Part 1
“Hei!” Malam itu, seseorang menyerukan sesuatu padaku yang
tengah tertidur. “Bangunlah! Kau tidak ingin ada nyamuk yang menggigitmu kan ?” Ugh, suaranya
terlalu lantang bahkan bisa mengganggu tidurku yang nyenyak ini. Dengan
perlahan, aku membuka mataku dan aku menemukan gadis itu tepat diatas
kepalaku–tentu saja jaraknya tidak terlalu dekat, hati-hati dengan pikiran
kalian!
“Nah bagus seperti itu,” ucap perempuan itu. Tch, siapa sih
orang ini? Eh tunggu.. “Reiner!” Teriakan yang cukup memekakan. Mataku
langsung terbelalak saja menatap gadis itu. Gadis yang sedikit norak, ceroboh
juga bodoh—ya tapi tetap saja dia itu teman masa kecilku. “Berhentilah
berteriak!” Seru ku, dengan cepatnya aku bangun dan menemukan sudah tertidur di
rerumputan dekat sungai—tempat favoritku. “A-ah.. Sudah berapa lama aku
tertidur?” Tanyaku padanya. Ah tentu aku lupa memperkenalkan diriku.
Namaku Reiner, ya tapi teman-teman sekelasku lebih suka
memanggilku dengan sebutan “Rainy”. Mungkin mereka menyamakanku dengan hujan
dalam bahasa inggris.
“Sudah puas melamunnya?” Dengan pupil mata berwarna biru
langit itu dia menatapku. “Re-i-ner,” gah, baiklah dia mengeja seakan aku ini
pasangan hidupnya. Ngomong-ngomong, gadis itu bernama Lucia First. Kenapa
namanya Lucia ‘Pertama’? Jangan tanyakan padaku, lebih baik kau menanyakan
langsung kepada dua orang yang “membuat” wanita berisik ini.
“Ingatlah kita ini bukan sepasang kekasih dan ya, aku sudah
puas melamun,” jawabku langsung. Kenapa sebelumnya aku berada disini? Semua
berawal dari pulang sekolah tadi—kita akan memundurkan waktu. Sekitar pukul 3
sore setelah semua pelajaran selesai dan ya, murid-murid gembira karena bisa
pulang (itu kebiasaan). Hari itu adalah hari senin, hari yang cukup
menakutkan bagi kami—kaum pelajar. Disaat pulang sekolah biasanya aku selalu
pulang bersama wanita yang tadi berisik sampai membuat telingaku hampir pecah
itu. Aku berjalan menuruni tangga ke lantai pertama bersama gadis itu, karena
ya kelasku berada di lantai dua dan itu melelahkan.
“Rainy!” Seseorang memanggilku saat aku hendak keluar dari
gedung yang cukup megah itu. “Ha?” Dipanggil Rainy setiap hari itu sedikit
merepotkan, terutama saat musim hujan. Mengerti? Musim hujan? Baiklah ayo
lanjut saja.
“Besok itu kan
pelajaran guru killer..,” dengan sedikit
malu-malu—wait what!? Y-ya dia memang tidak terlihat seperti malu karena suka
atau lainnya, lebih tepatnya dia seperti hendak meminta bantuan–ya semacam itu.
“Dan Pr ku belum selesai, jadi besok bisa kupinjam catatanmu?” Pinta pria itu.
Ya inilah dia orang-orang di kelasku, selalu ada saat membutuhkan saja.
Aku hanya memberikan anggukkan malas saja lalu berjalan
pulang tanpa menghiraukan reaksi atau jawabannya. Pfft, persetan. Sedangkan
Lucia–biasa dipanggil Lucy atau ‘Pertama(x)’ sebagai ejekkan–tampak tersenyum
kecil dengan pria itu lalu mengejarku. Ya mungkin dia suka dengan orang itu, ma
bodo amat.
“Hei Reiner, bukannya kau seharusnya sedikit lebih ramah?”
Lucy berkata seperti itu padaku, dia menekankan kata “ramah” dan “sedikit”,
ngah aku yakin ini sebuah ejekkan.
“Apa ini? Aku tak percaya gadis norak sepertimu menghinaku
yang tampan ini,” helaan nafas dan ucapan sarkastikku saling beriringan.
Mungkin kalian takkan percaya tapi aku ini selalu bisa mendapatkan pacar hanya
dengan sekali tembak. Mereka bilang aku ini pro, ya baiklah itu bukanlah
masalah.
Akhirnya sampai, pemandangan yang indah ditambah pantulan
cahaya matahari yang hendak tenggelam itu mewarnai beningnya sungai di bawah
jembatan itu. “Nikmatnya hidup,” gumamku saat menikmati hembusan-hembusan
angin. Disinilah aku merasa bisa rileks dari segala beban hidupku yang
menyusahkan–termasuk gadis tadi. Lucia tampak menatapku dan tersenyum disaat
bersamaan. ‘Ha? Berhentilah tersenyum seakan kau menyukaiku,” ledekku langsung
dan ya.., senyuman tadi itu berubah menjadi hawa yang sedikit ‘menyeramkan’/
“H-ha?!” Balasnya dengan teriak.
“Jangan seenaknya berkata begitu hanya karena kita teman
kecil!” Yap , wanita itu memang marah.
Setelah sedikit beradu mulut tadi, aku dan gadis itu duduk
di tepi sungai. Dia memandangi sungai sedangkan aku bermain dengan ponsel
pintarku itu. Haha, tak ada di dunia ini yang mampu memodifikasinya seperti
aku. Ya bukannya aku sombong tapi–“Reiner?” Gadis itu memanggilku sebelum aku
menyelesaikan kalimatku tadi, tch. “Kenapa tiba-tiba kau tersenyum sendiri?”
Lanjutnya lagi. Aku membuang muka lalu berkata, “bukan urusanmu,” acuh tak acuh
aku berkata seperti itu. Dia hanya memasang tampang bingung—atau biasa disebut
tampang bego oleh orang-orang.
Beberapa menit setelah itu, gadis itu membuka mulutnya.
“Reiner, pak Randy kemarin memberikan tugas kan ?” Ujarnya. Dengan sikap sok sibukku, aku
mengangguk dan berkata iya kepadanya. “Memangnya kenapa?” Lanjutku, masih sok
sibuk dengan ponsel touch screen milikku.
“Tugas itu tentang panah terkuat di dunia kan ?” Eh tunggu, benarkah? “Hmm?” Manik
berwarna coklat milikku itu hanya menatap Lucia sesaat. Tatapan bingung pun
terpancarkan dari wajahku. “Benarhkah?” Kataku.
“Eh? R-reiner tidak ingat!?” Ekspresi terkejut
yang-sedikit-atau-bisa-disebut-berlebihan itu keluar. Hal kedua yang harus
kalian ketahui tentang Lucia, dia terlalu banyak menonton kartun Jepang.
“Kalau tidak salah namanya Pasu..uh..,” dia bahkan tidak
ingat, memalukkan. “Yang jelas itu panah Arjuna kan ?” Sahutku langsung tanpa peduli dia mau
menyelesaikan kalimatnya atau tidak. “Orang-orang memang berkata itu adalah
panah terkuat di dunia,” tuturku saat selesai bermain dengan gadget.
“Yang jelas, namanya adalah pasupasatra atau pasopati untuk
singkatnya,” aku menjelaskan kepada gadis itu dengan nada santai. Hahaha,
senjata-senjata mitos seperti itu ya tentu saja aku mempunyai pengetahuan yang
cukup. Menurut agama Hindu, panah itu adalah pemberian dari sang Mahadewa yaitu
dewa Syiwa sang penghancur. Pemiliknya tidak lain adalah Arjuna. Menjelaskan
hal seperti ini kepada Lucia adalah tugasku dari kecil hingga sekarang.
“….Arjuna memiliki panah ini karena meditasinya,” itulah akhir dari
penjelasanku kepada sang gadis. Dia hanya mengangguk-angguk seakan mengerti apa
yang aku katakan–walaupun aku tidak yakin dia mengerti.
Setelah semuanya selesai, aku membaringkan tubuhku yang
ramping ini ke tanah yang berumput. Ah lagi-lagi hembusan angina menyerangku
dan tempat itu dengan lembut, benar-benar menyenangkan. Membuatku merasa mengantuk.
Aku tak tau dengan Lucia, yang jelas mataku menutup dengan sendirinya.
Dan setelah itu, disinilah kita sekarang, dimana matahari
sudah tenggelam dan aku dibangunkan oleh gadis norak tadi dan ya masih berada
di tepi sungai itu.
“Reiner!!” Lucia lagi-lagi berteriak tepat di dekat
telingaku. “Lagi-lagi! Kau tersenyum sendiri dan melamun!” Serunya lagi, belum
puas untuk menghancurkan telingaku. “Maaf-maaf!” Balasku langsung. Sudah dua
kali telingaku dibuat sakit untuk hari ini, aku tidak ingin merasakan yang
ketiga kali. Tentu saja tidak mau! Siapa yang mau merasakan hal seperti itu?!
“Dan
berhentilah berteriak!” Teriakku lagi. Gadis yang menyusahkan, pikirku. Helaan
nafas karena lelahpun aku keluarkan, kalau saja dia tidak cantik pasti sudah
aku jauhi. “Reiner, ini sudah larut, bagaimana kalau pulang?” Apa ini? Sesaat
ekspresinya mengeluarkan semacam aura manis
dan cantik yang bercampur-aduk menjadi satu. Inikah yang dinamakan moe dari negeri sakura itu? Eh tunggu,
apa yang kubicarakan?
Dengan senyuman santai, aku mengangguk dan berdiri.
“Baiklah baiklah, ayo pulang,” ucapku menuruti keinginannya. Lucia tampak
senang karena aku menyetujui permintaannya lalu dia berdiri menyusulku. “Ya
walaupun orang tuaku belum pulang, bagaimana kalau membantuku memasak?” Kataku,
melanjutkan. Karena kami adalah teman dari kecil yang artinya kami selalu
bersama dan bisa dibilang rumah kami bersebelahan, jadi Lucia–atau Lucy untuk
singkatnya–sering membantuku membuatkan makanan saat orang tua kami tidak ada.
Ya walaupun aku terlihat lebih sering duduk di sofa dan menonton tv sedangkan
dia memasak layaknya seorang maid dan
master. Eh tunggu, ini tidak ambigu kan ? Menurutku sih
normal kecuali pikiranmu buruk dan mesum.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for read, i hope you enjoy.
Sebelum komentar, diharapkan untuk berkomentar dengan bahasa yang sopan dan dapat dimengerti. Terima kasih