Selasa, 27 Januari 2015

[Light Novel] Hunting!: Pasopati Arc (Chapter 1)

Part 3

“Rainy!” Lagi-lagi seseorang berteriak kepadaku, ya untunglah dia tidak berteriak di dekat telingaku, ah ngomong-ngomong latar waktu kita adalah di pagi hari yang cerah sesudah kemarin saat aku makan malam bersama Lucia, dan ya aku ini manusia biasa yang menuntut ilmu di sekolah biasa. Hanya karena keluargaku itu keluarga penyihir, bukan berarti sekolahku adalah sekolah sihir yang megah, luar biasa dan tidak terkalahkan. Kau pikir kau hidup dimana? Dunia kartun?
“Hei Rainy!” Yap, aku sedikit melamun tadi dan orang yang memanggilku kini sudah ada di depanku. Orang yang kemarin memintaku untuk membantunya menyelesaikan catatan. Kebiasaan kedua seluruh pelajar di dunia ini yaitu PSPP, artinya Pekerjaan Sekolah Paling Pagi. Ya itu kudapat dari guruku dulu waktu SD, yang artinya kebanyakan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya di sekolah pada waktu pagi sekali sebelum banyak siswa menunjukkan batang hidungnya. “Aku mengerti, catatan kan?” Jawabku langsung. Antara malas dan tidak, aku mengambil buku yang tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis dan menaruhnya di atas meja.
“Nah begitu dong!” Ha? Bukannya terima kasih malah teriak kegirangan seperti diberi hadiah saja. Bocah yang merepotkan. “Lebih baik cepat selesaikan semua lalu berikan kepadaku lagi,” ujarku dengan malas. “Oke?”
Dia hanya mengangguk. Ah untuk namanya, aku tidak terlalu ingat tapi yang jelas dia itu menyusahkan, teman sekelas dan pasti kelompoknya bergaul itu suka memanggil orang lain dengan nama julukkan yang mereka buat. Contohnya memanggilku dengan panggilan ‘Rainy’ tadi. “Baiklah tenang saja Rainy, aku ini orang yang baik hati–,” tuturnya. Dan dia mulai berbasa-basi dengan orang yang bahkan tidak terlalu mengenalnya, semua manusia itu menyusahkan ya? “...suka menolong dan rajin menabung,” lanjutnya lagi. Eh tunggu.. apa?
“Pfft,” tentu saja aku sedikit menahan tawaku. Rajin menabung? Suka menolong? Orang ini pasti mengajak bercanda. “Ya ya baiklah terserah, selesaikan sebelum guru killer itu datang,” balasku santai. Sikap acuh tak acuhku terkadang tidak disukai oleh orang-orang, tapi ya memangnya aku peduli?
Ting-Tong-Teng-Tong.
Bunyi bel pun terdengar, kelas sudah dimulai seperti biasanya. Saat bel berbunyi, murid-muridpun terkadang masih sempat-sempatnya mengobrol. Hoho tapi tidak saat pelajaran guru itu, semuanya langsung huru-hara untuk duduk di bangku mereka masing-masing. *kriek* Pintu kayu itu terbuka dan itulah pria yang sering disebut guru–“Eh kenapa malah dia yang keluar?” Ah sepertinya dugaanku–tidak maksudku dugaan anak-anak satu kelas itu salah. Beberapa murid bergumam membicarakan pria itu tapi pria itu dengan santainya (atau lebih tepatnya malas) masuk ke dalam kelas sambil menggendong buku-buku itu.
Satu-satunya guru yang suka mengenakan jas lab dimanapun dia berada dan cukup terkenal karena ekspresinya seperti orang malas tapi ternyata dia jenius sejati. Christian Crown, itulah nama dari pria itu. Orang ini termasuk orang yang tidak terlalu suka mengurusi pekerjaan orang lain. “Yang penting selesai,” itulah yang dia katakan kepada kami saat pelajarannya.
“Ehem..,” pria itu berdehem sebentar saat sudah membereskan barang-barangnya. “Jadi, karena guru yang biasa kalian sebut guru killer itu tidak masuk...” Eh apa? Telingaku tidak salah dengar? Ini pertama kalinya aku mendengar seorang guru menghina guru lain di depan murid-muridnya. Tentu saja beberapa dari kami tertawa sedikit. “...Jadi aku menggantikannya untuk mengajar kalian hari ini,” tuturnya dengan ekspresi malas miliknya yang khas. Sepertinya diantara banyak guru di seluruh dunia, cuman beliau saja yang mengerti perasaan kami–sebagai murid.
“Pak!” Seorang murid perempuan mengangkat tangannya. “Memangnya apa yang terjadi dengan pak Randy?” Suaranya sedikit dibuat dengan lantang. Dia adalah seorang ketua kelas di kelasku, kalau tidak salah namanya itu..Uh.. Silvia? Ya, mungkin Silvia. Yang jelas wanita itu ketua kelas dan cukup terkenal di satu sekolahan ini.
“Pak Randy mendapat kecelakaan semalam,” ujar pria berjas lab itu. Kecelakaan saat malam? Sebenarnya kecelakaan di kota ini tidaklah terlalu banyak, terutama bagi guru killer yang satu ini. Dia cukup was-was juga disiplin, tidak mungkin kan terkena kecelakaan begitu saja? “Mereka bilang penyebabnya adalah tabrak lari,” pak Christian—Chris untuk singkatnya karena aku terlalu malas—membaca sebuah memo yang sepertinya cukup penting. “Berdasarkan rumor, pelaku sepertinya menabrak pak Randy dengan sengaja,” ujarnya lebih lanjut. Tunggu, kalau dengan sengaja maka tidak mungkin ini menjadi sebuah kecelakaan kan? Orang-orang dendam di kota yang damai seperti ini? Kau pasti bercanda bung!
“Ah ya, pak Randy bilang tentang senjata mitos Pasupasatra kan?” Mata malasnya itu menatap murid-murid dengan seksama. Tentu saja kebanyakan dari mereka menyembunyikan tentang pr yang ditinggalkan itu. Orang itu pun langsung menghela nafas. “Baiklah aku mengerti, kalian tidak mengerjakannya kan?” Benar-benar guru terbaik! “Ya kalian beruntung pak Randy tidak masuk, jadi mari kita lanjutkan tentang senjata mitos itu.”
Satu-satunya yang aneh di sekolahku hanyalah satu, meskipun semuanya biasa layaknya sekolah normal, tapi sekolah ini mempunyai pelajaran khusus tentang senjata mitos. Ya karena kebanyakan siswanya adalah seorang penyihir–termasuk aku, jadi mereka mengajarkan tentang senjata mitos untuk meningkatkan kekuatan kami.
“Pasupasatra–atau pasopati untuk singkatnya adalah senjata yang diberikan oleh dewa Syiwa...” Bla bla, aku sudah tau tentang hal itu. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui tentang pelajaran sebelum dijelaskan itu membosankan, terutama ketika ada seorang siswa yang merasa dia sudah tau segalanya lalu mau menyombongkan diri. “Senjata itu diberikan kepada Arjuna karena pertapaannya selama pengasingan kan pak?” Dan itulah yang aku maksud, seorang siswi tiba-tiba saja berdiri dan berseru seperti itu. Menyebalkan bukan? Nama perempuan itu adalah Rachel Frost. Dia itu uh mempunyai penyakit seperti merasa dirinya itu seorang putri dan menganggap orang-orang itu lebih rendah darinya.
Ya tapi kuakui dia itu lebih cantik dibandingkan Lucia sendiri, hanya saja tingkahnya sedikit membuatku muak. Ayolah, merasa seperti bos? Kerja saja belum, pfft. “Ya, beberapa yang diucapkan Rachel itu benar,” guru berjas lab itu malah memuji gadis itu, membuat seluruh kelas menepuk tangan mereka kecuali aku. Lihat wajahnya, ugh benar-benar wajah sombong yang bangga akan dirinya sendiri, menyedihkan.
“Tapi,” guru berjas lab itu membuka mulutnya lagi. “Meskipun kau benar, kau tidak boleh terlihat sombong dihadapan temanmu,” ujarnya lagi. Wah ini dia seperti yang diharapkan dari pria tua itu, dia selalu tidak terima dengan murid-murid seperti Rachel. Banyak murid-murid disekolahan yang membicarakan pria itu karena ketidaksukaannya. Wajah yang tadinya dihiasi dengan senyuman sombong itu beralih menjadi wajah muram dan sedikit bumbu amarah di dalamnya. “Ya tapi jawabanmu itu benar. Benar tetaplah benar,” lanjutnya. Tentu saja Rachel duduk dan masih mempertahankan wajah cemberutnya itu. Ya itu sih wajar karena mana mungkin manusia dengan harga diri yang terlalu tinggi itu menerima sebuah kritikan yang membuat dirinya dipermalukan. “Baiklah ayo kita lanjutkan pelajaran kita,” dan pelajaran pun berlanjut seperti biasa.

Beberapa jam kemudian setelah pelajaran guru killer itu selesai, bel pun berbunyi. Ah akhirnya istirahat, aku ingin makan. Pelajaran yang berat itu membutuhkan makanan yang cukup bergizi, artinya aku lapar. “Reiner, bisa ikut bapak sebentar?” Mendengar hal itu, tentu saja aku terkejut. Kau tau kan apa yang biasanya terjadi bila seorang murid pemalas dipanggil? Teman-teman sebelahku menatapku dengan tatapan menakut-nakuti. “Rainy, sepertinya kau akan dihukum, hahaha,” menyebalkan! Ah sudahlah, tidak baik mengurus mereka.
Sambil membawa bekal, aku berjalan ke arah pria itu lalu mengikutinya. Sepertinya dia hendak menuju ke atap, tempat favoritku untuk makan. “Tak perlu takut, aku tidak memanggilmu untuk menghukummu,” ujar pria itu saat kami menaiki tangga menuju ke atap.
Tidak membutuhkan waktu lama hingga kami menggapai pintu atap sekolahan. Dia membukanya lalu bisa kurasakan angin bertiup melewati rambutku. Ah segarnya.
“Mari kita langsung saja,” tiba-tiba saja pak Christian menatapku dengan matanya yang terlihat sangat malas dengan hal-hal yang menyusahkan. Tunggu, apakah itu artinya aku juga termasuk orang yang menyusahkan? “Kau tau kan kecelakaan dari guru killer itu bukanlah kecelakaan biasa,” ujarnya. Percakapan terdengar semakin serius sekarang, sebenarnya apa yang terjadi? Aku masih tidak paham. Aku pun membuka mulutku, “ya lalu?” Tanyaku dengan nada yang tidak kalah datar darinya.
“Demolish sudah berulah, dan Randy adalah salah satu dari korban mereka,” tuturnya. Wow, kejadian-kejadian seperti ini benar-benar tumben sekali. Terutama penyerangan dari kaum Demolish. Mereka sudah berani menunjukkan taring mereka rupanya. “Jadi bisa dibilang karena kau adalah salah seorang anggota keluarga yang memegang perlindungan di kota ini...” Ya-ya banyak orang yang terlalu menyerahkan beban kota ini padaku. “...kuharap kau mengatakan itu kepada orang tuamu dan segera memulai pelatihanmu,” lanjutnya. Pelatihan? Pria ini meremehkanku? Sejak kecil ayahku sudah mulai melatihku dengan hal-hal fisik seperti parkour. Aku tidak tau tujuannya apa tapi aku sudah termasuk golongan terlatih soal ini.
“Dan senjata pasupasatra itu ada dan masih ada hingga sekarang,” tunggu, jadi senjata itu nyata?! “Tunggu! Pasupasatra itu nyata?!” Seruku. Bagiku yang terobsesi dengan senjata-senjata mitos itu merupakan kabar yang cukup menggembirakan! Paling tidak aku bisa ikut berburu senjata sakti itu.
“Lalu apakah kaum Demolish sudah tau?” Tanyaku langsung. Entah kenapa instingku berkata kalau percakapan ini berkaitan dengan kaum Demolish yang mencoba mengambil alih senjata pusaka yang termasuk sangat kuat dan terkuat di dunia. “Bapak tidak terlalu tau mengenai itu, tapi yang jelas akan sedikit gawat kalau mereka mengetahuinya,” ujar pria tua itu. “Lebih baik kau bertanya kepada orang tuamu dan mungkin sebagai penyihir muda, kau akan mendapatkan tugas itu.”
Tugas untuk mencari senjata pusaka ya? Tidak terdengar begitu buruk, ya aku sedikit menyukainya. Terutama panah pusaka pemberian dewa penghancur yaitu Syiwa. Pasti sangat keren kan kalau melihat efek senjata itu ketika digunakan? Menurut mitos, ujung dari anak panah itu berbentuk bulan sabit. Yeah, aku yakin itu pasti keren. Petualangan mungkin akan dimulai sekarang.
“Baiklah aku mengerti,” ujarku. Senyuman kecil secara tidak sengaja aku tunjukkan sebagai rasa puas karena mendengar bahwa senjata itu memang ada dan memang nyata. Pak Christian tersenyum sebentar. “Kalau begitu sepulang sekolah nanti, usahakan langsung bicara mengenai ini kepada ayahmu, oke?” Aku hanya membalas dengan sebuah anggukkan.
Setelah kejadian itu, aku kembali ke kelasku. Baru saja setengah jalan untuk menuju kelas, gadis itu muncul lagi. Ya, gadis kemarin yang memasakkan makan malam untukku juga sedikit norak itu, Lucia ‘First’ ingat?
“Lucia?” Aku menatap Lucia yang kebetulan berada di lorong yang sama denganku. Manik kebiruannya itu menatapku dengan polos. Jujur saja, sebetulnya aku tidak terlalu tahan dengan gadis polos–senorak apapun dia, tapi kalau masih polos, cantik, dan mempunyai skill untuk menjadi istri idaman, pasti aku takkan tahan.
“Berhentilah menatapku seperti itu,” nadaku kubuat-buat sedikit dingin untuk menghindari tatapan yang bisa membuatku merasa aneh itu.
“Reiner, apa pak Christian berkata hal yang aneh kepadamu?” Aneh? Pff, bagian dari “senjata pusaka” mana yang menurutmu tidak aneh? Ah ya aku lupa kalau dia tidak ikut berbicara padanya. “Ya begitulah,” aku mengangguk singkat. “Kami membicarakan suatu hal yang tidak ada kaitannya denganmu,” ujarku lagi. Ya yang jelas dia belum boleh tau sekarang.
Dia membuka mulut kecilnya. “Membicarakan apa?” Duh, yang benar saja! Wanita yang selalu penasaran itu membuatku terganggu. Karena saat kau berpacaran dengan gadis seperti ini, ada kemungkinan dia akan mencurigaimu bahkan sebelum kau melakukan hal yang ia pikirkan.
“Aku akan memberi taumu nanti saat pulang sekolah,” ujarku. Tanpa menunggu respon darinya, aku melanjutkan tujuanku untuk berjalan ke kelas. Eh tunggu, bukannya aku mau makan ya?
“Reiner!” Dia menarik lenganku. Gah! Apa lagi sekarang? “Apa lagi? Ayolah aku mau makan!” Ya! Perut ini sudah meraung-raung meminta untuk diberi makan. “Ya aku tau kamu mau makan,” Lucia berkata dengan nada seakan dia sedikit sedih. “Karena itu, bagaimana kalau makan bersama lagi?” Saat aku menolehkan kepalaku, aku melihat pupil mata berwarna biru itu menatap mataku dalam-dalam.
“Kita baru saja melakukan hal itu kemarin malam, kau ingat?” Apapun yang terjadi, aku harus menghindari situasi seperti ini! Alasannya? Karena aku tidak mau terlibat dalam hal-hal percintaan.

***

Pada akhirnya situasi makan bersama tadi tidak bisa dihindari, ya sekarang aku berada di atas atap bersama gadis itu. Dia tampaknya bahagia sekali, bahkan sesekali aku mendengarnya bersenandung.
“Jadi apa sekarang?” Tatapan bosan dan datar itu aku lampiaskan pada gadis itu. Dia membalas menatapku dengan wajah ceria. “Tentu saja kita makan!” Serunya. Astaga.. apakah otaknya itu bodoh? Tentu saja aku tau setelah ini kita harus makan.
“Maksudku,” aku berkata dengan penekanan. “Kenapa dengan tumbennya mengajakku makan?” Tanyaku, melanjutkan ucapan. Lucia berpikir sebentar. Biasanya aku benci tapi ya apa boleh buat.
“Entahlah,” balasnya. Eh? Entahlah katamu?! Aku tidak punya waktu untuk ‘entahlah’ mu itu, dasar sial! “Yang jelas sudah lama kita tidak makan bersama,” lanjut gadis itu lagi. Lagi-lagi dia tersenyum padaku. Ah sudahlah terserah, memangnya aku peduli?

Saat sedang asik makan, aku berkata sesuatu kepada Lucia. Ya, tentang senjata pusaka itu, mau tidak mau harus kukatakan padanya. Keluarganya dan keluargaku itu sama-sama orang penting di perserikatan sihir. Bakalan repot nantinya kalau tidak diberitahu.
“Lucia,” panggilku. Dia menoleh. “Masih ingat dengan penjelasan pak Christian tadi?” Karena guru pemalas itu sudah membahas tentang senjata pusaka milik Arjun itu, aku yakin dia tau. Paling tidak, dia ingat.
“Tentang uh.. Pasu–pasu apalah itu, aku lupa,” Lucia menatapku lalu tersenyum bak anak polos. Aku—sejujurnya—mulai sedikit jijik dengan sikap yang disok moe-moe kan itu. “Berhentilah bersikap manis,” ledekku. Lucia sedikit cemberut, tapi ya sudahlah. Itu sudah kebiasannya.
“Yang jelas, senjata itu ada,” kataku. Dengan rasa tidak percaya–ya aku bisa melihat itu melalui matanya, dia tidak percaya dan berkata, “Reiner tidak bercanda kan? Bukannya seharusnya itu hilang?”
“Aku sendiri tidak percaya, tapi itulah yang terjadi,” sahutku. Yang terpenting sekarang adalah memberitahu ke keluarga masing-masing. Ya aku yakin itu yang terpenting. “Yang jelas bilang berita tentang itu pada orang tua mu, oke?”
Dia mengangguk sebagai tanda paham. Aku yakin dia paham karena anggukannya sedikit keras kali ini.

Setelah hal itu, kami sedikit berbincang-bincang dan menghabiskan makanan hingga bel membunyikan akhir dari istirahat kami.


***

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for read, i hope you enjoy.
Sebelum komentar, diharapkan untuk berkomentar dengan bahasa yang sopan dan dapat dimengerti. Terima kasih