Selasa, 02 Desember 2014

[Light Novel] Syndrom Diary Chapter 1

“Hoi kau yang disana!” Seru seseorang. Suara itu membuyarkan lamunanku dalam tidur yang nyenyak di padang rumput milik sekolah. Dan saat aku membuka mata, tiba-tiba saja sebuah bola kasti terlempar ke arahku ya lebih tepatnya mendarat tepat di wajah tampanku.
Ah tunggu-tunggu, bukan prolog seperti ini yang kuinginkan, tapi apa boleh buat, semuanya sudah terlambat..

“Ugh.. Dimana ini?” Saat aku membuka mata, aku melihat tempat yang berbeda dari sebelumnya, ya yang kuingat sebelumnya aku sedang tertidur di padang rumput yang nyaman, dan sekarang kutemukan diriku berada di atas kasur empuk. Kurasa ini milik sekolah.

“Ah sudah sadar rupanya,” saat aku menoleh ke asal suara, aku melihat seorang wanita dewasa dengan pakaian seperti seorang pegawai UKS. Ah ya aku lupa, ternyata dia memang suster yang berada di dalam UKS.

“Jadi bagaimana perasaanmu? Sudah baikkan?” Tanyanya. Perlahan-lahan aku berusaha mengingat. Ah ya tentu saja, aku pingsan karena terkena bola kasti tadi, dasar pemain kasti bodoh!

“Kau tertidur cukup lama sekali,” lanjut suster itu sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. “Bola kasti tadi pasti benar-benar menyakitkan ya?”
Aku tidak menjawab, malahan aku hanya diam dan berusaha mengingat kembali tentang khayalanku yang tadi. Ah rasanya otakku benar-benar berhenti bekerja.

Kepalaku benar-benar sakit, saat aku berusaha menyentuh dahiku, aku merasakan sebuah perban yang diikatkan di kepalaku. Untung saja tidak sampai benjol.
“Ini benar-benar sakit, sus,” kataku sambil memegangi kepala yang diperban ini. Aku berusaha untuk turun dari kasur itu. Ya kurasa keseimbangan tubuhku sudah mulai membaik. Saat itu aku berjalan menuju arah cermin dan.. tunggu, sepertinya terlihat keren dengan perban ini, ya seakan aku baru saja melakukan sebuah pertarungan dan terkena cidera yang berat pada kepala sampai menyebabkan lupa ingatan.

“Fufu, aku adalah peraturan!” Teriakku dalam hati sambil bergaya di depan cermin. Siluet bayangan yang tampak jahat itu berada di belakangku, aku baru menyadarinya saat aku melihat kembali kearah cermin. Agh aku lupa itu adalah suster!

“Hei hei, kau seharusnya kembali ke kelasmu kan?” Nadanya terdengar jahat dan yang paling parah, dia melihatku saat aku melakukan pose sok keren tadi!

“Agh apa yang harus kulakukan?!” Batinku, bingung mencari jalan keluar. Ah itu dia! Jalan keluar! Akupun segera melangkah keluar dari tempat ini. Dengan membungkuk sebagai hormatku dan salam terakhirku, aku langsung berlari kearah pintu dengan keadaan canggung.

Fiuh, untunglah ada yang namanya pintu keluar. Ya sekarang nafasku kembali teratur dan daripada berlari, lebih baik jalan saja bukan?
Sambil menyusuri koridor, aku menemukan sebuah tangga menuju atas. Jangan mengira tangga ini menuju ke surga. Tangga ini tentu saja menuju ke lantai atas di dalam bangunan ini, tapi mungkin akan lebih baik jika tangga ini mengarah ke surga langsung.

Dengan langkah tanpa suara, aku berjalan menyusuri tangga itu dan menemukkan diriku sudah di lantai dua, ah ya sekarang waktunya berjalan ke kelasku. Peristiwa memalukkan seperti tadi itu memang harus dilupakan dan menuju pada awal yang baru. Terdengar keren bukan? Sesampainya di depan pintu kelas milikku, aku melihat dari balik jendela, kelasku ternyata tampak ribut juga ya, kegaduhan dimana-mana. Untung saja gurunya sedang tidak ada—atau mungkin belum datang—ya dengan kerennya aku membuka pintu dan melangkah masuk.

Haha, mereka sepertinya terlalu fokus terhadap perban yang melilit kepalaku ini, aku tau ini pasti keren!
“Woh, kau sudah kembali? Pingsanmu itu lama juga ya,” kata salah satu dari mereka. Eh tunggu, pingsanku lama? Memangnya aku sudah melewatkan berapa mata pelajaran?

“Ya itu benar, dia bahkan terlalu beruntung karena melewati guru killer itu. Dan sekarang malah akan segera pulang. Benar-benar beruntung,” Sahut orang di sebelahnya dengan anggukkan setuju dibarengi keluh kesah. Ya sepertinya aku memang beruntung kali ini, pingsan ini membuatku lolos dari hari penghakiman. Tapi tunggu, aku bahkan tidak ingat pelajaran apa hari ini.

Saat aku berjalan dan duduk di bangku ku, aku merasa seperti ada seseorang yang menyentuhku dengan benda yang keras dari belakang. Mungkin sebuah pulpen, aku juga mendengar suara bisikkan.

“Psst!” Dan lagi, pulpen itu menyentuh punggungku dibarengi suara itu. Aku terpaksa menoleh kearah belakang, ya disitu adalah teman kelasku atau lebih tepatnya sahabat karibku sejak SD.

“Ha?” Ucapku. Dia kemudian tersenyum lalu menunjukkan beberapa kartu remi, kalian tau kan kartu remi? Yang biasanya dibuat bermain poker atau permainan kartu lainnya.
“Aku sudah mempelajari teknik itu,” Katanya dengan bangga. Ah sebelumnya aku ingin memberi tau, sebenarnya aku ini seorang magician tingkat pemula dan masih belajar bersama dengan tema—sahabatku ini.

“Benarkah?” Tanyaku dengan tampang tidak percaya. Yah, karena aku yang pertama kali menguasainya dan dia kedua, hanya saja dia lebih jago daripada aku.

“Tentu saja!” Serunya dengan pelan, dia kemudian menunjukkan beberapa triknya. Trik yang mudah tentunya.
“Psst!” Lagi-lagi ada yang mencoba memanggilku, itu adalah seseorang di bangku sebelah sahabatku ini. Dia adalah orang yang tampak seperti seorang nerd tapi dengan pikiran yang luar biasa dan juga mesum.

Aku dan sahabatku ini langsung menoleh kearahnya.

“Jadi bagaimana rasanya terkena bola kasti yang keras itu?” Tanya orang itu dengan senyuman yang terkesan meledek, menempel di wajahnya. Rasanya benar-benar ingin kutonjok lalu kubakar.

Aku hanya tersenyum dan membalas, “mantap bro, lain kali kau harus mencobanya,” canda ku. Ya di jam kosong ini memang kelasku selalu gaduh terutama sekitar bangku milikku. Bangku-bangku itu terisi dengan orang-orang bajingan yang selalu bercanda di pelajaran apapun, aku selalu menikmatinya bersama mereka.

Sesaat setelah aku berbicara dengan kedua orang tadi, aku fokus kembali menghadap depan dan melihat kearah jendela yang terdapat tepat di samping kiriku itu. Jendela yang mengarah kearah luar, yang disebut sebagai jendela kebebasan. Terkadang aku berpikir seperti itu karena aku terlalu malas untuk pergi ke sekolah, terutama saat jam kosong. Padahal menurutku lebih baik kita tidur saja di rumah, lebih terasa nyaman apalagi saat musim dingin.

“Psst! Daripada bengong, bagaimana jika bermain kartu remi?” Ajakan dari pria tadi yang sebelumnya menanyaiku tentang rasanya terkena bola kasti itu muncul. Menurutku sih bukan ide yang buruk, karena ini mulai terasa membosankan. Ajakkan tadi sebenarnya adalah bom pemicu, karena saat pria tadi mengajak untuk melakukan sesuatu, maka orang-orang disekitarku pasti akan menggila dan ikut bermain—termasuk aku tentunya.

Pertama orang di depanku, dia menoleh ke belakang atau lebih tepatnya melihat pria di meja belakang dan mengangguk, kemudian disusul oleh bangku sebelah, dia juga ingin ikut lalu depannya juga, begitu juga dengan sahabatku. Jadi jika dihitung, orang-orang yang termasuk bajingan sejati dan provokator utama di kelas ada… empat orang—maksudku lima ditambah aku.

Kami bermain sebuah permainan kartu yang dinamakan polisi dan maling. Dengan kartu berjumlah lima yang diantaranya terdapat sang ratu, raja, angka biasa dan kartu as. Biar kujelaskan terlebih dahulu, kartu ratu atau raja mempunyai peran sebagai polisi. Sedangkan as mempunyai peran sebagai malingnya. Sedangkan angka biasa merupakan warga biasa. Dan cara bermainnya termasuk mudah, karena yang mempunyai peran sebagai polisi harus peka terhadap lingkungannya. Kenapa? Karena seorang maling memberikan kode kepada warga biasa yang artinya warga itu harus membuka kartunya.
Dan seorang polisi tidak boleh sampai salah menuduh atau dia kalah dan keluar dari permainan.

“Baiklah, bagaimana jika ditambahi hukuman?” Imbuhnya dengan tatapan menantang. Biasanya kami tidak melakukan ini, namun berhubung sedang jam kosong, mungkin akan terlihat lebih menantang dan lebih seru jika menambahkan hukuman.

“Yang kalah harus melakukan tarian pole dance di situ!” Dia menunjuk kearah tiang bendera yang tidak terlalu tinggi itu. Jika terlalu tinggi, tentu saja akan menabrak langit-langit kelasku.

“Bagaimana? Matthew, Jossy, Frank dan kau? Apa kalian berani?” Tantangnya.

Ah ya aku lupa memperkenalkan teman-temanku, Frank adalah orang yang duduk disebelahku, dia merupakan orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya, dia memiliki aura mesum dan tingkat kebajingan yang luar biasa.
Kemudian Jossy, dia duduk tepat di depan Frank. Menurut kabar yang aku dengar dari kelasku, dia adalah anak dari seorang guru yang ada di sekolah ini. Ya meskipun dia tidak pernah menceritakan lebih detailnya. Dia juga termasuk kawanku sejak SD, hanya saja kami tidak begitu dekat. Dan yang terakhir adalah Matthew, sahabatku semenjak kelas 5 SD, ya kami bersahabat begitu lama sampai sekarang. Otaknya benar-benar cerdas dan terkadang dia selalu berpura-pura seperti orang bodoh untuk merahasiakannya. Di kelas, dia dijuluki sebagai orang yang pintar membuat lelucon.

Lalu provokator utamanya adalah temanku bernama Vincent. Tidak banyak yang ku ketahui tentangnya, karena dia adalah murid pindahan. Namun semenjak pertengahan semester ini, dia mulai menunjukkan sifat aslinya. Tentu saja sebagai bajingan nomer satu di kelas.

Kami pun melanjutkan permainan, teman-temanku tampak benar-benar baik soal memasang pokerface nya. Sampai akhirnya seseorang menyikutku dengan siku nya. Benar-benar bodoh, dia memberikan sinyal kepada seorang polisi. Pfft, ah ini hampir membuatku tertawa.
Aku membayangkan bahwa orang itu sudah berada dalam genggamanku. Dan seketika itu aku langsung membuka kartuku, lalu menunjuknya sebagai seorang maling.

“Kau memberikan sinyal yang salah, huahaha. Seorang pahlawan tidak akan bisa dikalahkan!” Seruku penuh dengan semangat. Yang memberikan sinyal yang salah itu adalah Vincent. Wajahnya sekilas menggambarkan seorang yang menyesal karena memberi sinyal yang salah, tapi setelah itu berubah dengan cepat.

“Tak masalah, aku akan melakukannya!” Serunya layaknya seseorang yang mengalah. Astaga, padahal dia ini kalah tapi malah membuat seakan dia ini pahlawan yang sengaja mengalah demi kebaikan bersama.
Dia melangkahkan kakinya menuju ke depan, lalu dia menuju kearah tiang bendera yang letaknya tepat berada di sebelah papan tulis.

Ah aku dan teman-temanku ini tidak bisa menahan tawa. Terutama saat dia mulai menggoyangkan pinggulnya.
Matthew pun berteriak, “Hoi! Lihat di depan, ada seseorang yang sedang menarikan sesuatu!” Teriakkan yang menimbulkan seluruh kelas berhenti melakukan aktivitas mereka lalu langsung melihat ke depan. Ya untungnya laki-laki nerd itu membelakangi mereka sehingga dia tidak sadar—atau mungkin masa bodoh—dia masih terlihat melakukan tarian itu, malah seperti menikmatinya. Ah entahlah, seorang bajingan seperti dia mungkin sengaja memancing lelucon di kelas.

Beberapa diantara anak-anak di kelas tertawa, terutama laki-laki, yang perempuan tampak bingung akan apa yang dilakukan oleh nerd itu. Ya setelah itu dia berhenti lalu kembali ke bangku nya. Seluruh mata sedang memperhatikkannya tapi dia tampak tidak peduli.

“Baiklah ayo kita lanjutkan lagi,” ujarnya seraya duduk di kursi miliknya. Sang Bandarpun membagikan kartunya. Murid-murid yang tadi menghentikan aktivitasnya kini tampak kembali melanjutkan.

Aku sedikit tersenyum karena tadi, ah betapa bodohnya tingkah orang-orang ini. Lalu saat aku mengambil kartu itu.. Ah ternyata Queen! Pergantian peran ya?
Mataku mulai bergerak untuk memperhatikkan suasana yang hening diantara kami berlima.
Aku yakin Jossy bukanlah seorang polisi, aku mengedipkan mataku layaknya seorang wanita dan dia membalas dengan senyuman seperti menahan tawa lalu membuka kartunya.
“Buahaha!” Tawanya meledak saat membuka kartu, hmm mungkin dia melihat aku ini konyol karena kedipan mata genit tadi, ah sudahlah siapa yang peduli dengan itu?


Saat aku kembali meninjau keadaan, aku mendengar suara langkah kaki mengarah kearah bangku kami, dan ternyata benar, dia menepuk bahuku dan bahu milik Vincent kemudian berseru, “Hoi! Ikutan dong.” Suara yang lembut yang dimilikinya layaknya seorang gadis, ah tunggu dia memang seorang gadis. Karena sedikit terkejut, kami menatapnya. Kemudian tatapan  itu berubah menjadi senyuman konyol dan mungkin terlihat seperti senyuman mesum. Kami melihat ke satu sama lain, mungkin saja memiliki ide yang sama.