Selasa, 27 Januari 2015

[Light Novel] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 3

“Rainy!” Lagi-lagi seseorang berteriak kepadaku, ya untunglah dia tidak berteriak di dekat telingaku, ah ngomong-ngomong latar waktu kita adalah di pagi hari yang cerah sesudah kemarin saat aku makan malam bersama Lucia, dan ya aku ini manusia biasa yang menuntut ilmu di sekolah biasa. Hanya karena keluargaku itu keluarga penyihir, bukan berarti sekolahku adalah sekolah sihir yang megah, luar biasa dan tidak terkalahkan. Kau pikir kau hidup dimana? Dunia kartun?
“Hei Rainy!” Yap, aku sedikit melamun tadi dan orang yang memanggilku kini sudah ada di depanku. Orang yang kemarin memintaku untuk membantunya menyelesaikan catatan. Kebiasaan kedua seluruh pelajar di dunia ini yaitu PSPP, artinya Pekerjaan Sekolah Paling Pagi. Ya itu kudapat dari guruku dulu waktu SD, yang artinya kebanyakan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya di sekolah pada waktu pagi sekali sebelum banyak siswa menunjukkan batang hidungnya. “Aku mengerti, catatan kan?” Jawabku langsung. Antara malas dan tidak, aku mengambil buku yang tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis dan menaruhnya di atas meja.
“Nah begitu dong!” Ha? Bukannya terima kasih malah teriak kegirangan seperti diberi hadiah saja. Bocah yang merepotkan. “Lebih baik cepat selesaikan semua lalu berikan kepadaku lagi,” ujarku dengan malas. “Oke?”
Dia hanya mengangguk. Ah untuk namanya, aku tidak terlalu ingat tapi yang jelas dia itu menyusahkan, teman sekelas dan pasti kelompoknya bergaul itu suka memanggil orang lain dengan nama julukkan yang mereka buat. Contohnya memanggilku dengan panggilan ‘Rainy’ tadi. “Baiklah tenang saja Rainy, aku ini orang yang baik hati–,” tuturnya. Dan dia mulai berbasa-basi dengan orang yang bahkan tidak terlalu mengenalnya, semua manusia itu menyusahkan ya? “...suka menolong dan rajin menabung,” lanjutnya lagi. Eh tunggu.. apa?
“Pfft,” tentu saja aku sedikit menahan tawaku. Rajin menabung? Suka menolong? Orang ini pasti mengajak bercanda. “Ya ya baiklah terserah, selesaikan sebelum guru killer itu datang,” balasku santai. Sikap acuh tak acuhku terkadang tidak disukai oleh orang-orang, tapi ya memangnya aku peduli?
Ting-Tong-Teng-Tong.
Bunyi bel pun terdengar, kelas sudah dimulai seperti biasanya. Saat bel berbunyi, murid-muridpun terkadang masih sempat-sempatnya mengobrol. Hoho tapi tidak saat pelajaran guru itu, semuanya langsung huru-hara untuk duduk di bangku mereka masing-masing. *kriek* Pintu kayu itu terbuka dan itulah pria yang sering disebut guru–“Eh kenapa malah dia yang keluar?” Ah sepertinya dugaanku–tidak maksudku dugaan anak-anak satu kelas itu salah. Beberapa murid bergumam membicarakan pria itu tapi pria itu dengan santainya (atau lebih tepatnya malas) masuk ke dalam kelas sambil menggendong buku-buku itu.
Satu-satunya guru yang suka mengenakan jas lab dimanapun dia berada dan cukup terkenal karena ekspresinya seperti orang malas tapi ternyata dia jenius sejati. Christian Crown, itulah nama dari pria itu. Orang ini termasuk orang yang tidak terlalu suka mengurusi pekerjaan orang lain. “Yang penting selesai,” itulah yang dia katakan kepada kami saat pelajarannya.
“Ehem..,” pria itu berdehem sebentar saat sudah membereskan barang-barangnya. “Jadi, karena guru yang biasa kalian sebut guru killer itu tidak masuk...” Eh apa? Telingaku tidak salah dengar? Ini pertama kalinya aku mendengar seorang guru menghina guru lain di depan murid-muridnya. Tentu saja beberapa dari kami tertawa sedikit. “...Jadi aku menggantikannya untuk mengajar kalian hari ini,” tuturnya dengan ekspresi malas miliknya yang khas. Sepertinya diantara banyak guru di seluruh dunia, cuman beliau saja yang mengerti perasaan kami–sebagai murid.
“Pak!” Seorang murid perempuan mengangkat tangannya. “Memangnya apa yang terjadi dengan pak Randy?” Suaranya sedikit dibuat dengan lantang. Dia adalah seorang ketua kelas di kelasku, kalau tidak salah namanya itu..Uh.. Silvia? Ya, mungkin Silvia. Yang jelas wanita itu ketua kelas dan cukup terkenal di satu sekolahan ini.
“Pak Randy mendapat kecelakaan semalam,” ujar pria berjas lab itu. Kecelakaan saat malam? Sebenarnya kecelakaan di kota ini tidaklah terlalu banyak, terutama bagi guru killer yang satu ini. Dia cukup was-was juga disiplin, tidak mungkin kan terkena kecelakaan begitu saja? “Mereka bilang penyebabnya adalah tabrak lari,” pak Christian—Chris untuk singkatnya karena aku terlalu malas—membaca sebuah memo yang sepertinya cukup penting. “Berdasarkan rumor, pelaku sepertinya menabrak pak Randy dengan sengaja,” ujarnya lebih lanjut. Tunggu, kalau dengan sengaja maka tidak mungkin ini menjadi sebuah kecelakaan kan? Orang-orang dendam di kota yang damai seperti ini? Kau pasti bercanda bung!
“Ah ya, pak Randy bilang tentang senjata mitos Pasupasatra kan?” Mata malasnya itu menatap murid-murid dengan seksama. Tentu saja kebanyakan dari mereka menyembunyikan tentang pr yang ditinggalkan itu. Orang itu pun langsung menghela nafas. “Baiklah aku mengerti, kalian tidak mengerjakannya kan?” Benar-benar guru terbaik! “Ya kalian beruntung pak Randy tidak masuk, jadi mari kita lanjutkan tentang senjata mitos itu.”
Satu-satunya yang aneh di sekolahku hanyalah satu, meskipun semuanya biasa layaknya sekolah normal, tapi sekolah ini mempunyai pelajaran khusus tentang senjata mitos. Ya karena kebanyakan siswanya adalah seorang penyihir–termasuk aku, jadi mereka mengajarkan tentang senjata mitos untuk meningkatkan kekuatan kami.
“Pasupasatra–atau pasopati untuk singkatnya adalah senjata yang diberikan oleh dewa Syiwa...” Bla bla, aku sudah tau tentang hal itu. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui tentang pelajaran sebelum dijelaskan itu membosankan, terutama ketika ada seorang siswa yang merasa dia sudah tau segalanya lalu mau menyombongkan diri. “Senjata itu diberikan kepada Arjuna karena pertapaannya selama pengasingan kan pak?” Dan itulah yang aku maksud, seorang siswi tiba-tiba saja berdiri dan berseru seperti itu. Menyebalkan bukan? Nama perempuan itu adalah Rachel Frost. Dia itu uh mempunyai penyakit seperti merasa dirinya itu seorang putri dan menganggap orang-orang itu lebih rendah darinya.
Ya tapi kuakui dia itu lebih cantik dibandingkan Lucia sendiri, hanya saja tingkahnya sedikit membuatku muak. Ayolah, merasa seperti bos? Kerja saja belum, pfft. “Ya, beberapa yang diucapkan Rachel itu benar,” guru berjas lab itu malah memuji gadis itu, membuat seluruh kelas menepuk tangan mereka kecuali aku. Lihat wajahnya, ugh benar-benar wajah sombong yang bangga akan dirinya sendiri, menyedihkan.
“Tapi,” guru berjas lab itu membuka mulutnya lagi. “Meskipun kau benar, kau tidak boleh terlihat sombong dihadapan temanmu,” ujarnya lagi. Wah ini dia seperti yang diharapkan dari pria tua itu, dia selalu tidak terima dengan murid-murid seperti Rachel. Banyak murid-murid disekolahan yang membicarakan pria itu karena ketidaksukaannya. Wajah yang tadinya dihiasi dengan senyuman sombong itu beralih menjadi wajah muram dan sedikit bumbu amarah di dalamnya. “Ya tapi jawabanmu itu benar. Benar tetaplah benar,” lanjutnya. Tentu saja Rachel duduk dan masih mempertahankan wajah cemberutnya itu. Ya itu sih wajar karena mana mungkin manusia dengan harga diri yang terlalu tinggi itu menerima sebuah kritikan yang membuat dirinya dipermalukan. “Baiklah ayo kita lanjutkan pelajaran kita,” dan pelajaran pun berlanjut seperti biasa.

Beberapa jam kemudian setelah pelajaran guru killer itu selesai, bel pun berbunyi. Ah akhirnya istirahat, aku ingin makan. Pelajaran yang berat itu membutuhkan makanan yang cukup bergizi, artinya aku lapar. “Reiner, bisa ikut bapak sebentar?” Mendengar hal itu, tentu saja aku terkejut. Kau tau kan apa yang biasanya terjadi bila seorang murid pemalas dipanggil? Teman-teman sebelahku menatapku dengan tatapan menakut-nakuti. “Rainy, sepertinya kau akan dihukum, hahaha,” menyebalkan! Ah sudahlah, tidak baik mengurus mereka.
Sambil membawa bekal, aku berjalan ke arah pria itu lalu mengikutinya. Sepertinya dia hendak menuju ke atap, tempat favoritku untuk makan. “Tak perlu takut, aku tidak memanggilmu untuk menghukummu,” ujar pria itu saat kami menaiki tangga menuju ke atap.
Tidak membutuhkan waktu lama hingga kami menggapai pintu atap sekolahan. Dia membukanya lalu bisa kurasakan angin bertiup melewati rambutku. Ah segarnya.
“Mari kita langsung saja,” tiba-tiba saja pak Christian menatapku dengan matanya yang terlihat sangat malas dengan hal-hal yang menyusahkan. Tunggu, apakah itu artinya aku juga termasuk orang yang menyusahkan? “Kau tau kan kecelakaan dari guru killer itu bukanlah kecelakaan biasa,” ujarnya. Percakapan terdengar semakin serius sekarang, sebenarnya apa yang terjadi? Aku masih tidak paham. Aku pun membuka mulutku, “ya lalu?” Tanyaku dengan nada yang tidak kalah datar darinya.
“Demolish sudah berulah, dan Randy adalah salah satu dari korban mereka,” tuturnya. Wow, kejadian-kejadian seperti ini benar-benar tumben sekali. Terutama penyerangan dari kaum Demolish. Mereka sudah berani menunjukkan taring mereka rupanya. “Jadi bisa dibilang karena kau adalah salah seorang anggota keluarga yang memegang perlindungan di kota ini...” Ya-ya banyak orang yang terlalu menyerahkan beban kota ini padaku. “...kuharap kau mengatakan itu kepada orang tuamu dan segera memulai pelatihanmu,” lanjutnya. Pelatihan? Pria ini meremehkanku? Sejak kecil ayahku sudah mulai melatihku dengan hal-hal fisik seperti parkour. Aku tidak tau tujuannya apa tapi aku sudah termasuk golongan terlatih soal ini.
“Dan senjata pasupasatra itu ada dan masih ada hingga sekarang,” tunggu, jadi senjata itu nyata?! “Tunggu! Pasupasatra itu nyata?!” Seruku. Bagiku yang terobsesi dengan senjata-senjata mitos itu merupakan kabar yang cukup menggembirakan! Paling tidak aku bisa ikut berburu senjata sakti itu.
“Lalu apakah kaum Demolish sudah tau?” Tanyaku langsung. Entah kenapa instingku berkata kalau percakapan ini berkaitan dengan kaum Demolish yang mencoba mengambil alih senjata pusaka yang termasuk sangat kuat dan terkuat di dunia. “Bapak tidak terlalu tau mengenai itu, tapi yang jelas akan sedikit gawat kalau mereka mengetahuinya,” ujar pria tua itu. “Lebih baik kau bertanya kepada orang tuamu dan mungkin sebagai penyihir muda, kau akan mendapatkan tugas itu.”
Tugas untuk mencari senjata pusaka ya? Tidak terdengar begitu buruk, ya aku sedikit menyukainya. Terutama panah pusaka pemberian dewa penghancur yaitu Syiwa. Pasti sangat keren kan kalau melihat efek senjata itu ketika digunakan? Menurut mitos, ujung dari anak panah itu berbentuk bulan sabit. Yeah, aku yakin itu pasti keren. Petualangan mungkin akan dimulai sekarang.
“Baiklah aku mengerti,” ujarku. Senyuman kecil secara tidak sengaja aku tunjukkan sebagai rasa puas karena mendengar bahwa senjata itu memang ada dan memang nyata. Pak Christian tersenyum sebentar. “Kalau begitu sepulang sekolah nanti, usahakan langsung bicara mengenai ini kepada ayahmu, oke?” Aku hanya membalas dengan sebuah anggukkan.
Setelah kejadian itu, aku kembali ke kelasku. Baru saja setengah jalan untuk menuju kelas, gadis itu muncul lagi. Ya, gadis kemarin yang memasakkan makan malam untukku juga sedikit norak itu, Lucia ‘First’ ingat?
“Lucia?” Aku menatap Lucia yang kebetulan berada di lorong yang sama denganku. Manik kebiruannya itu menatapku dengan polos. Jujur saja, sebetulnya aku tidak terlalu tahan dengan gadis polos–senorak apapun dia, tapi kalau masih polos, cantik, dan mempunyai skill untuk menjadi istri idaman, pasti aku takkan tahan.
“Berhentilah menatapku seperti itu,” nadaku kubuat-buat sedikit dingin untuk menghindari tatapan yang bisa membuatku merasa aneh itu.
“Reiner, apa pak Christian berkata hal yang aneh kepadamu?” Aneh? Pff, bagian dari “senjata pusaka” mana yang menurutmu tidak aneh? Ah ya aku lupa kalau dia tidak ikut berbicara padanya. “Ya begitulah,” aku mengangguk singkat. “Kami membicarakan suatu hal yang tidak ada kaitannya denganmu,” ujarku lagi. Ya yang jelas dia belum boleh tau sekarang.
Dia membuka mulut kecilnya. “Membicarakan apa?” Duh, yang benar saja! Wanita yang selalu penasaran itu membuatku terganggu. Karena saat kau berpacaran dengan gadis seperti ini, ada kemungkinan dia akan mencurigaimu bahkan sebelum kau melakukan hal yang ia pikirkan.
“Aku akan memberi taumu nanti saat pulang sekolah,” ujarku. Tanpa menunggu respon darinya, aku melanjutkan tujuanku untuk berjalan ke kelas. Eh tunggu, bukannya aku mau makan ya?
“Reiner!” Dia menarik lenganku. Gah! Apa lagi sekarang? “Apa lagi? Ayolah aku mau makan!” Ya! Perut ini sudah meraung-raung meminta untuk diberi makan. “Ya aku tau kamu mau makan,” Lucia berkata dengan nada seakan dia sedikit sedih. “Karena itu, bagaimana kalau makan bersama lagi?” Saat aku menolehkan kepalaku, aku melihat pupil mata berwarna biru itu menatap mataku dalam-dalam.
“Kita baru saja melakukan hal itu kemarin malam, kau ingat?” Apapun yang terjadi, aku harus menghindari situasi seperti ini! Alasannya? Karena aku tidak mau terlibat dalam hal-hal percintaan.

***

Pada akhirnya situasi makan bersama tadi tidak bisa dihindari, ya sekarang aku berada di atas atap bersama gadis itu. Dia tampaknya bahagia sekali, bahkan sesekali aku mendengarnya bersenandung.
“Jadi apa sekarang?” Tatapan bosan dan datar itu aku lampiaskan pada gadis itu. Dia membalas menatapku dengan wajah ceria. “Tentu saja kita makan!” Serunya. Astaga.. apakah otaknya itu bodoh? Tentu saja aku tau setelah ini kita harus makan.
“Maksudku,” aku berkata dengan penekanan. “Kenapa dengan tumbennya mengajakku makan?” Tanyaku, melanjutkan ucapan. Lucia berpikir sebentar. Biasanya aku benci tapi ya apa boleh buat.
“Entahlah,” balasnya. Eh? Entahlah katamu?! Aku tidak punya waktu untuk ‘entahlah’ mu itu, dasar sial! “Yang jelas sudah lama kita tidak makan bersama,” lanjut gadis itu lagi. Lagi-lagi dia tersenyum padaku. Ah sudahlah terserah, memangnya aku peduli?

Saat sedang asik makan, aku berkata sesuatu kepada Lucia. Ya, tentang senjata pusaka itu, mau tidak mau harus kukatakan padanya. Keluarganya dan keluargaku itu sama-sama orang penting di perserikatan sihir. Bakalan repot nantinya kalau tidak diberitahu.
“Lucia,” panggilku. Dia menoleh. “Masih ingat dengan penjelasan pak Christian tadi?” Karena guru pemalas itu sudah membahas tentang senjata pusaka milik Arjun itu, aku yakin dia tau. Paling tidak, dia ingat.
“Tentang uh.. Pasu–pasu apalah itu, aku lupa,” Lucia menatapku lalu tersenyum bak anak polos. Aku—sejujurnya—mulai sedikit jijik dengan sikap yang disok moe-moe kan itu. “Berhentilah bersikap manis,” ledekku. Lucia sedikit cemberut, tapi ya sudahlah. Itu sudah kebiasannya.
“Yang jelas, senjata itu ada,” kataku. Dengan rasa tidak percaya–ya aku bisa melihat itu melalui matanya, dia tidak percaya dan berkata, “Reiner tidak bercanda kan? Bukannya seharusnya itu hilang?”
“Aku sendiri tidak percaya, tapi itulah yang terjadi,” sahutku. Yang terpenting sekarang adalah memberitahu ke keluarga masing-masing. Ya aku yakin itu yang terpenting. “Yang jelas bilang berita tentang itu pada orang tua mu, oke?”
Dia mengangguk sebagai tanda paham. Aku yakin dia paham karena anggukannya sedikit keras kali ini.

Setelah hal itu, kami sedikit berbincang-bincang dan menghabiskan makanan hingga bel membunyikan akhir dari istirahat kami.


***

[Light Novel] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 2

Fiuh akhirnya aku bisa duduk di sofa ku yang empuk ditemani dengan tv LED. “Lucia, aku ingin coklat dan kangkung untuk hari ini,” pintaku dengan datar. “Ketidaksopanan hanya berlaku pada sahabat.” Yap, itulah mottoku dalam hidup yang sesaat ini. Karena menurut pengalaman, kalau kau bertingkah tidak sopan terhadap orang yang bukan sahabat, kemungkinan mereka akan memarahimu dan yang terburuk adalah melemparimu dengan benda yang ada disamping mereka.
“Kangkung? Memangnya ada?” Lucy membalas pertanyaan dengan pertanyaan. “Tentu saja ada! Seharusnya cek dulu lemari esnya, baru bicara,” balasku dengan sarkas. Aku tidak tau gadis itu sedang melakukan apa, biasanya sih setelah aku mengejeknya, dia pasti mengembungkan pipinya lalu sok marah-marah walau pada akhirnya dia tetap saja memasakkan permintaanku. Ah beruntungnya aku.
“Kecelakaan terjadi di jalan–“ ah ini dia, berita yang teraktual. Kebanyakan berita di dunia ini mulai mengesampingkan fakta dan mencuci otak orang-orang yang menontonnya, tapi beberapa juga lebih memilih fakta dibandingkan opini. Opini itu membunuh, setidaknya itulah pendapatku tentang opini. “Woh? Akhir-akhir ini kecelakaan marak terjadi ya?” Gadis itu sepertinya ikut menonton televisi sambil memasakkan makan malam untukku dan untuknya.
“Begitulah,” balasku. Sesaat aku bergumam dalam hatiku yang masih bersih ini, “mungkin mereka beraksi lagi.” Ah aku yakin kalian bertanya-tanya siapa itu “mereka”. Karena aku tidak ingin kalian kecewa dengan label genre action dan fantasy yang tertera, aku akan menjelaskannya. Jadi “mereka” ini adalah orang-orang aneh dari dunia yang berbeda dari kita, manusia. Kebanyakan dari mereka ini tidak terlihat karena tidak ingin dilihat dan suka sekali menimbulkan kekacauan demi keuntungan semata.
Tapi mari tidak stereotype, orang tuaku bilang beberapa dari mereka itu baik dan mengontrol karena tidak ingin ada kehancuran bagi bumi pertiwi yang kita cintai ini. Tapi, karena aku belum pernah bertemu makhluk dengan sifat positif ini, aku takkan berpikir demikian. Nama ras dari “mereka” adalah “Demolish” yang artinya jika diartikan ke bahasa kita adalah memusnahkan, menghancurkan dan–kalian bisa mencari di giggle kalau kalian mau tau lebih banyak tentang terjemahan dari kata itu.
“Dan sudah jadi!” Lucia berteriak lagi, tidak terlalu kencang tapi tetap saja kencang. Saat aku membalikkan badan untuk melihat meja makan itu, bau dari sayur kangkung favoritku itu sudah tercium. Di meja makan itu sudah dipenuhi dengan sayuran kangkung, nasi, coklat juga hidangan penutup seperti buah-buahan. Sudah cantik, pintar dalam hal memasak pula. Benar-benar istri idaman, sayangnya norak.
“Akhirnya,” sahutku saat berlari kearah meja makan untuk mencicipi sayuran itu–tentu saja menggunakan tangan. “Hei!” Gadis itu berteriak sambil memukul tanganku. “Jangan asal ambil!” Katanya. “Kalau kau mengambil, berarti kau yang memimpin doa!” Ah ya, itu sudah tradisi antar keluarga kami, yang mengambil makanan terlebih dahulu, dialah yang harus memimpin doa. “Bukannya hampir setiap kau memasak, aku yang memimpin?” Aku membalas argumen milik Lucy guna mempertahankan diri. Oh ayolah, hampir setiap saat aku yang memimpin doa.
“Itu karena kau ini laki-laki,” tuturnya sambil menjulurkan lidahnya yang mungil. Ugh.. lagi-lagi sensasi moe. Baiklah cukup, sambil aku akan memimpin doa, aku—sebagai sang narator dan tokoh utama—akan menjelaskan beberapa hal tentang keluargaku dan keluarga Lucia.

Reiner, ya itulah keluarga dengan kekuatan sihir terbesar yang pernah ada di kota ini, bersama the ‘First’ sebagai partner dan penyeimbang, keluarga kami menjaga keseimbangan kota ini. Keluargaku–yaitu Reiner (dan itu adalah nama depanku) adalah keluarga dengan generasi turun temurun dimulai dari Yunani. Entah kapan permulaannya tapi yang jelas semuanya dimulai dari kota pemuja dewa Zeus, Poseidon dan Hades itu. Ayahku adalah seorang magus yang luarbiasa jenius, ibuku tidak terlalu jenius tapi instingnya luar biasa. Dan menurut kalian apa yang terjadi saat dua orang itu bertemu lalu mempunyai keturunan? Yang dihasilkan hanyalah bocah yang mudah bosan dan tidak terlalu tertarik dengan apa yang dunia ini lakukan–yaitu aku. Diantara semua generasi keluargaku, ada satu orang yang tidak mempunyai kekuatan sihir yang bagus. Yang aku tahu–berdasarkan buku di perpustakaan pribadi milik keluargaku–orang itu adalah satu-satunya orang yang bisanya menghisap sampel dari sihir orang lain lalu menyalinnya dan menjadikannya sebagai kekuatan utama. Orang-orang dari perserikatan sihir lebih suka menyebutnya sebagai “absorption”.
Kabarnya ada dua orang di dunia ini yang dipilih dan sanggup untuk menguasai dan menggunakan kekuatan itu hingga tahap akhirnya. Konon katanya orang-orang ini mampu menyerap nyawa, manna (nama tenaga dalam milik seorang magus) juga menyalin serangan musuh tanpa harus menyentuh musuh itu sendiri. Salah satu dari mereka adalah pahlawan Yunani yang cukup terkenal–anggota keluargaku dan yang lain itu tidak terlalu diketahui kabarnya, latar belakangnya, atau bagian dari keluarga mana. Sedangkan keluarga dari Lucy, yaitu the ‘First’ adalah keluarga pertama yang berhasil menguasai seni sihir netralisir. Bisa dibilang sihir ini mampu untuk menetralisir sihir lain dan kekuatan ilahi lainnya. Keluarga ini lahir di Jepang dan beberapa dari anggota keluarga ini mengenakan cincin bernama “Imagine Breaker Ring” untuk menetralisir kekuatan ilahi itu. Karena tidak semua dari anggota keluarga the ‘First’ mampu menegate (sebutan lain untuk menetralisir) tanpa bantuan dari kekuatan yang kekal, jadi mereka menggunakan cincin itu.
Dan itulah dia akhir dari penjelasanku tentang keluargaku dan wanita norak tadi itu. “Hmm..” Sesekali aku melirik kearah Lucia. “Rasanya enak, seperti biasanya,” ujarku padanya. Lucia sepertinya tidak mendengarku, ah sudahlah biarkan saja. Lalu mungkin kalian bertanya-tanya tentang keseimbangan apa yang kubicarakan itu, ya bisa dibilang beberapa dari kami membasmi kaum Demolish itu. Karena menurut mereka manusia itu lemah, bodoh dan tidak mempunyai kekuatan apa-apa. “Reiner Reiner!” Lucia tiba-tiba memanggilku. Ya aku sedikit terkejut karena saat aku berbicara dengan kalian, pasti aku akan terlihat seperti melamun. “Hmm?” Aku hanya melirik singkat padanya. Ada dua kemungkinan kenapa Lucia memanggilku saat sedang makan. Yang pertama karena dia sedang membingungkan sesuatu dan yang kedua karena dia sedang membahas orang lain–yang artinya bergosip.
“Apa kau tau tentang anak dari kelas sebelah itu?” Lucia tampaknya bahagia sekali membicarakan orang lain, entah apa yang salah dengan kepalanya itu. “Mereka bilang anak itu sangat keren dan berwajah ganteng lho,” lanjutnya lagi. Saat dikelas, aku memang tidak terlalu aktif dalam hal bergaul, ya kalian boleh menyebutku anti-sosial tapi aku bukan salah satu dari mereka yang mengaku-ngaku anti-sosial. “Hmm, begitu ya?” Tentu saja aku hanya menjawab dengan malas. Siapa yang peduli?
Lagi-lagi Lucia menatapku dengan tatapan tidak suka miliknya yang khas. Sebenarnya tidak terlalu khas karena dia menirukan heroine heroine di kartun Jepang itu. “Berhentilah bicara, aku sedang mencoba menikmati makananku,” tuturku. Jujur saja, aku lebih suka makan sambil membaca berita di internet daripada membahas tentang orang lain yang bahkan aku tidak tau siapa namanya. Ya itu tidak penting dan bahkan tidak berhubungan dengan cerita ini.

Jarum jam sudah menunjukkan angka 10 yang artinya sudah malam dan seharusnya aku sudah tidur. Lucia sudah pulang dan yang tersisa hanyalah beres-beres sedikit. “Merepotkan seperti biasanya,” ucapku seraya berjalan ke kamar. “Mereka takkan pulang lagi ya malam ini?” Orang tua ku terbiasa tidak pulang dikarenakan urusan mereka dengan serikat sihir. Ya untunglah sang dewa sudah mengirimiku maid serba guna yang bisa kupakai sepuasnya. Tentu saja bukan untuk hal mesum.
Alasan yang pasti kenapa orang tuaku selalu mendapat urusan dengan serikat sihir adalah karena mereka itu orang penting disana dan mereka sudah mendapat wilayah tersendiri untuk dijaga, yaitu kota ini. Kota dimana aku, Lucia tinggal. Tidak terlalu merepotkan tapi banyak hal yang mudah membuatmu membosankan, jujur saja.


***

Sementara itu di tempat lain, tampak dua orang misterius saling berbicara satu sama lain. Seperti sebuah negoisasi atau pertukaran barang ‘gelap’. “Kau sudah dapat barangnya?” Ujar pria pertama. Anggukkan kecil ditunjukkan oleh lawan bicaranya. “Kudengar mereka sedang tidak ada di kota dan kudengar senjata dewa juga sudah ditemukkan lokasinya,” lanjut pria pertama. Mereka membicarakan hal-hal sakti seperti senjata dewa yang artinya mereka bukanlah manusia biasa. Kaum penghancur yang suka menghancurkan apa saja demi hiburan semata, ya itulah mereka sang Demolish yang suka menjunjung tinggi kaumnya sendiri dan meremehkan kaum lain. Bahkan dewa pun sempat diremehkan oleh mereka.
“Pasupasatra sudah ditemukan dan itu berada di negeri payah bernama Indonesia,” jelas orang itu. Untuk informasi kalian, Indonesia adalah negara yang terkenal karena banyaknya pulau-pulau dan juga budayanya. Yang paling terkenal di sana adalah perwayangannya–setidaknya itulah yang aku sukai. Cerita perwayangan disana diadaptasi dari agama Hindu di India lalu dimodifikasi sendiri, untuk lebih lanjut kalian bisa menontonnya sendiri.
Indonesia ya? Bukannya keturunan dari anak Bima ada disana?” Pria pertama itu menjawab dengan santainya. Anak dari Bima yang dimaksudkan oleh pria besar tadi itu bisa dibilang Gatotkaca beserta kedua saudara laki-lakinya. “Maksudmu orang yang terkenal karena otot kawan dan tulang besi itu disana?” Raut wajah sedikit takutpun  dikeluarkan oleh temannya. “L-lalu bagaimana kita bisa mengambilnya?!” Tentu saja mereka takut. Demolish sudah ada di dunia ini sejak berabad-abad yang lalu, dari jaman awal bumi diciptakan hingga era modern ini. Aku—sang narator—tidak terlalu tau pasti tentang alasan kenapa mereka ada di dunia ini, yang jelas mereka ada dan sudah ada.
“Jangan remehkan kaum Demolish yang sekarang,” seru orang baru yang tampaknya memasuki tempat yang gelap itu. Langkah boot miliknya terdengar saat orang itu berjalan dan menunjukkan wajahnya dari balik kegelapan. “Kita sudah menjadi kuat kan? Aku  yakin anak Bima tidak akan bisa melukai kita,” ujar orang itu dengan sombong. “T-tapi tetap saja kita selalu kalah!” Pria bertubuh besar yang penakut tadi itu pun membalas dengan suara sedikit lantang walaupun ketakutan masih bisa dirasakan disetiap suaranya yang menggema itu.
Seringaian anehpun keluar. “Heh? Kita bisa mencurinya tanpa harus diketahui oleh orang itu,” sejak dulu, putra dari Bima ini sudah bisa merasakan seorang Demolish dari jarak yang tergolong jauh sekali. Mereka tidak bisa merasakannya tapi dia bisa merasakan mereka. Sangat bertolak belakang, karena itu kebanyakan dari kaum Demolish sendiri takut akan dia yang dianggap putra Bima. “Kita tau keturunan orang itu tak mungkin sehebat leluhurnya.”
“Kau benar, mungkin saja dia sudah melemah sekarang, Indonesia sendiri sudah terlalu banyak menceritakan kita,” ujar pria pertama itu, tampak mulai memberanikan dirinya. Seringaian yang menggambarkan akan adanya ide jahat itu pun timbul di wajah mereka bertiga, sepertinya kaum mereka sendiri sudah mempersiapkan banyak hal untuk mencuri panah legendaris itu.
“Kita tinggal menunggu bos memberi perintah regional,” imbuhnya. Demolish itu ada dan sudah ada, artinya jumlah mereka tergolong sangat banyak–meskipun tidak sebanyak manusia. Ada kemungkinan mereka tersebar di berbagai negara layaknya organisasi gelap yang mempunyai daya pengaruh konspirasi besar terhadap dunia. Bedanya disini, mereka tidak berkonspirasi. Mereka hanya suka menguasai dunia dengan membuat manusia dibawah kaki mereka.

***

Minggu, 25 Januari 2015

[Light Nove] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 1
“Hei!” Malam itu, seseorang menyerukan sesuatu padaku yang tengah tertidur. “Bangunlah! Kau tidak ingin ada nyamuk yang menggigitmu kan?” Ugh, suaranya terlalu lantang bahkan bisa mengganggu tidurku yang nyenyak ini. Dengan perlahan, aku membuka mataku dan aku menemukan gadis itu tepat diatas kepalaku–tentu saja jaraknya tidak terlalu dekat, hati-hati dengan pikiran kalian!

“Nah bagus seperti itu,” ucap perempuan itu. Tch, siapa sih orang ini? Eh tunggu.. “Reiner!” Teriakan yang cukup memekakan­­­­­­. Mataku langsung terbelalak saja menatap gadis itu. Gadis yang sedikit norak, ceroboh juga bodoh—ya tapi tetap saja dia itu teman masa kecilku. “Berhentilah berteriak!” Seru ku, dengan cepatnya aku bangun dan menemukan sudah tertidur di rerumputan dekat sungai—tempat favoritku. “A-ah.. Sudah berapa lama aku tertidur?” Tanyaku padanya. Ah tentu aku lupa memperkenalkan diriku.
Namaku Reiner, ya tapi teman-teman sekelasku lebih suka memanggilku dengan sebutan “Rainy”. Mungkin mereka menyamakanku dengan hujan dalam bahasa inggris.
“Sudah puas melamunnya?” Dengan pupil mata berwarna biru langit itu dia menatapku. “Re-i-ner,” gah, baiklah dia mengeja seakan aku ini pasangan hidupnya. Ngomong-ngomong, gadis itu bernama Lucia First. Kenapa namanya Lucia ‘Pertama’? Jangan tanyakan padaku, lebih baik kau menanyakan langsung kepada dua orang yang “membuat” wanita berisik ini.

“Ingatlah kita ini bukan sepasang kekasih dan ya, aku sudah puas melamun,” jawabku langsung. Kenapa sebelumnya aku berada disini? Semua berawal dari pulang sekolah tadi—kita akan memundurkan waktu. Sekitar pukul 3 sore setelah semua pelajaran selesai dan ya, murid-murid gembira karena bisa pulang (itu kebiasaan). Hari itu adalah hari senin­­­, hari yang cukup menakutkan bagi kami—kaum pelajar. Disaat pulang sekolah biasanya aku selalu pulang bersama wanita yang tadi berisik sampai membuat telingaku hampir pecah itu. Aku berjalan menuruni tangga ke lantai pertama bersama gadis itu, karena ya kelasku berada di lantai dua dan itu melelahkan.
“Rainy!” Seseorang memanggilku saat aku hendak keluar dari gedung yang cukup megah itu. “Ha?” Dipanggil Rainy setiap hari itu sedikit merepotkan, terutama saat musim hujan. Mengerti? Musim hujan? Baiklah ayo lanjut saja.
“Besok itu kan pelajaran guru killer..,” dengan sedikit malu-malu—wait what!? Y-ya dia memang tidak terlihat seperti malu karena suka atau lainnya, lebih tepatnya dia seperti hendak meminta bantuan–ya semacam itu. “Dan Pr ku belum selesai, jadi besok bisa kupinjam catatanmu?” Pinta pria itu. Ya inilah dia orang-orang di kelasku, selalu ada saat membutuhkan saja.

Aku hanya memberikan anggukkan malas saja lalu berjalan pulang tanpa menghiraukan reaksi atau jawabannya. Pfft, persetan. Sedangkan Lucia–biasa dipanggil Lucy atau ‘Pertama(x)’ sebagai ejekkan–tampak tersenyum kecil dengan pria itu lalu mengejarku. Ya mungkin dia suka dengan orang itu, ma bodo amat.
“Hei Reiner, bukannya kau seharusnya sedikit lebih ramah?” Lucy berkata seperti itu padaku, dia menekankan kata “ramah” dan “sedikit”, ngah aku yakin ini sebuah ejekkan.
“Apa ini? Aku tak percaya gadis norak sepertimu menghinaku yang tampan ini,” helaan nafas dan ucapan sarkastikku saling beriringan. Mungkin kalian takkan percaya tapi aku ini selalu bisa mendapatkan pacar hanya dengan sekali tembak. Mereka bilang aku ini pro, ya baiklah itu bukanlah masalah.

Akhirnya sampai, pemandangan yang indah ditambah pantulan cahaya matahari yang hendak tenggelam itu mewarnai beningnya sungai di bawah jembatan itu. “Nikmatnya hidup,” gumamku saat menikmati hembusan-hembusan angin. Disinilah aku merasa bisa rileks dari segala beban hidupku yang menyusahkan–termasuk gadis tadi. Lucia tampak menatapku dan tersenyum disaat bersamaan. ‘Ha? Berhentilah tersenyum seakan kau menyukaiku,” ledekku langsung dan ya.., senyuman tadi itu berubah menjadi hawa yang sedikit ‘menyeramkan’/ “H-ha?!” Balasnya dengan teriak.
“Jangan seenaknya berkata begitu hanya karena kita teman kecil!” Yap, wanita itu memang marah.
Setelah sedikit beradu mulut tadi, aku dan gadis itu duduk di tepi sungai. Dia memandangi sungai sedangkan aku bermain dengan ponsel pintarku itu. Haha, tak ada di dunia ini yang mampu memodifikasinya seperti aku. Ya bukannya aku sombong tapi–“Reiner?” Gadis itu memanggilku sebelum aku menyelesaikan kalimatku tadi, tch. “Kenapa tiba-tiba kau tersenyum sendiri?” Lanjutnya lagi. Aku membuang muka lalu berkata, “bukan urusanmu,” acuh tak acuh aku berkata seperti itu. Dia hanya memasang tampang bingung—atau biasa disebut tampang bego oleh orang-orang.
Beberapa menit setelah itu, gadis itu membuka mulutnya. “Reiner, pak Randy kemarin memberikan tugas kan?” Ujarnya. Dengan sikap sok sibukku, aku mengangguk dan berkata iya kepadanya. “Memangnya kenapa?” Lanjutku, masih sok sibuk dengan ponsel touch screen milikku.
“Tugas itu tentang panah terkuat di dunia kan?” Eh tunggu, benarkah? “Hmm?” Manik berwarna coklat milikku itu hanya menatap Lucia sesaat. Tatapan bingung pun terpancarkan dari wajahku. “Benarhkah?” Kataku.
“Eh? R-reiner tidak ingat!?” Ekspresi terkejut yang-sedikit-atau-bisa-disebut-berlebihan itu keluar. Hal kedua yang harus kalian ketahui tentang Lucia, dia terlalu banyak menonton kartun Jepang.
“Kalau tidak salah namanya Pasu..uh..,” dia bahkan tidak ingat, memalukkan. “Yang jelas itu panah Arjuna kan?” Sahutku langsung tanpa peduli dia mau menyelesaikan kalimatnya atau tidak. “Orang-orang memang berkata itu adalah panah terkuat di dunia,” tuturku saat selesai bermain dengan gadget.

“Yang jelas, namanya adalah pasupasatra atau pasopati untuk singkatnya,” aku menjelaskan kepada gadis itu dengan nada santai. Hahaha, senjata-senjata mitos seperti itu ya tentu saja aku mempunyai pengetahuan yang cukup. Menurut agama Hindu, panah itu adalah pemberian dari sang Mahadewa yaitu dewa Syiwa sang penghancur. Pemiliknya tidak lain adalah Arjuna. Menjelaskan hal seperti ini kepada Lucia adalah tugasku dari kecil hingga sekarang. “….Arjuna memiliki panah ini karena meditasinya,” itulah akhir dari penjelasanku kepada sang gadis. Dia hanya mengangguk-angguk seakan mengerti apa yang aku katakan–walaupun aku tidak yakin dia mengerti.
Setelah semuanya selesai, aku membaringkan tubuhku yang ramping ini ke tanah yang berumput. Ah lagi-lagi hembusan angina menyerangku dan tempat itu dengan lembut, benar-benar menyenangkan. Membuatku merasa mengantuk. Aku tak tau dengan Lucia, yang jelas mataku menutup dengan sendirinya.
Dan setelah itu, disinilah kita sekarang, dimana matahari sudah tenggelam dan aku dibangunkan oleh gadis norak tadi dan ya masih berada di tepi sungai itu.
“Reiner!!” Lucia lagi-lagi berteriak tepat di dekat telingaku. “Lagi-lagi! Kau tersenyum sendiri dan melamun!” Serunya lagi, belum puas untuk menghancurkan telingaku. “Maaf-maaf!” Balasku langsung. Sudah dua kali telingaku dibuat sakit untuk hari ini, aku tidak ingin merasakan yang ketiga kali. Tentu saja tidak mau! Siapa yang mau merasakan hal seperti itu?!
“Dan berhentilah berteriak!” Teriakku lagi. Gadis yang menyusahkan, pikirku. Helaan nafas karena lelahpun aku keluarkan, kalau saja dia tidak cantik pasti sudah aku jauhi. “Reiner, ini sudah larut, bagaimana kalau pulang?” Apa ini? Sesaat ekspresinya mengeluarkan semacam aura manis dan cantik yang bercampur-aduk menjadi satu. Inikah yang dinamakan moe dari negeri sakura itu? Eh tunggu, apa yang kubicarakan?
Dengan senyuman santai, aku mengangguk dan berdiri. “Baiklah baiklah, ayo pulang,” ucapku menuruti keinginannya. Lucia tampak senang karena aku menyetujui permintaannya lalu dia berdiri menyusulku. “Ya walaupun orang tuaku belum pulang, bagaimana kalau membantuku memasak?” Kataku, melanjutkan. Karena kami adalah teman dari kecil yang artinya kami selalu bersama dan bisa dibilang rumah kami bersebelahan, jadi Lucia–atau Lucy untuk singkatnya–sering membantuku membuatkan makanan saat orang tua kami tidak ada. Ya walaupun aku terlihat lebih sering duduk di sofa dan menonton tv sedangkan dia memasak layaknya seorang maid dan master. Eh tunggu, ini tidak ambigu kan? Menurutku sih normal kecuali pikiranmu buruk dan mesum.

***