyelesaikan kalimatnya atau tidak. “Orang-orang memang berkata itu adalah panah terkuat di dunia,” tuturku saat selesai bermain dengan gadget.

“Yang jelas, namanya adalah pasupasatra atau pasopati untuk singkatnya,” aku menjelaskan kepada gadis itu dengan nada santai. Hahaha, senjata-senjata mitos seperti itu ya tentu saja aku mempunyai pengetahuan yang cukup. Menurut agama Hindu, panah itu adalah pemberian dari sang Mahadewa yaitu dewa Syiwa sang penghancur. Pemiliknya tidak lain adalah Arjuna. Menjelaskan hal seperti ini kepada Lucia adalah tugasku dari kecil hingga sekarang. “….Arjuna memiliki panah ini karena meditasinya,” itulah akhir dari penjelasanku kepada sang gadis. Dia hanya mengangguk-angguk seakan mengerti apa yang aku katakan–walaupun aku tidak yakin dia mengerti.
Setelah semuanya selesai, aku membaringkan tubuhku yang ramping ini ke tanah yang berumput. Ah lagi-lagi hembusan angina menyerangku dan tempat itu dengan lembut, benar-benar menyenangkan. Membuatku merasa mengantuk. Aku tak tau dengan Lucia, yang jelas mataku menutup dengan sendirinya.
Dan setelah itu, disinilah kita sekarang, dimana matahari sudah tenggelam dan aku dibangunkan oleh gadis norak tadi dan ya masih berada di tepi sungai itu.
“Reiner!!” Lucia lagi-lagi berteriak tepat di dekat telingaku. “Lagi-lagi! Kau tersenyum sendiri dan melamun!” Serunya lagi, belum puas untuk menghancurkan telingaku. “Maaf-maaf!” Balasku langsung. Sudah dua kali telingaku dibuat sakit untuk hari ini, aku tidak ingin merasakan yang ketiga kali. Tentu saja tidak mau! Siapa yang mau merasakan hal seperti itu?!
“Dan berhentilah berteriak!” Teriakku lagi. Gadis yang menyusahkan, pikirku. Helaan nafas karena lelahpun aku keluarkan, kalau saja dia tidak cantik pasti sudah aku jauhi. “Reiner, ini sudah larut, bagaimana kalau pulang?” Apa ini? Sesaat ekspresinya mengeluarkan semacam aura manis dan cantik yang bercampur-aduk menjadi satu. Inikah yang dinamakan moe dari negeri sakura itu? Eh tunggu, apa yang kubicarakan?
Dengan senyuman santai, aku mengangguk dan berdiri. “Baiklah baiklah, ayo pulang,” ucapku menuruti keinginannya. Lucia tampak senang karena aku menyetujui permintaannya lalu dia berdiri menyusulku. “Ya walaupun orang tuaku belum pulang, bagaimana kalau membantuku memasak?” Kataku, melanjutkan. Karena kami adalah teman dari kecil yang artinya kami selalu bersama dan bisa dibilang rumah kami bersebelahan, jadi Lucia–atau Lucy untuk singkatnya–sering membantuku membuatkan makanan saat orang tua kami tidak ada. Ya walaupun aku terlihat lebih sering duduk di sofa dan menonton tv sedangkan dia memasak layaknya seorang maid dan master. Eh tunggu, ini tidak ambigu kan? Menurutku sih normal kecuali pikiranmu buruk dan mesum.

***

Selasa, 02 Desember 2014

[Light Novel] Syndrom Diary Chapter 1

“Hoi kau yang disana!” Seru seseorang. Suara itu membuyarkan lamunanku dalam tidur yang nyenyak di padang rumput milik sekolah. Dan saat aku membuka mata, tiba-tiba saja sebuah bola kasti terlempar ke arahku ya lebih tepatnya mendarat tepat di wajah tampanku.
Ah tunggu-tunggu, bukan prolog seperti ini yang kuinginkan, tapi apa boleh buat, semuanya sudah terlambat..

“Ugh.. Dimana ini?” Saat aku membuka mata, aku melihat tempat yang berbeda dari sebelumnya, ya yang kuingat sebelumnya aku sedang tertidur di padang rumput yang nyaman, dan sekarang kutemukan diriku berada di atas kasur empuk. Kurasa ini milik sekolah.

“Ah sudah sadar rupanya,” saat aku menoleh ke asal suara, aku melihat seorang wanita dewasa dengan pakaian seperti seorang pegawai UKS. Ah ya aku lupa, ternyata dia memang suster yang berada di dalam UKS.

“Jadi bagaimana perasaanmu? Sudah baikkan?” Tanyanya. Perlahan-lahan aku berusaha mengingat. Ah ya tentu saja, aku pingsan karena terkena bola kasti tadi, dasar pemain kasti bodoh!

“Kau tertidur cukup lama sekali,” lanjut suster itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. “Bola kasti tadi pasti benar-benar menyakitkan ya?”
Aku tidak menjawab, malahan aku hanya diam dan berusaha mengingat kembali tentang khayalanku yang tadi. Ah rasanya otakku benar-benar berhenti bekerja.

Kepalaku benar-benar sakit, saat aku berusaha menyentuh dahiku, aku merasakan sebuah perban yang diikatkan di kepalaku. Untung saja tidak sampai benjol.
“Ini benar-benar sakit, sus,” kataku sambil memegangi kepala yang diperban ini. Aku berusaha untuk turun dari kasur itu. Ya kurasa keseimbangan tubuhku sudah mulai membaik. Saat itu aku berjalan menuju arah cermin dan.. tunggu, sepertinya terlihat keren dengan perban ini, ya seakan aku baru saja melakukan sebuah pertarungan dan terkena cidera yang berat pada kepala sampai menyebabkan lupa ingatan.

“Fufu, aku adalah peraturan!” Teriakku dalam hati sambil bergaya di depan cermin. Siluet bayangan yang tampak jahat itu berada di belakangku, aku baru menyadarinya saat aku melihat kembali kearah cermin. Agh aku lupa itu adalah suster!

“Hei hei, kau seharusnya kembali ke kelasmu kan?” Nadanya terdengar jahat dan yang paling parah, dia melihatku saat aku melakukan pose sok keren tadi!

“Agh apa yang harus kulakukan?!” Batinku, bingung mencari jalan keluar. Ah itu dia! Jalan keluar! Akupun segera melangkah keluar dari tempat ini. Dengan membungkuk sebagai hormatku dan salam terakhirku, aku langsung berlari kearah pintu dengan keadaan canggung.

Fiuh, untunglah ada yang namanya pintu keluar. Ya sekarang nafasku kembali teratur dan daripada berlari, lebih baik jalan saja bukan?
Sambil menyusuri koridor, aku menemukan sebuah tangga menuju atas. Jangan mengira tangga ini menuju ke surga. Tangga ini tentu saja menuju ke lantai atas di dalam bangunan ini, tapi mungkin akan lebih baik jika tangga ini mengarah ke surga langsung.

Dengan langkah tanpa suara, aku berjalan menyusuri tangga itu dan menemukkan diriku sudah di lantai dua, ah ya sekarang waktunya berjalan ke kelasku. Peristiwa memalukkan seperti tadi itu memang harus dilupakan dan menuju pada awal yang baru. Terdengar keren bukan? Sesampainya di depan pintu kelas milikku, aku melihat dari balik jendela, kelasku ternyata tampak ribut juga ya, kegaduhan dimana-mana. Untung saja gurunya sedang tidak ada—atau mungkin belum datang—ya dengan kerennya aku membuka pintu dan melangkah masuk.

Haha, mereka sepertinya terlalu fokus terhadap perban yang melilit kepalaku ini, aku tau ini pasti keren!
“Woh, kau sudah kembali? Pingsanmu itu lama juga ya,” kata salah satu dari mereka. Eh tunggu, pingsanku lama? Memangnya aku sudah melewatkan berapa mata pelajaran?

“Ya itu benar, dia bahkan terlalu beruntung karena melewati guru killer itu. Dan sekarang malah akan segera pulang. Benar-benar beruntung,” Sahut orang di sebelahnya dengan anggukkan setuju dibarengi keluh kesah. Ya sepertinya aku memang beruntung kali ini, pingsan ini membuatku lolos dari hari penghakiman. Tapi tunggu, aku bahkan tidak ingat pelajaran apa hari ini.

Saat aku berjalan dan duduk di bangku ku, aku merasa seperti ada seseorang yang menyentuhku dengan benda yang keras dari belakang. Mungkin sebuah pulpen, aku juga mendengar suara bisikkan.

“Psst!” Dan lagi, pulpen itu menyentuh punggungku dibarengi suara itu. Aku terpaksa menoleh kearah belakang, ya disitu adalah teman kelasku atau lebih tepatnya sahabat karibku sejak SD.

“Ha?” Ucapku. Dia kemudian tersenyum lalu menunjukkan beberapa kartu remi, kalian tau kan kartu remi? Yang biasanya dibuat bermain poker atau permainan kartu lainnya.
“Aku sudah mempelajari teknik itu,” Katanya dengan bangga. Ah sebelumnya aku ingin memberi tau, sebenarnya aku ini seorang magician tingkat pemula dan masih belajar bersama dengan tema—sahabatku ini.

“Benarkah?” Tanyaku dengan tampang tidak percaya. Yah, karena aku yang pertama kali menguasainya dan dia kedua, hanya saja dia lebih jago daripada aku.

“Tentu saja!” Serunya dengan pelan, dia kemudian menunjukkan beberapa triknya. Trik yang mudah tentunya.
“Psst!” Lagi-lagi ada yang mencoba memanggilku, itu adalah seseorang di bangku sebelah sahabatku ini. Dia adalah orang yang tampak seperti seorang nerd tapi dengan pikiran yang luar biasa dan juga mesum.

Aku dan sahabatku ini langsung menoleh kearahnya.

“Jadi bagaimana rasanya terkena bola kasti yang keras itu?” Tanya orang itu dengan senyuman yang terkesan meledek, menempel di wajahnya. Rasanya benar-benar ingin kutonjok lalu kubakar.

Aku hanya tersenyum dan membalas, “mantap bro, lain kali kau harus mencobanya,” canda ku. Ya di jam kosong ini memang kelasku selalu gaduh terutama sekitar bangku milikku. Bangku-bangku itu terisi dengan orang-orang bajingan yang selalu bercanda di pelajaran apapun, aku selalu menikmatinya bersama mereka.

Sesaat setelah aku berbicara dengan kedua orang tadi, aku fokus kembali menghadap depan dan melihat kearah jendela yang terdapat tepat di samping kiriku itu. Jendela yang mengarah kearah luar, yang disebut sebagai jendela kebebasan. Terkadang aku berpikir seperti itu karena aku terlalu malas untuk pergi ke sekolah, terutama saat jam kosong. Padahal menurutku lebih baik kita tidur saja di rumah, lebih terasa nyaman apalagi saat musim dingin.

“Psst! Daripada bengong, bagaimana jika bermain kartu remi?” Ajakan dari pria tadi yang sebelumnya menanyaiku tentang rasanya terkena bola kasti itu muncul. Menurutku sih bukan ide yang buruk, karena ini mulai terasa membosankan. Ajakkan tadi sebenarnya adalah bom pemicu, karena saat pria tadi mengajak untuk melakukan sesuatu, maka orang-orang disekitarku pasti akan menggila dan ikut bermain—termasuk aku tentunya.

Pertama orang di depanku, dia menoleh ke belakang atau lebih tepatnya melihat pria di meja belakang dan mengangguk, kemudian disusul oleh bangku sebelah, dia juga ingin ikut lalu depannya juga, begitu juga dengan sahabatku. Jadi jika dihitung, orang-orang yang termasuk bajingan sejati dan provokator utama di kelas ada… empat orang—maksudku lima ditambah aku.

Kami bermain sebuah permainan kartu yang dinamakan polisi dan maling. Dengan kartu berjumlah lima yang diantaranya terdapat sang ratu, raja, angka biasa dan kartu as. Biar kujelaskan terlebih dahulu, kartu ratu atau raja mempunyai peran sebagai polisi. Sedangkan as mempunyai peran sebagai malingnya. Sedangkan angka biasa merupakan warga biasa. Dan cara bermainnya termasuk mudah, karena yang mempunyai peran sebagai polisi harus peka terhadap lingkungannya. Kenapa? Karena seorang maling memberikan kode kepada warga biasa yang artinya warga itu harus membuka kartunya.
Dan seorang polisi tidak boleh sampai salah menuduh atau dia kalah dan keluar dari permainan.

“Baiklah, bagaimana jika ditambahi hukuman?” Imbuhnya dengan tatapan menantang. Biasanya kami tidak melakukan ini, namun berhubung sedang jam kosong, mungkin akan terlihat lebih menantang dan lebih seru jika menambahkan hukuman.

“Yang kalah harus melakukan tarian pole dance di situ!” Dia menunjuk kearah tiang bendera yang tidak terlalu tinggi itu. Jika terlalu tinggi, tentu saja akan menabrak langit-langit kelasku.

“Bagaimana? Matthew, Jossy, Frank dan kau? Apa kalian berani?” Tantangnya.

Ah ya aku lupa memperkenalkan teman-temanku, Frank adalah orang yang duduk disebelahku, dia merupakan orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya, dia memiliki aura mesum dan tingkat kebajingan yang luar biasa.
Kemudian Jossy, dia duduk tepat di depan Frank. Menurut kabar yang aku dengar dari kelasku, dia adalah anak dari seorang guru yang ada di sekolah ini. Ya meskipun dia tidak pernah menceritakan lebih detailnya. Dia juga termasuk kawanku sejak SD, hanya saja kami tidak begitu dekat. Dan yang terakhir adalah Matthew, sahabatku semenjak kelas 5 SD, ya kami bersahabat begitu lama sampai sekarang. Otaknya benar-benar cerdas dan terkadang dia selalu berpura-pura seperti orang bodoh untuk merahasiakannya. Di kelas, dia dijuluki sebagai orang yang pintar membuat lelucon.

Lalu provokator utamanya adalah temanku bernama Vincent. Tidak banyak yang ku ketahui tentangnya, karena dia adalah murid pindahan. Namun semenjak pertengahan semester ini, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Tentu saja sebagai bajingan nomer satu di kelas.

Kami pun melanjutkan permainan, teman-temanku tampak benar-benar baik soal memasang pokerface nya. Sampai akhirnya seseorang menyikutku dengan siku nya. Benar-benar bodoh, dia memberikan sinyal kepada seorang polisi. Pfft, ah ini hampir membuatku tertawa.
Aku membayangkan bahwa orang itu sudah berada dalam genggamanku. Dan seketika itu aku langsung membuka kartuku, lalu menunjuknya sebagai seorang maling.

“Kau memberikan sinyal yang salah, huahaha. Seorang pahlawan tidak akan bisa dikalahkan!” Seruku penuh dengan semangat. Yang memberikan sinyal yang salah itu adalah Vincent. Wajahnya sekilas menggambarkan seorang yang menyesal karena memberi sinyal yang salah, tapi setelah itu berubah dengan cepat.

“Tak masalah, aku akan melakukannya!” Serunya layaknya seseorang yang mengalah. Astaga, padahal dia ini kalah tapi malah membuat seakan dia ini pahlawan yang sengaja mengalah demi kebaikan bersama.
Dia melangkahkan kakinya menuju ke depan, lalu dia menuju kearah tiang bendera yang letaknya tepat berada di sebelah papan tulis.

Ah aku dan teman-temanku ini tidak bisa menahan tawa. Terutama saat dia mulai menggoyangkan pinggulnya.
Matthew pun berteriak, “Hoi! Lihat di depan, ada seseorang yang sedang menarikan sesuatu!” Teriakkan yang menimbulkan seluruh kelas berhenti melakukan aktivitas mereka lalu langsung melihat ke depan. Ya untungnya laki-laki nerd itu membelakangi mereka sehingga dia tidak sadar—atau mungkin masa bodoh—dia masih terlihat melakukan tarian itu, malah seperti menikmatinya. Ah entahlah, seorang bajingan seperti dia mungkin sengaja memancing lelucon di kelas.

Beberapa diantara anak-anak di kelas tertawa, terutama laki-laki, yang perempuan tampak bingung akan apa yang dilakukan oleh nerd itu. Ya setelah itu dia berhenti lalu kembali ke bangku nya. Seluruh mata sedang memperhatikkannya tapi dia tampak tidak peduli.

“Baiklah ayo kita lanjutkan lagi,” ujarnya seraya duduk di kursi miliknya. Sang Bandarpun membagikan kartunya. Murid-murid yang tadi menghentikan aktivitasnya kini tampak kembali melanjutkan.

Aku sedikit tersenyum karena tadi, ah betapa bodohnya tingkah orang-orang ini. Lalu saat aku mengambil kartu itu.. Ah ternyata Queen! Pergantian peran ya?
Mataku mulai bergerak untuk memperhatikkan suasana yang hening diantara kami berlima.
Aku yakin Jossy bukanlah seorang polisi, aku mengedipkan mataku layaknya seorang wanita dan dia membalas dengan senyuman seperti menahan tawa lalu membuka kartunya.
“Buahaha!” Tawanya meledak saat membuka kartu, hmm mungkin dia melihat aku ini konyol karena kedipan mata genit tadi, ah sudahlah siapa yang peduli dengan itu?


Saat aku kembali meninjau keadaan, aku mendengar suara langkah kaki mengarah kearah bangku kami, dan ternyata benar, dia menepuk bahuku dan bahu milik Vincent kemudian berseru, “Hoi! Ikutan dong.” Suara yang lembut yang dimilikinya layaknya seorang gadis, ah tunggu dia memang seorang gadis. Karena sedikit terkejut, kami menatapnya. Kemudian tatapan  itu berubah menjadi senyuman konyol dan mungkin terlihat seperti senyuman mesum. Kami melihat ke satu sama lain, mungkin saja memiliki ide yang sama.

Kamis, 27 November 2014

The Story Chapter 7

THE STORY CHAPTER 7 : Lost And Found (Bagian 1)
Di suatu tempat antah berantah, ledakan terjadi dari dalam sebuah goa. Asap yang mengepul-ngepul, menutupi terangnya cahaya bulan.
"Pak, kami menemukan sesuatu!" Teriak seseorang dengan tegasnya. Diikuti dengan sebuah kilauan emas yang menyala dari dalam goa. Prajurit yang lain tiba-tiba menghampiri sumber cahaya itu.
"Kerja bagus kapten. Dengan cepat kau menemukannya ya," puji seseorang yang terlihat sedang mengawasi prajurit-prajurit yang sedang bekerja, mencari sesuatu.
"Haha, dengan bantuan teknologi dan pendanaan darimu. Tentu saja ini bekerja dengan cepat," balasnya. Mereka berdua pun berjalan memasuki goa yang bersinar itu. Dan saat di dalam, mereka mendapati sebuah artefak keemasan berbentuk seperti lingkaran dengan simbol-simbol yang tidak mereka mengerti. "Jadi.. inikah artefak yang menyelamatkan pulau ini dari kehancuran?" Pria itu mengambil benda tersebut dan mengangkatnya setinggi kepalanya. Memandanginya dengan rasa bangga.
"Kita memang menemukannya, tapi masih ada empat lagi yang harus ditemukan," kata pria paruh baya itu.
"Kau benar kapten. Kalau begitu, orang itu pasti akan memberitahu kita," balasnya. "Lalu, kita bisa menggunakannya untuk menguasai pulau ini beserta teknologinya," lanjutnya dengan gumaman. Pandangannya sedikit berubah saat itu, terlihat seperti orang yang sangat ambisius.

Di tempat lain, Nathaniel dan Dino beserta Lind sedang menuju ke suatu tempat, melewati keramaian kota. "Tunggu, kita mau kemana?" Tanya Nathaniel seraya memandangi kota lewat jendela mobil.
Dino pun membalas dengan santai sambil menyetir. "Markas kita, tapi pertama kita pergi ke tempat Lind dan aku tinggal."
"Dengan kata lain, rumahku," Sahut Lind dengan malas. Perjalanannya kira-kira memakan waktu selama setengah jam.
Sesampainya mereka disana, Nathaniel tampak terkejut dengan rumah yang sangat-sangat megah berada tepat di depannya. Antara percaya tidak percaya, tapi inilah rumah dari salah satu keluarga penguasa pulau ini.
"J-jadi.. ini rumah kalian?!" Tanya Nathaniel.
"Tentu saja ini rumahku," sahut Lind dengan santainya. "Kau pikir kami akan tinggal dimana? Bawah jembatan?"
"Haha, memang sedikit mengejutkan ya? Tapi ini merupakan peninggalan," ujar Dino.
Tepat di dekat pintu masuk, ada seseorang yang tampak seperti menunggu disitu. Menatapi mereka dengan tatapan tenang.
"Ayo masuk," ajak pemuda berambut pirang itu.
"Selamat datang tuan Lind dan tuan Dino," sapa wanita yang menunggu itu.
Aku merasa seperti sedang menonton anime saja... Maid? Yang benar saja?! pikir Nathaniel. Ya bisa dibilang Nathaniel ini seseorang yang terlalu sering menghabiskan waktunya untuk menonton anime. Tentu saja sebelum dia menjadi seorang vigilante. 
"Ah ya, terima kasih," balas Lind, acuh tak acuh seperti biasa. Namun wanita itu hanya membalas dengan senyuman biasa. Mempersilahkan ketiga orang itu masuk ke dalam rumah yang megah itu.
"Selamat datang, di rumahku," Kata Dino menyambut. 
Dilanjutkan oleh Lind. "Dan anggap saja rumah ini, rumahku. Jangan anggap ini rumahmu, terlalu mewah untukmu," ujarnya dengan nada menyindir.
"A-ah.. Oke," Tak ada yang bisa Nathaniel lakukan selain bingung harus berkata apa. Senyuman canggung menghiasi wajahnya saat Lind berkata demikian.
Sesaat setelah mereka berada di dalam. Seorang bocah dengan rambut berwarna merah kecoklatan yang acak-acakan yang menutupi matanya itu turun dari tangga. Sedikit antusias saat melihat kakak-kakaknya pulang. Umurnya kira-kira masih 13-14 tahun. Entahlah, yang jelas dia masih muda bagiku. "Lind, Dino!" Serunya, dia membawa sebuah mainan--gunpla-- dan menunjukkannya kepada kedua kakaknya. "Model gunpla yang kemarin sudah kurakit dengan baik, lihat?" Lanjutnya, sedikit bangga.
Namun rasa bangga itu menghilang, tak lama setelah dia melihat seorang tamu dengan jubah hitam di belakang. "Itu.. siapa?" Tanyanya, antara gugup dan takut.
"Hanya teman," balas Dino, memberikan senyum simpul. Nathaniel hanya tersenyum hangat saat bocah itu melihatnya. Dia tidak berkata apa-apa, malah bersembunyi di balik Dino.
"Jadi, dia adalah Sho. Salah seorang Kazuki juga," ujar Dino. "Kurasa kita takkan berlama-lama disini." Dino kembali menghadap adiknya itu, menyuruhnya untuk tidur. Sang maid yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari mereka langsung berjalan ke arah bocah bernama Sho lalu mengajaknya untuk tidur. Sedangkan Dino dan Lind menyelesaikan urusan mereka.
"Tunggu disini, oke?" Kata Dino kepada Nathaniel. Nathaniel hanya memberi anggukkan singkat. Setelahnya, Dino dan Lind berjalan ke atas. Tepatnya ke kamar mereka.

Lima belas menit lamanya setelah kejadian itu berlangsung. Membuat bosan.
"Baiklah, maaf membuat menunggu. Aku mencari ini," Dino menunjukan sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan suatu simbol terukir disana. "Tanpa ini, kita takkan bisa masuk ke dalam markas kita," lanjutnya.
Setelah itu, petualangan pun berlanjut. Mereka bertiga berangkat ke suatu tempat, tepatnya di sebuah pulau kecil yang terdapat di kota itu. Untuk kesana, kau perlu menyeberangi jembatan yang dibuat khusus untuk kereta api. Hanya saja sedikit sulit. Dikarenakan jembatan itu hanya menghubungkan kedua pulau saat ada kereta api yang mendekat.
"Kita takkan bisa menyeberanginya kan?" Nathaniel sedikit bingung. Mustahil dapat menyeberang selama kereta api tidak ada.
Lind menoleh ke belakang dan berkata. "Kau bodoh, kita tentu saja gunakan ini," dia menunjukkan ponselnya. Smartphone yang mempunyai suatu option khusus yang tidak terdapat pada smartphone lain. Dia menekan option itu dan muncul pilihan lain dengan simbol yang berbeda-beda. Ada empat simbol yang berarti empat pilihan. Simbol pertama adalah simbol petir, gunanya kurasa untuk mematikan daya listrik di sekitar distrik itu. Kedua adalah lampu lalu lintas. Dilihat dari simbolnya, kurasa sudah jelas fungsinya. Lalu ketiga adalah sebuah panah atas. Meskipun aku yang bercerita, tapi aku kurang tahu apa guna simbol ini. Jadi aku tak bisa menjelaskannya. Dan yang terakhir adalah simbol sebuah menara sinyal kurasa. Seperti jammer, pengacau gelombang sinyal. Apapun jenis gelombangnya.
"Lihat dan pelajari," Lind tampak sombong terutama dengan senyuman sombong itu. Dia menekan simbol panah yang menunjuk keatas itu. *grek* Jembatan yang berada di depan mereka, yang tadinya mengarah ke kiri dan kanan, tiba-tiba saja bergerak dan mengubah arahnya. Menghubungkan pulau satu dan pulau kecil itu.
"Yang kau lakukan hanya membajak servernya lalu memberikan perintah untuk mengubah arahnya," Nathaniel tampak datar saat menebak apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Ya kau benar, tapi keajaiban tetap saja keajaiban."

Mobil yang mereka kendarai pun berjalan maju, menyeberangi jembatan itu untuk sampai ke pulau kecil tersebut. Disitu, terdapat beberapa kargo yang tampak ditinggalkan begitu saja. Hanya saja, terdapat pengecualian.
Mobil itu berhenti tepat di depan kargo dan sebuah gedung. "Baiklah, kita sampai," ujar Dino saat turun dari mobil.
Lind tampak berjalan duluan, diikuti Nathaniel dan Dino. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya lagi lalu melakukan sesuatu pada ponselnya. Terdengar bunyi "klik" sesaat setelah Lind menekan sesuatu pada ponsel layar sentuhnya itu. Pintu kargo itu bergerak kearah kiri.
Umumnya, kalian akan mengira pintu kargo yang kumaksud adalah pintunya, tapi yang kumaksud disini adalah badan dari kargo itu sendiri. Mereka berada di samping kiri kargo itu. Jadi secara teknis, pintu kargo yang berada di sisi dekat tempat mereka berpijak itupun terbuka dengan cara geser. Baiklah kembali ke cerita. Setelah terbuka, mereka bertiga masuk dan secara otomatis pintu itu menggeser lagi untuk menutup.
"Jadi... ini?" Tanya pria dengan jubah hitam itu.
"Tentu saja bukan, bodoh," ledek Lind.
Saat pembicaraan berlangsung, tiba-tiba saja kargo itu bergerak. Tepatnya keatas lalu ke kiri. Masuk ke dalam gedung itu. Karena gedung itu sendiri memiliki bagian yang hancur yang muat jika dimasuki oleh kargo.
Setelah itu, merekapun keluar dari kargo tersebut dan berjalan menyusuri bangunan kosong itu. Jika dilihat secara posisi, Lind dan Dino berada di depan, sedangkan Nathaniel? Dia berada di belakang. Tentu saja untuk orang yang belum pernah ke tempat itu akan selalu ada di belakang untuk dipandu menyusuri tempat itu.
Mereka tiba di depan sebuah pintu. Dino membukanya dan mereka bertiga pun masuk. Disana terdapat layar-layar yang terpisahkan namun masih satu sistem. Bisa dibilang seperti monitor yang banyak tapi semuanya tertancap pada satu CPU saja.
"Dengan ini, kita bisa mencari sesuatu dengan mudah," Ujar Dino. Nathaniel terpukau saat melihat betapa canggihnya tempat ini meskipun ada di bangunan yang hancur.
Setiap layar menampilkan gambar-gambar yang berbeda. Lebih tepatnya rekaman CCTV secara langsung. Jadi bisa dibilang, mereka selalu mengawasi dari sini. Semuanya.
Tak ada yang tersembunyi bagi mereka. "Tak ada yang bisa mereka sembunyikan dari kami, kami tau segalanya," ujar Lind.
"Jika begitu, kalian bisa mencari seseorang bernama Jordi kan?" Nathaniel tampak sedikit antusias tapi tetap berusaha menjaga ketenangannya.
"Jordi?"
"Dia adalah orang yang perlu kita cari. Delsin memberitahuku tentangnya. Dia bilang, mungkin kita bisa menemukan sesuatu darinya," ujar pria muda itu.
Dino sedikit tersenyum mendengarkan itu, diapun duduk lalu mengerjakan sesuatu dengan keyboard komputer itu. "Baiklah, Jordi ya? Kita tinggal cari saja disini."
Pencarian mereka berlangsung sedikit lama, dikarenakan tidak bisa menemukan ciri lain. Bisa dibilang, tidak hanya satu orang saja yang memiliki nama Jordi di kota ini.

Beberapa layar menunjukkan beberapa orang dengan nama Jordi tadi. Dari berbagai latar belakang dan dari berbagai aktivitas yang sedang mereka lakukan. Tidak ada yang benar-benar tersembunyi dari mereka. Kecuali satu orang. Dia adalah seorang pria dengan umur sekitar 40-45 tahun dengan beberapa orang mengikutinya. Berbadan besar dan tampak garang.
"Yang satu ini membuatku penasaran. Mau mencoba memata-matainya?" Lind sedikit menyipitkan matanya saat melihat orang itu. Sesaat setelah itu, muncul lagi seseorang dengan mantel berwarna putih dan seorang pria paruh baya dengan badan tegap mendampinginya. Mereka berdua terlihat seperti negoisasi.
"Kurasa itu dia," ujar Nathaniel. Antara yakin dan tidak yakin.
"Kau serius? Jika salah, maka bisa fatal."
"Ya, kurasa itu dia!" Nathaniel mulai tidak ragu lagi saat melihatnya dari dekat.
"Baiklah, lokasinya tidak jauh dari sini. Palm street itu dekat, lebih baik--" Belum selesai Dino menyelesaikan perkataannya, Nathaniel sudah langsung memotong. "Aku akan berangkat!" Kemudian diapun berjalan keluar. Namun sebelum dia berhasil menggapai daun pintu, Lind memberikan sebuah ponsel. "Lebih baik kau bawa ini, ini lebih hebat dari ponsel milikmu yang sekarang."
Nathaniel membalas dengan anggukan lalu pergi begitu saja.

Ditengah perjalanan, ponsel pria itu berdering. Sebuah telepon masuk. Saat ia mengangkatnya, suara seorang gadis terdengar, ya lebih tepatnya teriakan. "Nathan!" teriakannya cukup membuat telingamu pekak. "Dimana kau sekarang?! Kau tidak mengirimiku pesan dan kau pergi begitu saja, kau pikir bagaimana aku sekarang??!" Dia masih berteriak. Nathan sedikit menjauhkan telinganya. Dia juga cukup kesakitan dengan teriakan gadis itu. Siapa yang tidak kesakitan saat tiba-tiba diteriaki orang?
"Aku sedang kerja, kau ini selalu membuatku kerepotan. Sudahlah, kau kan sudah cukup dewasa sekarang. Kau bisa mengurus dirimu sendiri!" Balasnya dengan teriakkan. Dia tidak tau, teriakkan itu bisa menyulut sebuah perang yang cukup memekakkan telinga. Terutama saat sedang di jalan dan sedang mengendarai motor.
"Aku ini menghawatirkanmu, bodoh! Ini sudah malam dan kau belum pulang!" balas seseorang yang menelponnya itu. Kita semua tau siapa orang yang berteriak dipercakapan ini. Ya, dia adalah Anna, sang adik.
"Cerewet!" Tombol untuk mengakhiri percakapan itu ia tekan dengan sedikit geram lalu berkonsentrasi untuk mengendarai motornya.

Dia sudah sampai di tempat yang gelap itu. Hanya saja sedikit terlambat, negoisasi itu sudah berakhir.
Dengan perlahan dia berjalan ke balik tembok. Langkah kakinya yang tidak terdengar sama sekali membuatnya tampak seperti seorang pembunuh yang sudah melalui bertahun-tahun latihan. Saat sudah berada di balik tembok, dia meninjau keadaannya dan mengambil senjata andalannya, yaitu baton stick. Musuh yang ia lihat tampak seperti musuh lemah yang mudah lengah. Dengan mengetahui itu dia pun mengambil sebuah koin lalu menggelindingkannya tepat ke arah seorang bodyguard dan walla, perhatian pria besar itu langsung teralihkan. Saat seperti itu dia langsung memukulnya dari belakang menggunakan baton stick tepat di kepala. Membuatnya langsung jatuh karena pingsan.
Satu musuh telah jatuh, 5 lagi. Pikirnya.
Tanpa harus berpikir lagi, dia langsung melakukan tindakan pengamanan yaitu menyembunyikan tubuh pria besar tadi di balik kegelapan. Kemudian dia meninjau keadaan untuk sekali lagi.
Saat dia melihat sekitar, dia menemukkan beberapa kamera dengan arah yang pas sekali untuk mengetahui posisi lawan, dia teringat dengan ponsel yang diberikan kepadanya tadi saat berada di markas.
Dia mengutak-atik ponselnya, mencoba teknik hacking untuk melihat apa yang dilihat oleh kamera itu. Tak sampai 1 menit aksinya sudah berhasil. Sekarang apapun yang dilihat oleh kamera itu juga dilihat olehnya. Sebagai informasi saja, seluruh kamera di kota Verdamia sudah dilengkapi dengan thermal vision, jadi bisa dibilang seluruh kamera di kota ini bisa melihat suhu manusia dan menembus penghalang seperti tembok biasa.

Dua orang kali ini sudah bersiap. Nathan berjalan pelan menghampiri mereka, dengan keadaan siaga dia memukul kepala salah seorang dari mereka, lalu memukul kaki orang satunya dan membanting mereka kedua agar terjatuh. Lalu saat terjatuh, dia menghantamkan tongkat besi itu ke kepala musuhnya, membuat mereka pingsan dan mungkin membuat mereka sedikit lupa.
Dia kembali meninjau keadaan sekitar, memang musuhnya kini sudah menjadi tiga orang, namun sebelum dia selesai mengatur strategi, sinar terang menghampirinya dengan kecepatan penuh. Untung saja meleset, tapi sinar itu tampak dapat melelehkan besi disebelah Nathaniel.
"Lihat apa yang kita temukan disini, seekor tikus," dengan tangan dikepalkan, seorang pria berbadan besar itu melihat dengan senyuman jahat nan licik.
Pria yang terlihat tangguh tadi mengeluarkan sinar beam miliknya untuk sekali lagi dan dengan cepat, Nathan mengangkat tangan kanannya--tangan dengan tanda seorang raja--lalu menyentuh beam tadi. Beam yang seharusnya benar-benar panas itu malah terlihat seperti semprotan air biasa ditangannya.

Rasa geram terisi penuh di dalam hati musuhnya. Dia berpikir, bagaimana mungkin beam panas itu tidak berpengaruh apa-apa terhadapnya? Pertarungan ini tidak terlalu berat menurut Nathan, karena kekuatan beam seperti itu hanyalah batu kecil biasa dihadapannya.
"Kau mungkin berpikir aku ini lemah, tapi kau itu hanya seperti batu kecil saja," ledeknya. Dalam benaknya, itu adalah strategi untuk mengalahkan musuhnya. Bisa dibilang dia hanya menggunakan pancingan emosi.
Makin geram dan makin panas akan amarah, pria besar itu langsung berlari dan mencoba untuk menghantamnya. Pria ini memang terlihat tangguh, tapi apa cukup tangguh? Nathaniel menghindari serangannya dan menendang kakinya langsung untuk melumpuhkan pria kekar itu. Dan saat dia terjatuh, baton stick pun ditodongkan padanya sebagai tanda untuk diam ditempat dan tidak mencoba melakukan hal yang bodoh.
"Jadi dimana Jordi?" Tanyanya dengan tegas.
"Dia ada di rumah ibumu," balas pria itu. Kemudian Nathan langsung menghantamkan baton sticknya lalu bertanya sekali lagi dengan tegas. Tapi pukulannya itu terlalu keras hingga menyebabkan pria itu pingsan seketika. Konyol bukan?

Bayangan yang tidak begitu tinggi itu terlintas, bayangan itu adalah bayangan milik pria paruh baya yang diincar oleh Nathan. Bayangan itu tampak disertai dengan bayangan besar yang lebih tinggi darinya, seperti bodyguard lain. Nathan berlari ke arah gang yang lebih gelap, dia berusaha untuk tidak membuat suara sama sekali lalu dia bersembunyi dan menunggu saat yang tepat. Mentalnya mungkin terlihat seperti tidak bisa dijatuhkan lagi, tapi dia merasakan sesuatu yang kuat yang berasal dari bodyguard Jordi yang tersisa ini. Dalam benaknya dia merasa ragu untuk menyerangnya. Mungkin bukan keputusan yang bagus untuk beraksi.
Sejenak suara langkah kaki itu menghilang, suasana menjadi hening. Nathan mencoba mencari tau melalui kamera-kamera yang terpasang di sudut-sudut strategis di tembok sekitar. Namun tak ada jejak lain.

Dan beberapa saat kemudian, dia melihat sebuah cairan kental berwarna merah menggenangi tanah yang tercampur dengan air itu dan disampingnya terdapat dua orang tadi. Sepertinya orang yang dibanjiri darah itu adalah musuh dari Jordi, pesaing bisnisnya mungkin?
Nathaniel pun keluar dan langsung berlari ke arah mereka berdua. Namun gerakannya terdengar oleh pria bertubuh kekar dan dengan cepat, pria itu melemparnya tanpa menyentuhnya sama sekali. Nathaniel terjatuh dan untuk sementara dia bingung akan langkah selanjutnya. Apa mungkin dia bisa menang? Apa kekuatan musuhnya ini merupakan telekinesis juga?