“Hoi kau yang disana!” Seru seseorang. Suara itu
membuyarkan lamunanku dalam tidur yang nyenyak di padang rumput milik sekolah. Dan saat aku
membuka mata, tiba-tiba saja sebuah bola kasti terlempar ke arahku ya lebih
tepatnya mendarat tepat di wajah tampanku.
Ah
tunggu-tunggu, bukan prolog seperti ini yang kuinginkan, tapi apa boleh buat,
semuanya sudah terlambat..
“Ugh..
Dimana ini?” Saat aku membuka mata, aku melihat tempat yang berbeda dari
sebelumnya, ya yang kuingat sebelumnya aku sedang tertidur di padang rumput yang nyaman, dan sekarang
kutemukan diriku berada di atas kasur empuk. Kurasa ini milik sekolah.
“Ah
sudah sadar rupanya,” saat aku menoleh ke asal suara, aku melihat seorang
wanita dewasa dengan pakaian seperti seorang pegawai UKS. Ah ya aku lupa,
ternyata dia memang suster yang berada di dalam UKS.
“Jadi
bagaimana perasaanmu? Sudah baikkan?” Tanyanya. Perlahan-lahan aku berusaha
mengingat. Ah ya tentu saja, aku pingsan karena terkena bola kasti tadi, dasar
pemain kasti bodoh!
“Kau
tertidur cukup lama sekali,” lanjut suster itu sebelum aku sempat menjawab
pertanyaannya. “Bola kasti tadi pasti benar-benar menyakitkan ya?”
Aku
tidak menjawab, malahan aku hanya diam dan berusaha mengingat kembali tentang
khayalanku yang tadi. Ah rasanya otakku benar-benar berhenti bekerja.
Kepalaku benar-benar sakit, saat aku berusaha menyentuh
dahiku, aku merasakan sebuah perban yang diikatkan di kepalaku. Untung saja
tidak sampai benjol.
“Ini
benar-benar sakit, sus,” kataku sambil memegangi kepala yang diperban ini. Aku
berusaha untuk turun dari kasur itu. Ya kurasa keseimbangan tubuhku sudah mulai
membaik. Saat itu aku berjalan menuju arah cermin dan.. tunggu, sepertinya
terlihat keren dengan perban ini, ya seakan aku baru saja melakukan sebuah
pertarungan dan terkena cidera yang berat pada kepala sampai menyebabkan lupa
ingatan.
“Fufu,
aku adalah peraturan!” Teriakku dalam hati sambil bergaya di depan cermin.
Siluet bayangan yang tampak jahat itu berada di belakangku, aku baru
menyadarinya saat aku melihat kembali kearah cermin. Agh aku lupa itu adalah
suster!
“Hei
hei, kau seharusnya kembali ke kelasmu kan ?”
Nadanya terdengar jahat dan yang paling parah, dia melihatku saat aku melakukan
pose sok keren tadi!
“Agh
apa yang harus kulakukan?!” Batinku, bingung mencari jalan keluar. Ah itu dia!
Jalan keluar! Akupun segera melangkah keluar dari tempat ini. Dengan membungkuk
sebagai hormatku dan salam terakhirku, aku langsung berlari kearah pintu dengan
keadaan canggung.
Fiuh,
untunglah ada yang namanya pintu keluar. Ya sekarang nafasku kembali teratur
dan daripada berlari, lebih baik jalan saja bukan?
Sambil menyusuri koridor, aku menemukan sebuah tangga
menuju atas. Jangan mengira tangga ini menuju ke surga. Tangga ini tentu saja
menuju ke lantai atas di dalam bangunan ini, tapi mungkin akan lebih baik jika
tangga ini mengarah ke surga langsung.
Dengan langkah tanpa suara, aku berjalan menyusuri tangga
itu dan menemukkan diriku sudah di lantai dua, ah ya sekarang waktunya berjalan
ke kelasku. Peristiwa memalukkan seperti tadi itu memang harus dilupakan dan
menuju pada awal yang baru. Terdengar keren bukan? Sesampainya di depan pintu
kelas milikku, aku melihat dari balik jendela, kelasku ternyata tampak ribut
juga ya, kegaduhan dimana-mana. Untung saja gurunya sedang tidak ada—atau
mungkin belum datang—ya dengan kerennya aku membuka pintu dan melangkah masuk.
Haha, mereka sepertinya terlalu fokus terhadap perban yang
melilit kepalaku ini, aku tau ini pasti keren!
“Woh,
kau sudah kembali? Pingsanmu itu lama juga ya,” kata salah satu dari mereka. Eh
tunggu, pingsanku lama? Memangnya aku sudah melewatkan berapa mata pelajaran?
“Ya
itu benar, dia bahkan terlalu beruntung karena melewati guru killer itu. Dan sekarang malah akan
segera pulang. Benar-benar beruntung,” Sahut orang di sebelahnya dengan
anggukkan setuju dibarengi keluh kesah. Ya sepertinya aku memang beruntung kali
ini, pingsan ini membuatku lolos dari hari
penghakiman. Tapi tunggu, aku bahkan tidak ingat pelajaran apa hari ini.
Saat aku berjalan dan duduk di bangku ku, aku merasa
seperti ada seseorang yang menyentuhku dengan benda yang keras dari belakang.
Mungkin sebuah pulpen, aku juga mendengar suara bisikkan.
“Psst!”
Dan lagi, pulpen itu menyentuh punggungku dibarengi suara itu. Aku terpaksa
menoleh kearah belakang, ya disitu adalah teman kelasku atau lebih tepatnya
sahabat karibku sejak SD.
“Ha?”
Ucapku. Dia kemudian tersenyum lalu menunjukkan beberapa kartu remi, kalian tau
kan kartu
remi? Yang biasanya dibuat bermain poker atau permainan kartu lainnya.
“Aku
sudah mempelajari teknik itu,” Katanya dengan bangga. Ah sebelumnya aku ingin
memberi tau, sebenarnya aku ini seorang magician tingkat pemula dan masih
belajar bersama dengan tema—sahabatku ini.
“Benarkah?”
Tanyaku dengan tampang tidak percaya.
Yah, karena aku yang pertama kali menguasainya dan dia kedua, hanya saja dia
lebih jago daripada aku.
“Tentu
saja!” Serunya dengan pelan, dia kemudian menunjukkan beberapa triknya. Trik
yang mudah tentunya.
“Psst!”
Lagi-lagi ada yang mencoba memanggilku, itu adalah seseorang di bangku sebelah
sahabatku ini. Dia adalah orang yang tampak seperti seorang nerd tapi dengan pikiran yang luar biasa
dan juga mesum.
Aku
dan sahabatku ini langsung menoleh kearahnya.
“Jadi
bagaimana rasanya terkena bola kasti yang keras itu?” Tanya orang itu dengan
senyuman yang terkesan meledek, menempel di wajahnya. Rasanya benar-benar ingin
kutonjok lalu kubakar.
Aku
hanya tersenyum dan membalas, “mantap bro, lain kali kau harus mencobanya,”
canda ku. Ya di jam kosong ini memang kelasku selalu gaduh terutama sekitar
bangku milikku. Bangku-bangku itu terisi dengan orang-orang bajingan yang
selalu bercanda di pelajaran apapun, aku selalu menikmatinya bersama mereka.
Sesaat
setelah aku berbicara dengan kedua orang tadi, aku fokus kembali menghadap
depan dan melihat kearah jendela yang terdapat tepat di samping kiriku itu.
Jendela yang mengarah kearah luar, yang disebut sebagai jendela kebebasan.
Terkadang aku berpikir seperti itu karena aku terlalu malas untuk pergi ke
sekolah, terutama saat jam kosong. Padahal menurutku lebih baik kita tidur saja
di rumah, lebih terasa nyaman apalagi saat musim dingin.
“Psst!
Daripada bengong, bagaimana jika bermain kartu remi?” Ajakan dari pria tadi
yang sebelumnya menanyaiku tentang rasanya terkena bola kasti itu muncul.
Menurutku sih bukan ide yang buruk, karena ini mulai terasa membosankan.
Ajakkan tadi sebenarnya adalah bom pemicu,
karena saat pria tadi mengajak untuk melakukan sesuatu, maka orang-orang
disekitarku pasti akan menggila dan ikut bermain—termasuk aku tentunya.
Pertama
orang di depanku, dia menoleh ke belakang atau lebih tepatnya melihat pria di
meja belakang dan mengangguk, kemudian disusul oleh bangku sebelah, dia juga
ingin ikut lalu depannya juga, begitu juga dengan sahabatku. Jadi jika
dihitung, orang-orang yang termasuk bajingan sejati dan provokator utama di
kelas ada… empat orang—maksudku lima
ditambah aku.
Kami
bermain sebuah permainan kartu yang dinamakan polisi dan maling. Dengan kartu
berjumlah lima
yang diantaranya terdapat sang ratu, raja, angka biasa dan kartu as. Biar
kujelaskan terlebih dahulu, kartu ratu atau raja mempunyai peran sebagai
polisi. Sedangkan as mempunyai peran sebagai malingnya. Sedangkan angka biasa
merupakan warga biasa. Dan cara bermainnya termasuk mudah, karena yang
mempunyai peran sebagai polisi harus peka
terhadap lingkungannya. Kenapa? Karena seorang maling memberikan kode kepada
warga biasa yang artinya warga itu harus membuka kartunya.
Dan
seorang polisi tidak boleh sampai salah menuduh atau dia kalah dan keluar dari
permainan.
“Baiklah,
bagaimana jika ditambahi hukuman?” Imbuhnya dengan tatapan menantang. Biasanya
kami tidak melakukan ini, namun berhubung sedang jam kosong, mungkin akan
terlihat lebih menantang dan lebih seru jika menambahkan hukuman.
“Yang
kalah harus melakukan tarian pole dance di situ!” Dia menunjuk kearah tiang
bendera yang tidak terlalu tinggi itu. Jika terlalu tinggi, tentu saja akan
menabrak langit-langit kelasku.
“Bagaimana?
Matthew, Jossy, Frank dan kau? Apa kalian berani?” Tantangnya.
Ah
ya aku lupa memperkenalkan teman-temanku, Frank adalah orang yang duduk
disebelahku, dia merupakan orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya, dia
memiliki aura mesum dan tingkat kebajingan yang luar biasa.
Kemudian
Jossy, dia duduk tepat di depan Frank. Menurut kabar yang aku dengar dari
kelasku, dia adalah anak dari seorang guru yang ada di sekolah ini. Ya meskipun
dia tidak pernah menceritakan lebih detailnya. Dia juga termasuk kawanku sejak
SD, hanya saja kami tidak begitu dekat. Dan yang terakhir adalah Matthew,
sahabatku semenjak kelas 5 SD, ya kami bersahabat begitu lama sampai sekarang.
Otaknya benar-benar cerdas dan terkadang dia selalu berpura-pura seperti orang
bodoh untuk merahasiakannya. Di kelas, dia dijuluki sebagai orang yang pintar
membuat lelucon.
Lalu
provokator utamanya adalah temanku bernama Vincent. Tidak banyak yang ku
ketahui tentangnya, karena dia adalah murid pindahan. Namun semenjak
pertengahan semester ini, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Tentu saja
sebagai bajingan nomer satu di kelas.
Kami
pun melanjutkan permainan, teman-temanku tampak benar-benar baik soal memasang pokerface nya. Sampai akhirnya seseorang
menyikutku dengan siku nya. Benar-benar bodoh, dia memberikan sinyal kepada
seorang polisi. Pfft, ah ini hampir membuatku tertawa.
Aku
membayangkan bahwa orang itu sudah berada dalam genggamanku. Dan seketika itu
aku langsung membuka kartuku, lalu menunjuknya sebagai seorang maling.
“Kau
memberikan sinyal yang salah, huahaha. Seorang pahlawan tidak akan bisa
dikalahkan!” Seruku penuh dengan semangat. Yang memberikan sinyal yang salah
itu adalah Vincent. Wajahnya sekilas menggambarkan seorang yang menyesal karena
memberi sinyal yang salah, tapi setelah itu berubah dengan cepat.
“Tak
masalah, aku akan melakukannya!” Serunya layaknya seseorang yang mengalah.
Astaga, padahal dia ini kalah tapi malah membuat seakan dia ini pahlawan yang
sengaja mengalah demi kebaikan bersama.
Dia
melangkahkan kakinya menuju ke depan, lalu dia menuju kearah tiang bendera yang
letaknya tepat berada di sebelah papan tulis.
Ah
aku dan teman-temanku ini tidak bisa menahan tawa. Terutama saat dia mulai
menggoyangkan pinggulnya.
Matthew
pun berteriak, “Hoi! Lihat di depan, ada seseorang yang sedang menarikan
sesuatu!” Teriakkan yang menimbulkan seluruh kelas berhenti melakukan aktivitas
mereka lalu langsung melihat ke depan. Ya untungnya laki-laki nerd itu
membelakangi mereka sehingga dia tidak sadar—atau mungkin masa bodoh—dia masih terlihat melakukan tarian itu, malah seperti
menikmatinya. Ah entahlah, seorang bajingan seperti dia mungkin sengaja
memancing lelucon di kelas.
Beberapa
diantara anak-anak di kelas tertawa, terutama laki-laki, yang perempuan tampak
bingung akan apa yang dilakukan oleh nerd itu. Ya setelah itu dia berhenti lalu
kembali ke bangku nya. Seluruh mata sedang memperhatikkannya tapi dia tampak
tidak peduli.
“Baiklah
ayo kita lanjutkan lagi,” ujarnya seraya duduk di kursi miliknya. Sang
Bandarpun membagikan kartunya. Murid-murid yang tadi menghentikan aktivitasnya
kini tampak kembali melanjutkan.
Aku
sedikit tersenyum karena tadi, ah betapa bodohnya tingkah orang-orang ini. Lalu
saat aku mengambil kartu itu.. Ah ternyata Queen! Pergantian peran ya?
Mataku
mulai bergerak untuk memperhatikkan suasana yang hening diantara kami berlima.
Aku
yakin Jossy bukanlah seorang polisi, aku mengedipkan mataku layaknya seorang
wanita dan dia membalas dengan senyuman seperti menahan tawa lalu membuka
kartunya.
“Buahaha!”
Tawanya meledak saat membuka kartu, hmm mungkin dia melihat aku ini konyol
karena kedipan mata genit tadi, ah sudahlah siapa yang peduli dengan itu?
Saat
aku kembali meninjau keadaan, aku mendengar suara langkah kaki mengarah kearah
bangku kami, dan ternyata benar, dia menepuk bahuku dan bahu milik Vincent
kemudian berseru, “Hoi! Ikutan dong.” Suara yang lembut yang dimilikinya
layaknya seorang gadis, ah tunggu dia memang seorang gadis. Karena sedikit
terkejut, kami menatapnya. Kemudian tatapan
itu berubah menjadi senyuman konyol dan mungkin terlihat seperti
senyuman mesum. Kami melihat ke satu sama lain, mungkin saja memiliki ide yang
sama.
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for read, i hope you enjoy.
Sebelum komentar, diharapkan untuk berkomentar dengan bahasa yang sopan dan dapat dimengerti. Terima kasih