Part 3
“Rainy!”
Lagi-lagi seseorang berteriak kepadaku, ya untunglah dia tidak berteriak di
dekat telingaku, ah ngomong-ngomong latar waktu kita adalah di pagi hari yang
cerah sesudah kemarin saat aku makan malam bersama Lucia, dan ya aku ini
manusia biasa yang menuntut ilmu di sekolah biasa. Hanya karena keluargaku itu
keluarga penyihir, bukan berarti sekolahku adalah sekolah sihir yang megah,
luar biasa dan tidak terkalahkan. Kau pikir kau hidup dimana? Dunia kartun?
“Hei Rainy!”
Yap, aku sedikit melamun tadi dan orang yang memanggilku kini sudah ada di
depanku. Orang yang kemarin memintaku untuk membantunya menyelesaikan catatan.
Kebiasaan kedua seluruh pelajar di dunia ini yaitu PSPP, artinya Pekerjaan
Sekolah Paling Pagi. Ya itu kudapat dari guruku dulu waktu SD, yang artinya
kebanyakan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya di sekolah pada waktu pagi
sekali sebelum banyak siswa menunjukkan batang hidungnya. “Aku mengerti,
catatan kan?” Jawabku langsung. Antara malas dan tidak, aku mengambil buku yang
tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis dan menaruhnya di atas meja.
“Nah begitu
dong!” Ha? Bukannya terima kasih malah teriak kegirangan seperti diberi hadiah
saja. Bocah yang merepotkan. “Lebih baik cepat selesaikan semua lalu berikan
kepadaku lagi,” ujarku dengan malas. “Oke?”
Dia hanya
mengangguk. Ah untuk namanya, aku tidak terlalu ingat tapi yang jelas dia itu
menyusahkan, teman sekelas dan pasti kelompoknya bergaul itu suka memanggil
orang lain dengan nama julukkan yang mereka buat. Contohnya memanggilku dengan
panggilan ‘Rainy’ tadi. “Baiklah tenang saja Rainy, aku ini orang yang baik
hati–,” tuturnya. Dan dia mulai berbasa-basi dengan orang yang bahkan tidak
terlalu mengenalnya, semua manusia itu menyusahkan ya? “...suka menolong dan
rajin menabung,” lanjutnya lagi. Eh tunggu.. apa?
“Pfft,” tentu
saja aku sedikit menahan tawaku. Rajin menabung? Suka menolong? Orang ini pasti
mengajak bercanda. “Ya ya baiklah terserah, selesaikan sebelum guru killer itu datang,” balasku santai.
Sikap acuh tak acuhku terkadang tidak disukai oleh orang-orang, tapi ya
memangnya aku peduli?
Ting-Tong-Teng-Tong.
Bunyi bel pun terdengar, kelas sudah
dimulai seperti biasanya. Saat bel berbunyi, murid-muridpun terkadang masih
sempat-sempatnya mengobrol. Hoho tapi tidak saat pelajaran guru itu, semuanya
langsung huru-hara untuk duduk di bangku mereka masing-masing. *kriek* Pintu
kayu itu terbuka dan itulah pria yang sering disebut guru–“Eh kenapa malah dia
yang keluar?” Ah sepertinya dugaanku–tidak maksudku dugaan anak-anak satu kelas
itu salah. Beberapa murid bergumam membicarakan pria itu tapi pria itu dengan
santainya (atau lebih tepatnya malas) masuk ke dalam kelas sambil menggendong
buku-buku itu.
Satu-satunya
guru yang suka mengenakan jas lab dimanapun dia berada dan cukup terkenal
karena ekspresinya seperti orang malas tapi ternyata dia jenius sejati.
Christian Crown, itulah nama dari pria itu. Orang ini termasuk orang yang tidak
terlalu suka mengurusi pekerjaan orang lain. “Yang penting selesai,” itulah
yang dia katakan kepada kami saat pelajarannya.
“Ehem..,” pria
itu berdehem sebentar saat sudah membereskan barang-barangnya. “Jadi, karena
guru yang biasa kalian sebut guru killer
itu tidak masuk...” Eh apa? Telingaku tidak salah dengar? Ini pertama kalinya
aku mendengar seorang guru menghina guru lain di depan murid-muridnya. Tentu
saja beberapa dari kami tertawa sedikit. “...Jadi aku menggantikannya untuk
mengajar kalian hari ini,” tuturnya dengan ekspresi malas miliknya yang khas.
Sepertinya diantara banyak guru di seluruh dunia, cuman beliau saja yang
mengerti perasaan kami–sebagai murid.
“Pak!” Seorang
murid perempuan mengangkat tangannya. “Memangnya apa yang terjadi dengan pak
Randy?” Suaranya sedikit dibuat dengan lantang. Dia adalah seorang ketua kelas
di kelasku, kalau tidak salah namanya itu..Uh.. Silvia? Ya, mungkin Silvia.
Yang jelas wanita itu ketua kelas dan cukup terkenal di satu sekolahan ini.
“Pak Randy
mendapat kecelakaan semalam,” ujar pria berjas lab itu. Kecelakaan saat malam?
Sebenarnya kecelakaan di kota ini tidaklah terlalu banyak, terutama bagi guru
killer yang satu ini. Dia cukup was-was juga disiplin, tidak mungkin kan
terkena kecelakaan begitu saja? “Mereka bilang penyebabnya adalah tabrak lari,”
pak Christian—Chris untuk singkatnya karena aku terlalu malas—membaca sebuah
memo yang sepertinya cukup penting. “Berdasarkan rumor, pelaku sepertinya
menabrak pak Randy dengan sengaja,” ujarnya lebih lanjut. Tunggu, kalau dengan
sengaja maka tidak mungkin ini menjadi sebuah kecelakaan kan? Orang-orang
dendam di kota yang damai seperti ini? Kau pasti bercanda bung!
“Ah ya, pak
Randy bilang tentang senjata mitos Pasupasatra kan?” Mata malasnya itu menatap
murid-murid dengan seksama. Tentu saja kebanyakan dari mereka menyembunyikan
tentang pr yang ditinggalkan itu. Orang itu pun langsung menghela nafas.
“Baiklah aku mengerti, kalian tidak mengerjakannya kan?” Benar-benar guru
terbaik! “Ya kalian beruntung pak Randy tidak masuk, jadi mari kita lanjutkan
tentang senjata mitos itu.”
Satu-satunya
yang aneh di sekolahku hanyalah satu, meskipun semuanya biasa layaknya sekolah
normal, tapi sekolah ini mempunyai pelajaran khusus tentang senjata mitos. Ya
karena kebanyakan siswanya adalah seorang penyihir–termasuk aku, jadi mereka
mengajarkan tentang senjata mitos untuk meningkatkan kekuatan kami.
“Pasupasatra–atau
pasopati untuk singkatnya adalah senjata yang diberikan oleh dewa Syiwa...” Bla
bla, aku sudah tau tentang hal itu. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui
tentang pelajaran sebelum dijelaskan itu membosankan, terutama ketika ada
seorang siswa yang merasa dia sudah tau segalanya lalu mau menyombongkan diri.
“Senjata itu diberikan kepada Arjuna karena pertapaannya selama pengasingan kan
pak?” Dan itulah yang aku maksud, seorang siswi tiba-tiba saja berdiri dan
berseru seperti itu. Menyebalkan bukan? Nama perempuan itu adalah Rachel Frost.
Dia itu uh mempunyai penyakit seperti merasa dirinya itu seorang putri dan
menganggap orang-orang itu lebih rendah darinya.
Ya tapi kuakui
dia itu lebih cantik dibandingkan Lucia sendiri, hanya saja tingkahnya sedikit
membuatku muak. Ayolah, merasa seperti bos? Kerja saja belum, pfft. “Ya,
beberapa yang diucapkan Rachel itu benar,” guru berjas lab itu malah memuji
gadis itu, membuat seluruh kelas menepuk tangan mereka kecuali aku. Lihat
wajahnya, ugh benar-benar wajah sombong yang bangga akan dirinya sendiri,
menyedihkan.
“Tapi,” guru
berjas lab itu membuka mulutnya lagi. “Meskipun kau benar, kau tidak boleh
terlihat sombong dihadapan temanmu,” ujarnya lagi. Wah ini dia seperti yang diharapkan
dari pria tua itu, dia selalu tidak terima dengan murid-murid seperti Rachel.
Banyak murid-murid disekolahan yang membicarakan pria itu karena
ketidaksukaannya. Wajah yang tadinya dihiasi dengan senyuman sombong itu
beralih menjadi wajah muram dan sedikit bumbu
amarah di dalamnya. “Ya tapi jawabanmu itu benar. Benar tetaplah benar,”
lanjutnya. Tentu saja Rachel duduk dan masih mempertahankan wajah cemberutnya
itu. Ya itu sih wajar karena mana mungkin manusia dengan harga diri yang
terlalu tinggi itu menerima sebuah kritikan yang membuat dirinya dipermalukan.
“Baiklah ayo kita lanjutkan pelajaran kita,” dan pelajaran pun berlanjut
seperti biasa.
Beberapa jam
kemudian setelah pelajaran guru killer itu selesai, bel pun berbunyi. Ah
akhirnya istirahat, aku ingin makan. Pelajaran yang berat itu membutuhkan
makanan yang cukup bergizi, artinya aku lapar. “Reiner, bisa ikut bapak
sebentar?” Mendengar hal itu, tentu saja aku terkejut. Kau tau kan apa yang
biasanya terjadi bila seorang murid pemalas dipanggil? Teman-teman sebelahku
menatapku dengan tatapan menakut-nakuti. “Rainy, sepertinya kau akan dihukum,
hahaha,” menyebalkan! Ah sudahlah, tidak baik mengurus mereka.
Sambil membawa
bekal, aku berjalan ke arah pria itu lalu mengikutinya. Sepertinya dia hendak
menuju ke atap, tempat favoritku untuk makan. “Tak perlu takut, aku tidak
memanggilmu untuk menghukummu,” ujar pria itu saat kami menaiki tangga menuju
ke atap.
Tidak
membutuhkan waktu lama hingga kami menggapai pintu atap sekolahan. Dia
membukanya lalu bisa kurasakan angin bertiup melewati rambutku. Ah segarnya.
“Mari kita
langsung saja,” tiba-tiba saja pak Christian menatapku dengan matanya yang
terlihat sangat malas dengan hal-hal yang menyusahkan. Tunggu, apakah itu
artinya aku juga termasuk orang yang menyusahkan? “Kau tau kan kecelakaan dari
guru killer itu bukanlah kecelakaan
biasa,” ujarnya. Percakapan terdengar semakin serius sekarang, sebenarnya apa
yang terjadi? Aku masih tidak paham. Aku pun membuka mulutku, “ya lalu?”
Tanyaku dengan nada yang tidak kalah datar darinya.
“Demolish sudah
berulah, dan Randy adalah salah satu dari korban mereka,” tuturnya. Wow,
kejadian-kejadian seperti ini benar-benar tumben sekali. Terutama penyerangan
dari kaum Demolish. Mereka sudah berani menunjukkan taring mereka rupanya.
“Jadi bisa dibilang karena kau adalah salah seorang anggota keluarga yang
memegang perlindungan di kota ini...” Ya-ya banyak orang yang terlalu
menyerahkan beban kota ini padaku. “...kuharap kau mengatakan itu kepada orang
tuamu dan segera memulai pelatihanmu,” lanjutnya. Pelatihan? Pria ini
meremehkanku? Sejak kecil ayahku sudah mulai melatihku dengan hal-hal fisik
seperti parkour. Aku tidak tau tujuannya apa tapi aku sudah termasuk golongan
terlatih soal ini.
“Dan senjata
pasupasatra itu ada dan masih ada hingga sekarang,” tunggu, jadi senjata itu
nyata?! “Tunggu! Pasupasatra itu nyata?!” Seruku. Bagiku yang terobsesi dengan
senjata-senjata mitos itu merupakan kabar yang cukup menggembirakan! Paling
tidak aku bisa ikut berburu senjata sakti itu.
“Lalu apakah
kaum Demolish sudah tau?” Tanyaku langsung. Entah kenapa instingku berkata
kalau percakapan ini berkaitan dengan kaum Demolish yang mencoba mengambil alih
senjata pusaka yang termasuk sangat kuat dan terkuat di dunia. “Bapak tidak
terlalu tau mengenai itu, tapi yang jelas akan sedikit gawat kalau mereka
mengetahuinya,” ujar pria tua itu. “Lebih baik kau bertanya kepada orang tuamu
dan mungkin sebagai penyihir muda, kau akan mendapatkan tugas itu.”
Tugas untuk
mencari senjata pusaka ya? Tidak terdengar begitu buruk, ya aku sedikit
menyukainya. Terutama panah pusaka pemberian dewa penghancur yaitu Syiwa. Pasti
sangat keren kan kalau melihat efek senjata itu ketika digunakan? Menurut
mitos, ujung dari anak panah itu berbentuk bulan sabit. Yeah, aku yakin itu
pasti keren. Petualangan mungkin akan dimulai sekarang.
“Baiklah aku
mengerti,” ujarku. Senyuman kecil secara tidak sengaja aku tunjukkan sebagai
rasa puas karena mendengar bahwa senjata itu memang ada dan memang nyata. Pak
Christian tersenyum sebentar. “Kalau begitu sepulang sekolah nanti, usahakan
langsung bicara mengenai ini kepada ayahmu, oke?” Aku hanya membalas dengan
sebuah anggukkan.
Setelah kejadian
itu, aku kembali ke kelasku. Baru saja setengah jalan untuk menuju kelas, gadis
itu muncul lagi. Ya, gadis kemarin yang memasakkan makan malam untukku juga
sedikit norak itu, Lucia ‘First’ ingat?
“Lucia?” Aku
menatap Lucia yang kebetulan berada di lorong yang sama denganku. Manik
kebiruannya itu menatapku dengan polos. Jujur saja, sebetulnya aku tidak
terlalu tahan dengan gadis polos–senorak apapun dia, tapi kalau masih polos,
cantik, dan mempunyai skill untuk menjadi istri idaman, pasti aku takkan tahan.
“Berhentilah
menatapku seperti itu,” nadaku kubuat-buat sedikit dingin untuk menghindari
tatapan yang bisa membuatku merasa aneh itu.
“Reiner, apa pak
Christian berkata hal yang aneh kepadamu?” Aneh? Pff, bagian dari “senjata
pusaka” mana yang menurutmu tidak aneh? Ah ya aku lupa kalau dia tidak ikut
berbicara padanya. “Ya begitulah,” aku mengangguk singkat. “Kami membicarakan
suatu hal yang tidak ada kaitannya denganmu,” ujarku lagi. Ya yang jelas dia
belum boleh tau sekarang.
Dia membuka
mulut kecilnya. “Membicarakan apa?” Duh, yang benar saja! Wanita yang selalu
penasaran itu membuatku terganggu. Karena saat kau berpacaran dengan gadis
seperti ini, ada kemungkinan dia akan mencurigaimu bahkan sebelum kau melakukan
hal yang ia pikirkan.
“Aku akan
memberi taumu nanti saat pulang sekolah,” ujarku. Tanpa menunggu respon
darinya, aku melanjutkan tujuanku untuk berjalan ke kelas. Eh tunggu, bukannya
aku mau makan ya?
“Reiner!” Dia
menarik lenganku. Gah! Apa lagi sekarang? “Apa lagi? Ayolah aku mau makan!” Ya!
Perut ini sudah meraung-raung meminta untuk diberi makan. “Ya aku tau kamu mau
makan,” Lucia berkata dengan nada seakan dia sedikit sedih. “Karena itu,
bagaimana kalau makan bersama lagi?” Saat aku menolehkan kepalaku, aku melihat
pupil mata berwarna biru itu menatap mataku dalam-dalam.
“Kita baru saja
melakukan hal itu kemarin malam, kau ingat?” Apapun yang terjadi, aku harus
menghindari situasi seperti ini! Alasannya? Karena aku tidak mau terlibat dalam
hal-hal percintaan.
***
Pada akhirnya situasi makan bersama tadi tidak bisa
dihindari, ya sekarang aku berada di atas atap bersama gadis itu. Dia tampaknya
bahagia sekali, bahkan sesekali aku mendengarnya bersenandung.
“Jadi apa sekarang?” Tatapan bosan dan datar itu aku
lampiaskan pada gadis itu. Dia membalas menatapku dengan wajah ceria. “Tentu
saja kita makan!” Serunya. Astaga.. apakah otaknya itu bodoh? Tentu saja aku
tau setelah ini kita harus makan.
“Maksudku,” aku berkata dengan penekanan. “Kenapa dengan
tumbennya mengajakku makan?” Tanyaku, melanjutkan ucapan. Lucia berpikir
sebentar. Biasanya aku benci tapi ya apa boleh buat.
“Entahlah,” balasnya. Eh? Entahlah katamu?! Aku tidak punya
waktu untuk ‘entahlah’ mu itu, dasar sial! “Yang jelas sudah lama kita tidak
makan bersama,” lanjut gadis itu lagi. Lagi-lagi dia tersenyum padaku. Ah
sudahlah terserah, memangnya aku peduli?
Saat sedang asik makan, aku berkata sesuatu kepada Lucia.
Ya, tentang senjata pusaka itu, mau tidak mau harus kukatakan padanya.
Keluarganya dan keluargaku itu sama-sama orang penting di perserikatan sihir.
Bakalan repot nantinya kalau tidak diberitahu.
“Lucia,” panggilku. Dia menoleh. “Masih ingat dengan
penjelasan pak Christian tadi?” Karena guru pemalas itu sudah membahas tentang
senjata pusaka milik Arjun itu, aku yakin dia tau. Paling tidak, dia ingat.
“Tentang uh.. Pasu–pasu apalah itu, aku lupa,” Lucia
menatapku lalu tersenyum bak anak polos. Aku—sejujurnya—mulai sedikit jijik
dengan sikap yang disok moe-moe kan
itu. “Berhentilah bersikap manis,” ledekku. Lucia sedikit cemberut, tapi ya
sudahlah. Itu sudah kebiasannya.
“Yang jelas, senjata itu ada,” kataku. Dengan rasa tidak
percaya–ya aku bisa melihat itu melalui matanya, dia tidak percaya dan berkata,
“Reiner tidak bercanda kan ?
Bukannya seharusnya itu hilang?”
“Aku sendiri tidak percaya, tapi itulah yang terjadi,”
sahutku. Yang terpenting sekarang adalah memberitahu ke keluarga masing-masing.
Ya aku yakin itu yang terpenting. “Yang jelas bilang berita tentang itu pada
orang tua mu, oke?”
Dia mengangguk sebagai tanda paham. Aku yakin dia paham
karena anggukannya sedikit keras kali ini.
Setelah hal itu, kami sedikit berbincang-bincang dan
menghabiskan makanan hingga bel membunyikan akhir dari istirahat kami.
***